Oleh Adiwarman A Karim

Optimisme berakhirnya resesi mulai merebak di Jepang dan di beberapa negara lainnya, namun Cina dan banyak negara masih khawatir dengan perekonomian dunia yang masih dihantui oleh besaran defisit Amerika Serikat.

Jepang patut bergembira karena mulai membukukan pertumbuhan positif dalam kuartal kedua ini, meskipun rasio utang terhadap PDB negara ini telah melewati 150 persen. Di sisi lain, Cina patut khawatir karena merupakan pembeli terbesar surat utang Pemerintah AS sejumlah 700 miliar dolar AS. Padahal, defisit anggaran Pemerintah AS saat ini telah mencapai 13 persen dari PDB, angka tertinggi sejak depresi besar tahun 1930-an.


Keadaan ini membuat daya tarik surat utang Pemerintah AS melemah di pasar obligasi dunia. Maka, tidak heran bila surat utang Pemerintah AS itu dibeli sendiri oleh bank sentral AS. Sejak akhir 2008, bank sentral AS telah membeli 1,75 triliun dolar AS.

Negara-negara berpopulasi besar, seperti AS, Cina, India, dan Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan besarnya tingkat konsumsi domestik mereka. Hal ini yang dapat menerangkan mengapa Cina, India, dan Indonesia masih memiliki pertumbuhan positif di atas empat persen ketika negara-negara lain dilanda krisis yang parah. Dapat pula dikatakan bahwa pertumbuhan yang terjadi di tiga negara ini merupakan domestic genuine growth.

Seandainya saja AS tidak terjebak dalam berbagai transaksi derivatif dalam jumlah yang sangat besar, tingkat konsumsi domestik mereka mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang positif. Ironisnya, kekuatan permintaan domestik ini, khususnya kuatnya permintaan akan rumah telah dimanipulasi menjadi produk derivatif yang sekarang menjadi sumber krisis.

Saat ini masih ada dua kekuatan AS yang dikhawatirkan akan dimanipulasi. Pertama, kepercayaan dunia yang sangat besar terhadap dolar AS dan surat utang Pemerintah AS. Bila kepercayaan dunia ini dimanipulasi dengan pengelolaan nilai dolar AS dan defisit anggaran yang altruistic short-sighted approach sehingga negara-negara lain terpaksa membangun mata uang dunia selain dolar AS dan melepas surat berharga AS yang saat ini mereka pegang, krisis yang jauh lebih parah akan melanda dunia.

Kedua, konsumsi domestik yang luar biasa besar yang dilakukan melalui pinjaman kartu kredit. Krisis saat ini telah memaksa banyak orang di AS mengencangkan ikat pinggang setelah mereka terpaksa melepaskan rumah yang tidak mampu lagi mereka mencicilnya. Dalam kenyataannya, menurunkan tingkat kenyamanan gaya hidup tidak semudah menghentikan belanja barang tertentu karena kenyamanan itu dibiayai dengan kartu kredit, yang tagihannya muncul belakangan dan terakumulasi. Bila konsumsi domestik ini dimanipulasi dengan kelonggaran bagi mereka yang tidak layak, limit yang lebih tinggi, bahkan sekuritisasi piutang kartu kredit, krisis jilid dua akan sulit terelakkan pada tahun 2010.

Indonesia cukup beruntung karena transaksi derivatif tidak signifikan terhadap perekonomian. Sehingga, dampak kerusakan yang ditimbulkannya tidak signifikan. Dengan selesainya proses pemilu, stimulus ekonomi yang selama ini ada akibat berbagai kegiatan yang terkait pemilu akan segera hilang. Sulitnya suku bunga kredit turun dan belum lancarnya penyaluran kredit bank merupakan indikator bahwa perbankan masih mengkhawatirkan dua hal.

Pertama, risiko bisnis dunia usaha masih lebih tinggi dari ekspektasi bank sehingga bank masih mengenakan risiko premium dalam menetapkan tingkat bunga kredit. Kedua, BI Rate tidak lagi dipandang sebagai realistic benchmark dalam menentukan tingkat bunga. Bila hal yang kedua ini benar maka ini pesan penting yang serius bagi otoritas moneter. Industri seakan mengatakan ''we see what you don't see''.

Bagi bank syariah, ini merupakan momen penting untuk mengatakan ''what you get is what you see'', karena dalam sistem bagi hasil risiko bisnis dunia usaha akan tecermin dalam bagi hasil yang dibayarkan kepada pemilik dana. Dengan paradigma pengelolaan moneter yang masih sama, bank sentral dapat memasukkan unsur bagi hasil bank syariah ini menjadi komponen dalam menentukan BI Rate.

Kesulitan ekonomi juga pernah dirasakan oleh Rasulullah SAW, tepatnya dimulai 1 Muharam tahun ketujuh sesudah turunnya wahyu. Seluruh Bani Hasyim dan Bani Muthalib diasingkan dan diboikot di perkampungan sempit di celah gunung di luar Kota Makkah. Hanya dua orang dari Bani Hasyim yang memisahkan diri dan bergabung dengan kaum musyrikin, yaitu Abu Lahab bin Abdul Muthalib dan Abu Sufyan bin Abdul Muthalib. Empat puluh orang ditambah wanita dan anak-anak, sebagian besar kaum Muslimin, sebagian lain masih bertahan dalam kekafiran mereka, hidup menderita karena boikot ekonomi.

Mereka tidak boleh menerima bantuan, bahkan jika ada di antara mereka atau yang diduga bersimpati kepada mereka, ingin membeli sesuatu, dilipatgandakan harganya. Abu Lahab sendiri yang turun tangan memastikan boikot ekonomi berjalan efektif. Jumlah kaum Muslimin saat itu tentu terlalu kecil untuk menciptakan permintaan domestik yang besar. Apalagi, daya beli yang kecil itu pun tidak dapat efektif karena diskriminasi harga.

Boikot yang berakhir setelah tiga tahun itu menjadi tambah memilukan karena Rasulullah SAW kehilangan dua orang yang sangat dicintainya. Satu-satunya istri beliau ketika itu Siti Khadijah ra dan paman yang membesarkan beliau, Abu Thalib, meninggal dunia. Kaum musyrikin bergembira dan menyangka penderitaan itu telah cukup untuk menghentikan Rasulullah SAW. Mereka keliru karena kaum Muslimin malah menjadi bertambah kuat. It won't kill you, just makes you stronger.

Dampak kesulitan ekonomi segera hilang karena sifat temporer boikot. Hijrah ke Madinah mendorong pertumbuhan produksi secara signifikan. Lahan-lahan kaum Anshar yang tadinya tidak tergarap, menjadi subur ditanami oleh kaum Muhajirin yang datang dari Makkah tanpa perbekalan yang layak. Dengan sistem bagi hasil, pemilik tanah dan penggarap memiliki insentif yang sinergis untuk meningkatkan produksi.

Berbagai transaksi manipulatif dan spekulatif dilarang oleh Rasulullah SAW sehingga menimbulkan iklim perdagangan yang sehat dan meningkatkan pendapatan serta kecepatan peredaran uang. Bayangkan bila transaksi manipulatif dan spekulatif tidak dilarang, niscaya pertumbuhan ekonomi sektor riil akan rusak seperti rusaknya konsumsi domestik AS oleh transaksi derivatif.

Terlalu cepat untuk mengatakan krisis global telah berakhir bila transaksi spekulatif manipulatif masih leluasa bergerak, namun Indonesia tidak perlu terlalu khawatir dengan imbas krisis global selama tidak terseret ke dalam transaksi semacam itu.

Sumber: Republika Online

Kategori:
0 Responses

Posting Komentar