Oleh: Iggi H Achsien, Staff Pengajar Jurusan Manajemen FEUI

Terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan institusi keuangan syariah. Begitu juga dengan instrumentasi-instrumentasi keuangannya. Satu institusi akan membutuhkan institusi dan instrumen-instrumen lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan mendesak untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksadana syariah dimunculkan, perlu instrumen-instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya Reksadana syariah memerlukan bank syariah, membutuhkan saham halal, dan memunculkan juga kemungkinan peluang obligasi syariah.

Pengembangan institusi dan instrumen keuangan berdasarkan syariah merupakan bagian penting dari upaya pengembangan Islamic finance. Adalah suatu upaya pembumian ajaran langit. Upaya ini tidak lain merupakan kelanjutan pengembangan konsep dan teorinya supaya tidak berhenti hanya pada tataran normatif saja.


Pendekatan yang dapat dilakukan ada dua macam. Pertama, dispilin yang memajukan alternatif-alternatif baru terhadap keuangan komersial konvensional. Di sini dilakukan upaya kreatif penafsiran ajaran agama untuk memajukan alternatif baru yang diyakini dapat memberikan kemanfaatan lebih besar dengan tingkat mudharat yang minimum. Pendekatan yang kedua adalah melakukan reevaluasi konsep dan praktek keuangan konvensional yang ada dengan hukum Islam (fiqh). Dengan mempertanyakan dan menilai apakah konsep dan praktek yang ada tersebut sejalan dengan syariah.

Penilaiannya akan jatuh pada penetapan halal, makruh, mubah, sunnah, atau haram.
Adalah menarik untuk mempertanyakan obligasi dan options dari perspektif syariah misalnya. Tampaknya sampai sejauh ini, yang nampak lebih dominan adalah pendekatan kedua, meskipun pendekatan pertama juga tidak berhenti dilakukan. Pendirian institusi bank bagi-hasil sebenarnya dapat digolongkan sebagai hasil dari pendekatan pertama. Dalam hal menilai obligasi syariah, kedua pendekatan ini semestinya bisa digunakan.

Apakah Obligasi Syariah?

Obligasi syariah tentunya berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak terdapat konvergensi pendapat bahwa bunga (interest rate) adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini akan minggir dari daftar investasi halal. Karenanya, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.

Obligasi syariah dikenal juga sebagai muqarada bond, diajukan sebagai alternatif pengganti interest-bearing bonds. Muqarada adalah sinonim dengan qirad yang juga sama dengan mudharaba. Terjemahan sederhanaya adalah pinjaman bagi hasil atau profit-loss sharing. Instrumen keuangan ini sudah mendapatkan pengesahan dari IOC Academy. Artinya sudah dapat cap halal secara internasional.

Muqarada bond dikeluarkan oleh perusahaan (sebagai mudarib, pengelola) kepada investor (sebagai rabb al mal, pemilik dana) dengan tujuan pendanaan proyek tertentu yang dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik berdasarkan persentase tertentu yang telah disepakati. Analoginya seperti kupon obligasi biasa yang dibagikan secara periodik. Tapi kupon ini tidak ditentulkan persentasenya dari depan (fixed pre-determined). Persentasenya merupakan rasio pembagian keuntungan, sehingga meggunakan basis profit-loss sharing. Kontrak seperti ini juga menyediakan pembayaran bond pada saat maturity atau jatuh temponya. Kontrak seperti ini sesungguhnya sama dengan mudharaba. Dan sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Jordania dan Turki. Serupa dengan prinsip Islamic bonds adalah instrumen seperti Islamic certificate of deposits yang dipertimbangkan sebagai medium-term instruments.

Pasar Sekunder untuk Obligasi Syariah
Perdagangan obligasi di pasar sekunder mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Sebenarnya, hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo atau maturity-nya. Trading tetap terjadi, tapi hanya pada IPO dan saat jatuh tempo dengan harga pada par, sama dengan nominal yang tertera pada sertifikat obligasi (shahdah al-dayn).

Kalaupun terjadi jual beli tidak pada saat jatuh tempo, maka kontrak yang dilakukan adalah bai al-dayn. Bai al dayn didefinisikan sebagai "the sale of a payable right that normally raises from a transaction, services, loan, to the debtor himself, or to any third party" [Rosly dan Moustapha (1999)]. Kebanyakan ulama memfatwakan transaksi ini haram dengan merujuk pada hadits yang diriwayatkan Daruqutni. Hadits yang dimaksud adalah bahwa Ibn Umar berkata, "Nabi saw melarang penjualan hutang dengan hutang yang jumlah pembayarannya berbeda pada waktu yang lain". Karenanya jual beli hutang dipandang sebagai transaksi yang besar unsur riba-nya. Pendapat ini diterima luas, karenanya peluang untuk pasar sekunder obligasi Islami menjadi sangat kecil.

Tetapi terdapat pasar sekunder Islamic bonds di Malaysia. Penerbitan bonds sebagai sertifikat obligasi-nya melalui proses sekuritisasi asset berdasarkan prinsip murabahah bi thaman ajil. Merupakan kontrak penjualan dengan basis penangguhan pembayaran (deffered payment) dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark-up profit. Karena obyek penjualan dalam hukum Islam adalah komoditi yang mempunyai nilai tertentu. Karenanya, sekuritisasi dilakukan untuk membuat surat hutang ini sebagai klaim atas asset yang dijaminkan. Kemudian surat obligasi ini dikeluarkan melalui initial public offering melalui mekanisme lelang atau bidding process (bai al muzayadah) dengan diskon. Penjelasan sahnya mekanisme yang demikian ini diberikan oleh Ngadimon [1999].

Proses ini berbeda dengan muqaradah bonds yang tampaknya tidak bermasalah, juga karena tidak ada pasar sekundernya. Islamic bonds di Malaysia mengundang kontroversi yang besar. Karena pada prinsipnya, pendapatan yang diperoleh dari jual beli hutang adalah riba. Karena hutang tetap hutang, meskipun ditunjang dengan underlying asset-nya. Demikian pendapat sebagian besar ulama. Sami Hasan Houmoud (dalam pointer diskusi menanggapi paper Rosly dan Moustapha [1999], "Bay'an Dayn and Islamic Bonds Issues in Malaysia", pada International Conference Islamic Economics in the 21st century, Kuala Lumpur, 1999) dari IDB mengatakan untuk kasus Malaysia, "It is obvious that what was practiced under the name of Islamic Bonds were not Islamic."
Memang harus terdapat kehati-hatian dalam mengembangkan produk-produk dengan menggunakan label syariah. Karena terbuka peluang dalam prakteknya malah melenceng dari substansi syariah. Dalam simposium ekonomi syariah minggu lalu (3/04/2000), Prof. M.A Manan, ekonom konsultan IDB, memesankan bahwa kalau sebuah lembaga keuangan syariah malah membawa kemudharatan, sebaiknya malah tidak usah membawa-bawa nama syariah. Karena masyarakat akan bisa menilai mana yang sekedar label dan mana yang memang betul-betul Islami. Sesuatu yang bergeser dari kesejahteraan menjadi kesengsaraan tidak ada sangkut pautnya dengan syariah. Yang betul-betul Islami malah bisa saja tidak membawa-bawa label syariah-nya, tetapi pada substansinya tetap berlandaskan syariah.

Suksesnya sebuah pasar keuangan, baik Islami maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut. Sebuah framework pengaturan dapat saja didisain untuk mempengaruhi faktor-faktor tersebut.
Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih boleh dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya. Kecil kemungkinan akan adanya pasar sekunder obligasi ini memang bisa menjadi kendala perkembangan, karena investor tetap akan menghendaki likuiditas.
Alternatifnya, pasar sekunder tetap bisa ada dengan trading pada par. Atau memperluas jangkauan investor dengan holding period yang sesuai dengan jatuh tempo obligasinya. Sekali lagi, kesuksesannya tetap tergantung pada faktor kepercayaan investor.

Sumber: Tazkia Online

Kategori: ,
0 Responses

Posting Komentar