Bantahan atas Konsep Time Value of Money
Ekonomi Islam memiliki prinsip yang yang berasal dari sumber hukum baik al-Qur'an, hadis maupun pemikiran cendikiawan muslim. Nilai fundamental ini yang mendasari pandangan ekonom muslim dalam melahirkan pemikirannya, termasuk mengkaji fungsi uang dalam kehidupan ekonomi. Menurut pendapat mereka, fungsi uang hanya ada dua yaitu: 1. sebagai alat pengukur harga, dan 2. alat pembayaran. Fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai tidak diakui karena dianggap sesuatu yang mendekati riba. Fungsi uang yang dilarang inilah yang sebenarnya melahirkan teori time value of money. Konsekuensi logisnya, Ekonom muslim sendiri tidak sependapat dengan konsep ini.

Seperti yang kita ketahui bersama, teori keuangan konvensional mendasarkan argumen pembenaran adanya bunga (interest) melalui konsep time value of money (nilai waktu dari uang). Dalam Ekonomi Islam, validitas konsep ini telah dibantah argumentasinya dengan adanya pelarangan riba dalam Islam. Sebagai gantinya, aktivitas bisnis dalam Ekonomi Islam selalu menekankan kepada mekanisme sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Konsep kemitraan ini dirasa lebih tepat dan sesuai dengan prinsip keadilan yang realistis.


Dalam ekonomi konvensional, definisi yang sering digunakan untuk menjelaskan pengertian time value of money adalah "A dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return" Pemahaman ini tentu tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang positive, negative, atau no return. Itulah sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal risk-return relationship (hubungan searah antara resiko dan hasil). Semakin tinggi tingkat resiko yang dihadapi/ ditanggung, maka semakin besar hasil yang diinginkan/ didapatkan, begitu juga sebaliknya.
Menurut pendapat para ekonom konvensional, ada dua hal yang menjadi pondasi konsep time value of money, yaitu:

1. Presence of Inflation
Dapat dimisalkan: katakanlah tingkat inlasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli 10 pisang goreng hari ini dengan membayar Rp.10.000 Namun bila ia membelinya tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama Rp.10.000 ia hanya dapat membeli 9 pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat inflasi.

2. Preference present consumption to future consumption
Diandaikan tingkat inflasi nol, sehingga dengan Rp.10.000 seseorang tetap dapat membeli 10 pisang goreng hari ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi 10 pisang goreng sekarang lebih disenangi daripada mengkonsumsi 10 pisang goreng tahun depan. Dengan alasan ini, walaupun tingkat inflasi nihil, Rp.10.000 lebih disukai dan dikonsumsi hari ini. Oleh sebab itu, untuk menunda konsumsi, ia mensyaratkan kompensasi.

Argumen pertama disanggah karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan deflasi. Seharusnya keadaan deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money. Katakanlah tingkat deflasi 10% per tahun. 10 pisang goreng hari ini harganya Rp.10.000 Namun bila ia membelinya tahun depan dengan uang sama maka dapat 11 pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan memberi kompensasi atas naiknya daya beli uangnya akibat deflasi. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berlaku, hanya satu kondisi saja yang diakomodir oleh time value of money.

Ekonomi Konvensional sebenarnya juga memasukkan unsur ketidakpastian return dan menyebut kompensasinya sebagai discount rate yang lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate. Ketidakpastian return dikonversi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Investasi tentu selalu ada kemungkinan mendapat positif return, negative return, dan no return. Inilah yang menimbulkan ketidakpastian (uncertainty), tetapi probabilitas negative return dan no return dipertukarkan dengan sesuatu yang pasti, premium for uncertainty.

Keadaan inilah yang ditolak dalam Ekonomi Islam, yaitu keadaan al- ghunmu bi la ghurmi (gaining return without responsible for any risk) dan al- kharaj bi la dhaman (gaining income without responsible for any expense). Sebenarnya keadaan ini juga ditolak oleh teori keuangan yang menjelaskan adanya hubungan searah antara risk dan return.

Kuantitas waktu sama bagi semua orang, yaitu 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Namun nilai dari waktu akan berbeda dari satu orang ke dibandingkan orang lainnya. Misalnya bagi seorang buruh kasar satu jam kerja bernilai Rp.25.000, bagi manajer keuangan menghasilkan Rp.250.000, sedangkan bagi pakar Ekonomi Islam dihargai Rp.2.500.000.

Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapa pun pelakunya, secara sunnatullah dakan mendapatkan keuntungan di dunia.

Lebih dari itu, dalam Islam keuntungan yang dicari bukan saja keuntungan di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh karenanya pemanfaatan waktu bukan saja harus efektif dan efisien, tapi ia juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya, jika keimanan tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia, berarti ada faktor-faktor yang belum diamalkan.

Risiko Fluktuasi Ekonomi dan Bisnis
Keadaan suatu perekonomian tentu berfluktuasi dari periode satu ke periode lainnya. Sebuah aktivitas bisnis tentu juga dipengaruhi keadaan makro ekonomi tersebut, sehingga mau tidak mau harus memperhitungkan factor resiko dalam menjalankan usahanya. Mengacu pada time value of money, ekonomi konvensional menggunakan besaran tingkat bunga untuk mengukur factor ketidakpastian dan inflasi. Hal ini untuk mensiasati agar tingkat resiko lebih kecil dan memperoleh tingkat keuntungan yang diinginkan.

Ketidakpastian dalam pemikiran ekonomi konvensional disandarkan pada dua hal. Pertama, ketidakpastian disebabkan adanya beberapa pilihan investasi dengan tingkat resiko dan harapan keuntungan yang berbeda. Kedua, ketidakpastian sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang tidak menentu dan tidak bisa diprediksi. Keadaan yang serba tidak menentu ini biasanya diatasi dengan kebijakan moneter melalui bunga sebagai instrumen utama untuk mengontrol jumlah uang beredar/ mengatasi inflasi.

Sistem instrumen bunga untuk mengantisipasi ketidakpastian dalam kajian Ekonomi Islam sendiri tidak dikehendaki keberadaannya. Namun demikian, sebuah aktivitas bisnis tentu dipengaruhi oleh faktor makro ekonomi berupa inflasi. Hal inilah yang menjadikan alasan diberikannya tambahan pada nilai uang yang dibayar secara kredit dengan memperhitungkan inflasi. Tambahan ini dibolehkan agar nilai uang tersebut tetap dan tidak termasuk riba. Besarnya tambahan itu tidak diperkenankan ditentukan di awal/ diprediksi untuk jangka panjang tetapi harus sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.

Keuangan bisnis modern seringkali dipenuhi unsur spekulasi (gharar) dan bunga (riba). Sebaliknya, Islam sangat melarang keras unsur-unsur tersebut dan menggunakan analisis riil untuk menghitung tingkat keuntungan dan risiko setiap usaha. Dengan demikian, dimungkinkan mendapatkan keuntungan dan kerugian yang berbeda untuk jumlah pinjaman yang sama. Kajian Ekonomi Islam terhadap teori bunga ini sendiri masih pada pendekatan mikro ekonomi belum begitu mendalam dan komprehensif pada wilayah kebijakan ekonomi makro dan moneter.

Sistem Bagi Hasil sebagai Solusi
Sebagai jawaban atas ketidaksetujuan teori bunga (time value of money), Ekonomi Islam menawarkan sistem kerjasama dengan menggunakan mekanisme bagi hasil (profit and loss sharing). Sistem yang lebih adil ini berangkat dari asumsi bahwa setiap usaha selalu mengandung resiko baik untung maupun rugi sehingga kedua belah pihak harus siap berbagi dan menerima apapun yang terjadi tidak hanya satu pihak saja yang untung atau dirugikan.

Pada Lembaga Keuangan Syariah, prinsip dan mekanisme bagi hasil diterapkan menjadi produk mudharabah dan musyarakah. Namun sayang proporsi produk utama ini masih lebih kecil dibandingkan produk lainnya. Kekurangan ini terjadi karena sosialisasi pemahaman pada lembaga dan masyarakat belum berjalan optimal. Sehingga diperlukan edukasi publik yang lebih lanjut untuk menyamakan persepsi antara lembaga dengan masyarakat.

Ide dan konsep sistem bagi hasil yang berkeadilan akan sukses jika dijalankan dengan konsisten dan profesional. Akan tetapi sulit diaplikasikan dalam dunia nyata, karena menghadapai ketidakpastian dan inflasi. Hambatan ini dapat diatasi dengan modifikasi asalkan masih dalam kerangka syariah. Melalui sistem Islam yang lebih adil ini, Lembaga Keuangan Syariah masih mempunyai peluang untuk pemberdayakan ekonomi terutama pada bisnis usaha kecil.

Kategori: , ,
3 Responses
  1. Di pagi begini, aku sudah mendapatkan jawaban-jawaban yang menyejukkan dari postinganmu! Anda layak mendapatkan empat jempol!



  2. hanya saja,akad mudharabah porsinya masih jauh lebih sedikit dibandingkan akad murabahah yang dipakai dalam dunia perbankan.


Posting Komentar