Oleh: Ahmad Baraba (Konsultan Prasetio Utomo - Andersen Jakarta)

Akuntansi secara umum mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyajikan informasi khususnya yang bersifat keuangan dalam kaitannya dengan kegiatan sosial ekonomi dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.Sebagaimana yang berlaku sekarang bahwa aturan main atau standar yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan - yang disebut sebagai Generally Accepted Accounting Principles - tidak bisa terlepas dari cara pandang masyarakat ( dimana kegiatan ekonomi itu diselenggarakan ) terhadap nilai-nilai kehidupan sosialnya. Ini terbukti dari tidak mudahnya melakukan harmonisasi standar akuntansi secara internasional meskipun upaya kearah sana selalu diusahakan dengan adanya International Accounting Standard, dimana PSAK kita sebagaian juga menggunakan IAS sebagai acuan atau referensi.


Implikasi dari hal tersebut diatas menyebabkan adanya upaya yang keras dari para cendekiawan muslim khususnya dibidang ekonomi dan akuntansi untuk merumuskan sistim ekonomi dan akuntansi yang sesuai dengan tuntunan Syariah Islam.

Kewajiban setiap pribadi muslim untuk menyelenggarakan pencatatan harta kekayaannya serta hutang dan kewajibannya nyata-nyata termuat dalam Al-Quran dengan berbagai dimensinya ,hal mana mencerminkan tertib administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim sehingga memungkinkan seorang muslim dengan mudah dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya seperti zakat , penyelesaian hutang piutang , perhitungan harta waris dsb.

Oleh sebab itu standarisasi akuntansi keuangan yang berbasis pada Syariah Islam menjadi obsesi yang realistic bagi komunitas cendekiawan dan praktisi bisnis muslim diseluruh dunia meskipun umat islam tidak pada posisi yang kuat dan berpengaruh secara significant dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik untuk ukuran global yang bahkan akhir-akhir ini sedang menghadapi ujian yang sangat berat.

Perkembangan keinginan untuk merealisasikan identitas bisnis yang islami baru berhasil diwujudkan dalam bentuk munculnya perbankan yang berbasis pada tuntunan syariah sedangkan entitas bisnis lainnya seperti industri manufaktur ,perdagangan dan jasa lainnya belum secara spesifik dinyatakan sebagai entitas bisnis islam dengan segala konsekwensinya.

Munculnya perbankan syariah telah mendorong secara cepat adanya kebutuhan untuk menstandarisasi sistim operasionalnya yang akan terrefleksi dalam sistim akuntansi yang digunakan sebagi basis dalam sistim pelaporan untuk memenuhi berbagai kelompok kepentingan yang membutuhkan informasi tsb. guna mengukur akuntabilitas dan efektifitas pengelolaan sumber ekonomi yang diamanahkan pada entitas tsb.

Kebutuhan tsb difasilitasi dengan adanya organisasi akuntansi dan audit untuk lembaga keuangan islam (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) yang berpusat di Manama , Bahrain dan beranggotakan hampir seluruh lembaga keuangan islam,lembaga profesi akuntansi dan central bank dari negara-negara yang mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan islam.Lembaga tsb. telah menerbitkan standar akuntansi bagi lembaga keuangan islam /bank yang tentunya sangat diharapkan dapat diadopsi oleh organisasi profesi akuntansi dan bank sentral negara-negara penyelenggara bank islam.

Pendekatan dalam penyusunan standar akuntansi tsb.menggunakan International Accounting Standard sebagai basis utama dalam pengkajian kebutuhan standar yang sesuai dengan operasi bank syariah sehingga secara praktis akan menerima IAS sepanjang tidak bertentangan dengan syariah dan otomatis akan menolak bila tidak sejalan dengan tuntunan syariah dengan konsekwensi menciptakan suatu standar baru sesuai dengan syariah.

Perbedaan filosofis yang cukup mendasar antara bank konvensional dengan bank syariah mempunyai implikasi terhadap standar penyajian laporan keuangan bank syariah mengingat fungsi bank syariah mencakup fungsi pengelola investasi , investor, penyedia jasa lalu lintas keuangan dan pengelola zakat dan dana sosial.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah digunakannya konsep bagi hasil sehingga dalam bank syariah tidak mengenal cost of fund atau biaya dana sebagai pengurang atas pendapatan bunga untuk menghasilkan spread / margin sebelum dikurangi dengan beban operasi. Itulah mengapa dalam bank syariah tidak mengenal negatif spread karena bagi hasil pada investor atau deposan betul-betul berdasar nisbah bagi hasil yang disepakati sebelumnya dari hasil pengelolaan investasi dan bisnis bank semata-mata atas dana yang dipercayakan oleh pemilik dana atau deposan pada bank.

Hubungan antara nasabah pemilik dana dengan bank adalah hubungan investor dengan pengelola investasi sehingga dana tsb dalam standar akuntansi bank syariah harus dicatat sebagai rekening investasi (investment account) dan bukan sebagai kewajiban atau liabilities. Sedangkan dana yang hanya dititipkan bukan atas dasar akad mudharabah tetapi atas dasar akad wadiah akan dicatat sebagai kewajiban atau liabilities meskipun atas dana tsb bank mempunyai hak untuk menginvestasikan dan mendapatkan hasil bagi keuntungan bank sendiri tanpa ada kewajiban memberikan bagi hasil. Namun demikian bank boleh memberikan imbalan bagi pemilik dana wadiah sesuai dengan kebijakan bank bahkan yang lazim bank berhak memungut beban pengelolaan dana tsb (beban administratip).

Disisi lain hubungan bank dengan penerima dana adalah hubungan kemitraan usaha dan atau hubungan hutang piutang karena adanya transaksi jual beli (murabahah ) yang belum terselesaikan atau bayar tangguh.

Dalam pandangan syariah tidak relevan memisahkan secara tegas lembaga keuangan bank dan non bank bahkan dengan non lembaga keuangan sekalipun sehingga adalah hal yang mungkin terjadi bila sebuah lembaga keuangan islam melakukan aktivitas investasi pada real estat misalnya seperti layaknya developer atau pengembang atau melakukan jual beli tunai dan atau leasing baik yang diakhiri dengan pemindahan hak atau tidak.

Secara garis besar tampilan laporan keuangan bank syariah pada sisi aktiva dicirikan dengan adanya akun pembiayaan (financing)baik yang berbentuk tagihan atas transaksi jual-beli atau berbentuk posisi partisipasi bank dalam akad mudharabah atau musyarakah juga adanya aktiva produktif lain dalam bentuk assets yang disewakan atau bahkan bisa saja terdapat inventory tergantung dari aktivitas bank syariah tsb. Pada sisi pasiva dicirikan adanya dana wadiah dalam bentuk current account dan dibeberapa negara tertentu juga termasuk saving account serta adanya unrestricted investment account berupa deposit account dengan akad mudharabah sehingga tidak dikategorikan sebagai liabilities dalam pengertian wajib dikembalikan dalam kondisi apapun.

Pengertian unrestricted investment account menunjukkan bank secara bebas dapat melakukan investasi sepanjang tidak bertentangan dengan syariah sedang pada sisi yang lain terdapat restricted investment account yang menurut standar akuntansi bank syariah tidak dicatat sebagai bagian dari pasiva tetapi dicatat sebagai off balance sheets dengan disclosure berupa laporan khusus berbentuk laporan perubahan posisi dana investasi terbatas (bandingkan dengan dana kelolaan menurut versi BI dan SKAPI) sedang bentuk investasinya juga tidak dicatat sebagai aktiva produktif. Dalam hal ini bank memperoleh fee dan atau bagi hasil.

Isi dari laporan Laba – Rugi juga mencerminkan fungsi dari bank syariah yaitu dalam bentuk keuntungan penjualan (dari murabahah) bagi hasil (dari mudharabah dan musyarakah) pendapatan sewa (dari ijarah/leasing) dan pendapatan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syariah dan bila terpaksa bank menerima pendapatan non syariah misalnya jasa giro dari bank konvensional maka harus dikeluarkan dan disalurkan untuk kepentingan sosial hal mana harus didisclose. Pada sisi beban tidak akan dijumpai beban dana bahkan bagi hasil tidak boleh diklasifikasi sebagai beban dalam pelaporan bank syariah tetapi harus di disclose secara jelas dasar bagi hasil yang digunakan sedang biaya operasional lainnya tidak berbeda dengan bank konvensional.

Pada dasarnya bank syariah juga menganut konsep akrual khususnya untuk beban sedang untuk pendapatan harus dilakukan secara hati-hati tergantung dari opini dewan syariah setempat apakah menggunakan dasar cash atau akrual. Penggunaan dasar kas mengacu pada prinsip kehati-hatian yang berlandaskan ajaran Islam yang mengatakan bahwa apa yang akan terjadi besuk adalah ghoib sehingga tidak seharusnya mengakui pendapatan (baca : rezeki ) sebelum nyata –nyata berbentuk aliran kas yang secara riil masuk ke bank (ingat prinsip yang digunakan BI sebelum adanya SKAPI yaitu cash basis ) .Pada standar akuntansi bank syariah seperti untuk tagihan murabahah keuntungan diakui pada saat akad ditandatangani jika masa kredit tidak melewati satu periode laporan keuangan sedang bila masa kredit melewati satu periode laporan keuangan baik dalam bentuk lumpsum maupun installment maka pengakuan pendapatan harus proporsional secara akrual kecuali dewan pengawas syariah menetapkan secara kas atau ketika angsuran/cicilan diterima.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa meskipun belum semua hal dapat terungkap tetapi sedikitnya memberikan gambaran bahwa perlu suatu paradigma baru dalm merancang aplikasi akuntansi untuk bank syariah sesuai dengan standar yang telah ada . Meskipun diskusi akademis masih terus berlangsung dalam rangka memperdalam dan memperkaya wacana pemikiran sistim ekonomi dan bisnis Islam maka sejalan dengan berlakunya undang –undang perbankan yang merupakan penyempurnaan undang –undang bank terdahulu maka sangat menggembirakan karena BI dapat mengadopsi standar tsb. bersama-sama dengan IAI sehingga terdapat pedoman yang standar bagi praktek perbankan syariah apalagi jika kemudian mulai bermunculan bank syariah baru baik dalam bentuk bank syariah atau cabang syariah dari bank konvensional.

Sumber: Tazkia Online

Kategori:
1 Response
  1. Unknown Says:

    journal aslinya ada g ya kak?


Posting Komentar