Upaya untuk lebih memahami filosofi dan kinerja dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus dianggap sebagai suatu keniscayaan dan kebutuhan. Keunggulan-keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki LKS harus terus-menerus digali dan diimplementasikan dalam tatanan praktik LKS. Kesalahan dan kekurangan yang masih berlangsung harus semakin diminimalisasi. Upaya purifikasi (pemurnian) seyogianya menjadi agenda utama para insan LKS. Berikut ini disajikan keunggulan-keunggulan kompetitif sekaligus ciri khusus dari LKS.


Paling tidak ada tiga ciri khusus yang membedakan secara nyata antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) (Beik, 2006).
Pertama, lembaga keuangan syariah beroperasi dengan berlandaskan pada prinsip risk-bearing. Artinya, lembaga keuangan syariah berani menanggung risiko dalam menghadapi ketidakpastian usaha, karena klausul dalam syariah menyatakan 'tidak ada keuntungan tanpa risiko'. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS Luqman [31] ayat 34: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Indikatornya adalah bahwa lembaga keuangan syariah tidak pernah memberikan jaminan keuntungan yang pasti, berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang memberikan jaminan dalam bentuk suku bunga dengan persentase yang tetap. Lembaga keuangan syariah hanya memberikan expected rate of return (perkiraan keuntungan) kepada nasabahnya. Yang menarik adalah, meski lembaga keuangan syariah memiliki tingkat risiko dan ketidakpastian yang lebih besar, hingga saat ini belum pernah terjadi lembaga keuangan syariah yang mengalami kebangkrutan dan kegagalan. Berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang sering mengalami kegagalan dan kebangkrutan, yang salah satu contohnya adalah hancurnya tatanan lembaga keuangan Indonesia ketika terjadi krisis moneter 1997.

Ciri yang kedua adalah adanya dimensi moral dalam konsep lembaga keuangan syariah, di mana hal tersebut tidak akan pernah ditemukan dalam konsep lembaga keuangan konvensional. Lembaga Keuangan Syariah tidak akan pernah mungkin mau membiayai proyek-proyek bisnis yang melanggar syariat meskipun sangat menggiurkan dan menguntungkan. Berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang tidak pernah memedulikan persoalan halal haramnya. Ciri yang ketiga adalah lembaga keuangan syariah lebih menekankan pada peningkatan produktivitas. Lembaga keuangan syariah adalah lembaga keuangan yang menekankan konsep asset & production based system (sistem berbasis aset dan produksi) sebagai ide utamanya. Mudharabah dan musyarakah adalah cerminan utama dari ide tersebut.

Ada beberapa kelebihan pola pembiayaan mudharabah dan musyarakah ini. Pertama, kedua pola tersebut adalah manifestasi dari prinsip risk-profit sharing, yang merupakan 'inti utama' sistem lembaga keuangan syariah. Kedua, mudharabah dan musyarakah merupakan model pembiayaan investasi yang memiliki dampak nyata terhadap pengembangan sektor riil dan tingkat produktivitas masyarakat sehingga memiliki potensi untuk mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan.

Ketiga, konsep mudharabah dan musyarakah akan menggiring perubahan perilaku para pelaku ekonomi ke arah yang lebih baik dan lebih produktif. Para depositor akan memiliki kepedulian yang lebih terhadap dana yang disimpannya. Pada lembaga keuangan konvensional, nasabah kurang peduli terhadap dana depositonya karena dijanjikan menerima suku bunga yang tetap. Tetapi, dengan adanya konsep mudharabah, ia akan menghadapi risiko kerugian sehingga ia akan dengan cermat membandingkan expected rate of return yang ditawarkan lembaga keuangan syariah dan suku bunga yang ditawarkan lembaga keuangan konvensional. Nasabah pun menjadi lebih peduli dengan kondisi kesehatan suatu lembaga keuangan. Jika tingkat pengembalian lembaga keuangan syariah tinggi, ia akan mengetahui bahwa kondisi lembaga keuangan tersebut sehat. Sebaliknya, jika terjadi penurunan, ia pun dapat mengetahui bahwa lembaga keuangan tersebut sedang menghadapi masalah. Hal ini tidak terjadi pada sistem lembaga keuangan konvensional. Nasabah tidak mengetahui apakah lembaga keuangan ini berada dalam kondisi sehat atau tidak karena ia menerima sejumlah bunga yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kalangan investor akan terdorong untuk lebih berani melakukan inovasi dan mengerjakan proyek-proyek bisnis yang berisiko. Kreativitas bisnis akan tumbuh dan berkembang. Jika perusahaan mengalami kerugian, kerugian tersebut akan ditanggung bank seluruhnya jika menggunakan pola mudharabah, dan ditanggung bersama-sama jika menggunakan pola musyarakah. Neraca keuangan perusahaan pun akan lebih stabil karena aset dan kewajiban akan bergerak secara bersama-sama. Sementara pada sistem konvensional, jika diharuskan membayar sejumlah bunga kepada lembaga keuangan tanpa lembaga keuangan tersebut peduli apakah bisnisnya mengalami keuntungan atau kerugian.

Bagi kalangan lembaga keuangan sendiri akan menjadi lebih hati-hati di dalam menyalurkan pembiayaannya karena menghadapi risiko kerugian. Lembaga keuangan akan berhati-hati di dalam mengevaluasi setiap proyek, termasuk meneliti dengan saksama latar belakang calon investor yang akan dibiayai, apakah bisa dipercaya atau tidak. Bagi perekonomian secara keseluruhan, sistem mudharabah dan musyarakah akan mengurangi kemungkinan terjadinya krisis keuangan dan resesi ekonomi akibat stabilnya sektor riil dan sektor moneter (Beik, 2006).

Sektor riil dan sektor keuangan/moneter akan bergerak secara seimbang. Hal tersebut karena bagi hasil atau return pada sektor keuangan sangat bergantung pada kinerja sektor riil. Jika sektor riil meningkat, bagi hasil keuangan akan meningkat pula. Sebaliknya, jika sektor riil mengalami penurunan kinerja, bagi hasil untuk sektor keuangan akan menurun pula. Hal yang sama tidak akan ditemukan pada sistem konvensional. Dengan sistem bunga, kondisi sektor keuangan/moneter tidak secara otomatis mencerminkan kondisi sektor riil karena bunga atau return pada sektor keuangan tidak ditentukan oleh kinerja sektor riil. Inilah yang menjadi penyebab mengapa di suatu negara sering kali terjadi membaiknya kondisi makro ekonomi, tetapi tidak otomatis mencerminkan baiknya kondisi di sektor riil. Dengan demikian, jelaslah bahwa sistem bagi hasil merupakan instrumen yang dapat menstabilkan dan menyeimbangkan sektor riil dan sektor moneter secara otomatis (Beik dan Hafidhuddin, 2006). Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

Didin Hafidhuddin(Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor)
Republika, 3 September 2009

Kategori:
0 Responses

Posting Komentar