Perkembangan zakat semakin menunjukkan arah yang menggembirakan. Keputusan Komisi VIII DPR baru-baru ini untuk menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai mitra resmi komisi tersebut, menjadikan ruang politik bagi dukungan terhadap pengembangan zakat menjadi semakin besar. Apalagi, hal itu didukung oleh janji komisi tersebut yang akan menuntaskan amandemen UU Zakat pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Sejumlah isu-isu strategis, seperti struktur kelembagaan zakat masa depan dan kebijakan zakat pengurang pajak, diharapkan dapat diselesaikan selambat-lambatnya tahun depan.

Dukungan politik yang lebih besar ini diharapkan dapat dioptimalkan oleh Baznas dan para stakeholder zakat lainnya, termasuk BAZ/LAZ yang ada, sehingga peran zakat dalam pembangunan masyarakat dapat meningkat secara signifikan, terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Apalagi, jika menilik kondisi saat ini di mana kemiskinan tetap menjadi salah satu problematika utama yang harus diatasi oleh bangsa Indonesia, meskipun tren kemiskinan menurut pemerintah dan BPS terus menurun dalam 3 tahun terakhir.

Memasuki Ranah Negara
Masuknya zakat ke dalam ruang politik yang lebih besar sesungguhnya telah menjadi sebuah kebutuhan. Selama ini zakat lebih banyak bermain pada ranah sosial kemasyarakatan laiknya dunia LSM. Pada tahap awal perkembangan zakat, hal tersebut dapat dipahami, mengingat inisiator yang menggerakkan dunia perzakatan selama ini adalah masyarakat. Harus diingat bahwa sejarah perzakatan di Indonesia sedikit berbeda bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Dunia zakat modern di tanah air lebih banyak diinisiasi oleh masyarakat sehingga pendekatannya lebih pada bottom-up approach, berbeda dengan Malaysia, Brunei, atau Timteng yang pada umumnya lebih menggunakan pendekatan top-down. Persoalannya sekarang, seberapa lama pendekatan bottom-up ini, jika tidak disertai pendekatan top-down, akan berhasil men-trigger peran zakat yang lebih besar dan monumental?

Jika mengamati perkembangan zakat selama dua dekade terakhir, di mana era 1990-an merupakan tonggak awal modernisasi zakat, baik dari sisi manajemennya maupun dari sisi perluasan cakupan harta objek zakat, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjalanan zakat masih belum optimal. Meski pertumbuhan penghimpunan zakat maupun program pendayagunaan zakat sangat luar biasa, terutama dalam 5 tahun terakhir, namun ternyata semua hal tersebut belum mampu mendongkrak peran zakat yang lebih besar lagi terhadap bangsa dan negara. Apalagi menjadikannya sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi negara.

Bahkan dalam forum National Summit yang dilaksanakan pada 29-31 Oktober 2009 lalu, isu zakat sama sekali tidak dibahas. Begitu pula dalam program 100 hari pemerintah yang akan dijadikan sebagai acuan kebijakan pemerintah hingga 2014. Menurut penulis, ada beberapa kemungkinan mengapa pemerintah tidak memasukkan isu zakat dan juga isu ekonomi syariah lainnya. Pertama, kesadaran para pengambil kebijakan untuk mengikutsertakan zakat sebagai bagian integral kebijakan ekonomi negara masih sangat rendah. Kedua, zakat masih dianggap belum terlalu penting untuk dimasukkan sebagai bagian dari kebijakan utama ekonomi nasional.

Ketiga, sebagian penguasa melihat zakat dan instrumen ekonomi syariah lainnya masih dari perspektif ideologis religius semata, sehingga dianggap berpotensi mengancam prinsip kebhinekaan bangsa Indonesia, sebagaimana yang pernah terjadi dalam pembahasan RUU SBSN dan Perbankan Syariah pada 2008 lalu di mana sekelompok kecil politisi menolak kedua RUU tersebut karena dianggap bertentangan dengan kemajemukan bangsa.

Tentu saja, penulis berharap bahwa yang menjadi alasan utamanya adalah pada poin kemungkinan pertama. Artinya, kondisi ini lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran elite penguasa untuk mengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan ekonomi nasional sehingga ruang yang diberikan kepada zakat saat ini masih sangat sempit. Untuk itu, komunikasi dan sosialisasi kepada elite penguasa harus terus-menerus ditingkatkan.

Politik Zakat
Memang jika melihat sejarah Islam, jatuh bangunnya pengelolaan zakat sangat dipengaruhi oleh kondisi dan keputusan politik penguasa. Sebagai salah satu rukun Islam, kewajiban berzakat bersifat kekal abadi. Sehingga, aspek ritualitas zakat akan selalu terjaga oleh perintah Alquran dan Sunah yang bersifat mutlak, pasti, dan tidak dapat diubah.

Namun yang sering terlupakan, bahkan oleh umat Islam sendiri, adalah karakter politik zakat. Karakter politik inilah yang kemudian menjadikan instrumen zakat sebagai bagian fundamental dari sistem keuangan publik Islam. Zakat, bersama-sama dengan berbagai jenis pajak lainnya, telah menghiasi kebijakan perekonomian dunia Islam selama berabad-abad. Sehingga, dimensi ibadah al-maaliyah al-ijtimai'yyah zakat dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat diwujudkan. Untuk menjaga karakter politik zakat tersebut, peran penguasa menjadi sangat mutlak. Jika karakter politik zakat ini tercerabut, zakat hanya akan menjadi ritual ibadah mahdlah yang bersifat pribadi semata, yang pelaksanannya diserahkan pada setiap individu. Karena itu, kesadaran akan karakter politik zakat inilah yang membuat khalifah Abu Bakar RA mendeklarasikan perang terhadap beberapa suku Badui yang tidak mau membayar zakat kepada pemerintah pascawafatnya Rasulullah SAW.

Menurut Ugi Suharto (2009), jika saja Abu Bakar tidak memerangi para pengemplang zakat tersebut, hal itu akan menimbulkan persepsi di kalangan umat dan penguasa sesudahnya bahwa zakat tidak perlu dibayarkan kepada negara (lembaga amil). Dengan demikian, Abu Bakar telah menyelamatkan tidak hanya struktur keuangan negara, tetapi juga keseluruhan struktur Islam, karena zakat adalah pilar ketiga rukun Islam yang sangat penting.

Langkah Solusi
Mengingat pentingnya instrumen zakat, baik dari sisi ibadah mahdlah maupun dari sisi muamalahnya, sudah sewajarnya jika kita mencoba membangun kekuatan politik zakat yang kuat di negeri ini. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, menjadikan amandemen UU zakat sebagai pintu masuk integrasi ke dalam kebijakan ekonomi negara secara lebih mendalam.

Kedua, Baznas harus bisa memanfaatkan posisinya sebagai mitra resmi DPR maupun sebagai institusi yang juga berada di bawah pemerintah dalam mempercepat proses integrasi zakat dalam kebijakan nasional. Ketiga, perlu peningkatan peran FOZ sebagai kelompok lobi sekaligus sparing partner pemerintah dan DPR yang lebih efektif. Komunikasi dengan parpol juga harus secara intensif dilakukan. Keempat, peran kampus sebagai pusat riset zakat perlu ditingkatkan. Ini sangat penting di dalam menyuplai data dan argumentasi akademik yang akan memperkuat kinerja zakat nasional. Dan yang kelima, sosialisasi secara intensif kepada seluruh komponen masyarakat harus terus-menerus dilakukan. Insya Allah melalui proses yang berkesinambungan ini, maka peran zakat sebagai institusi politik dan ekonomi umat dan bangsa akan semakin kuat. Wallahu'alam.

Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM-IPB)
Republika Online

Kategori:
1 Response

Posting Komentar