Ditinjau dari sudut analisis ekonomi, kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar, sehingga menjadikan Madinah negeri yang makmur di kemudian hari. Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Mengingat saat itu negara Islam yang dibangun Rasulullah tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirinan suatu negara, maka kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara Islam tersebut.


Keuangan Publik Islam
Dalam keuangan Islam, kebijakan keuangan yang ada harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu pemerintahan yang islami. Terdapat perbedaan yang mendasar dari tujuan kegiatan ekonomi dalam ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami. Tujuan ekonomi konvensional lebih bersifat material dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek ‘immaterial’. Segala analisis ditujukan untuk mengukur hasil kegiatan tersebut dari sudut pandang keduniaan saja. Sementara ekonomi Islam memiliki tujuan yang sangat komprehensif yang menyangkut aspek material dan spiritual baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat.

Negara Islam pertama yang dibangun di dunia adalah negara yang dibangun Rasulullah di Madinah yang kita kenal dengan nama Negara Islam Madinah. Negara ini dibangun berlandaskan semangat keislaman yang tercermin dari Alquran dan kepemimpinan Rasulullah. Modal utama yang dipergunakan untuk membangun negara ini bukanlah uang melainkan semangat ketauhidan yang ditanamkan Rusulullah kepada masyarakat Madinah. Pada waktu itu kaum muhajirin yang mengungsi dari Mekkah dan datang ke Madinah tanpa membawa bekal yang cukup. Sementara di Madinah belum ada pemerintahan yang terorganisir dengan baik.

Beberapa kebijakan telah diambil oleh Rasulullah untuk mengukuhkan pemerintahan yang ada. Dalam bidang ekonomi, guna memacu pertumbuhan kegiatan perekonomian yang ada, maka langkah kebijakan yang diambil oleh Rasulullah adalah:

1. Membangun masjid sebagai Islamic center yang digunakan selain untuk beribadah juga untuk kegiatan kegiatan lain seperti tempat pertemuan parlemen, kesekretariatan, mahkamah agung, markas besar tentara, kantor urusan luar negeri, pusat pendidikan, tempat pelatihan bagi para penyebar luas agama, asrama, baitul maal, tempat para dewan dan utusan.

2. Guna memacu kegiatan ekonomi maka Rasulullah mempersaudarakan antara kaum mujahirin dengan kaum anshar. Kelompok anshar memberikan sebagian dari harta mereka kepada kaum muhajirin untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi sampai kaum muhajirin dapat melangsungkan kehidupannya.

Ditinjau dari sudut analisis ekonomi Islam, kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar. Persaudaraan itu ternyata telah membuat Negeri Madinah sebagai suatu negeri yang makmur di kemudian hari.

Pada masa awal Pemerintahan Negara Islam itu, keuangan publik Islami dan kebijakan fiskal belum banyak berperan dalam kegiatan perekonomian..Kebijakan fiskal belum dijalankan sebagaimana dilakukan pada analisis kebijakan fiskal dewasa ini, karena memang belum ada pemasukan negara saat itu. Rasulullah SAW dan stafnya tidak mendapat gaji sebagaimana lazimnya suatu pemerintahan. Penerimaan pemerintah hanya berasal dari sumbangan masyarakat. Zakat belum diwajibkan pada awal Pemerintah Islam tersebut. Kalau Rasulullah membutuhkan dana untuk membantu fakir miskin, maka Bilal biasa meminjam dari orang Yahudi.

Sumber penerimaan lainnya pada awal tahun pemerintahan tersebut adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang, dan ini baru diizinkan untuk menjadi salah satu sumber keuangan pemerintahan tersebut setelah turunnya surah al-Anfal (QS 8:41) pada tahun kedua Hijriah. Selanjutnya pada tahun kedua Hijriah tersebut zakat fitrah merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh setiap muslim dan ini kemudian menjadi salah satu sumber keuangan pemerintahan.

Sumber keuangan lainnya berasal dari jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh kelompok nonmuslim, khususnya ahli kitab, yang memperoleh jaminan perlindungan kehidupan dalam pemerintahan Islam. Sumber-sumber lainnya adalah kharaj (pajak tanah yang dipungut dari nonmuslim), ushr (bea impor) yang dikenakan kepada setiap pedagang dan dibayarkan hanya sekali selama setahun dan hanya berlaku kalau nilai perdagangannya melebihi 200 dirham.

Dengan berjalannya waktu dan mulai terkumpulnya sumber-sumber keuangan, pemerintahan mulai dapat membiayai berbagai pengeluaran terutama digunakan untuk mempertahankan eksistensi negara. Misalnya pengeluaran untuk membiayai pertahanan, pembayaran utang negara, bantuan untuk musafir, pembayaran gaji untuk wali, guru, dan pejabat negara lainnya.

Baru setelah itu, turun ayat yang menyangkut ketentuan pengeluaran dana zakat kepada delapan golongan, sebagaimana tercantum dalam surat QS at-Taubah ayat 60. Dengan turunnya ayat ini maka tampak kebijakan fiskal dengan tegas menetapkan jenis-jenis pengeluaran yang dapat digunakan atas dana zakat yang ada. Penggunaan dana zakat di luar ketentuan yang ditetapkan oleh ayat tersebut adalah tidak sesuai dengan ketentuan Alquran. Di situ tampak jelas bagaimana ekonomi Islam sangat peduli pada kaum miskin, yang derajat kehidupannya perlu dibantu dan diangkat ke tingkat yang layak.

Ditinjau sisi keuangan publik maka pengumpulan dan pengeluaran dana zakat dapat dipandang sebagai kegiatan untuk distribusi pendapatan yang lebih merata. Islam tidak menghendaki adanya harta yang diam dalam tangan seseorang. Apabila harta tersebut telah cukup nisabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian di sini tampak adanya usaha untuk mendorong orang memutarkan hartanya ke dalam sistem perekonomian, sehingga bisa menghasilkan growth.

Dengan semakin berkembangnya Islam yang tercermin dengan semakin luasnya daerah kekuasaan pemerintahan Islam, maka peran dari kegiatan keuangan publik semakin penting. Pengumpulan zakat melalui lembaga amil merupakan model pengumpulan dana zakat yang ada pada waktu itu. Lembaga Baitul Maal merupakan ‘departemen keuangan’ pemerintahan Islam.

Selain lembaga lembaga tersebut, dalam pemerintahan Islam juga terdapat lembaga lain yang cukup berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu lembaga yang berkaitan dengan kegiatan wakaf. Dalam sejarah Islam, tercatat bahwa lembaga wakaf ini sedemikian besar peranannya dalam sistem perekonomian.

Kebijakan Fiskal Islami
Tidak seperti kebijakan fiskal konvensional, di mana suatu pemerintahan dapat mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui berbagai insentif dalam tarif pajak maupun besarnya ‘tax. base’ dari suatu kegiatan perekonomian, maka dalam sistem zakat, segala ketentuan tentang besarnya ‘tarif’ zakat sudah ditentukan berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Oleh karena itu, kebijakan zakat sangat berbeda dengan kebijakan perpajakan.

Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat Islam. Walaupun demikian masih ada komponen lainnya, yang bersifat sukarela, yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan negara. Komponen-komponen sukarela ini terkait dikaitkan dengan tingkat ketaqwaan seseorang.

Sumber-sumber keuangan pemerintah di luar zakat dapat ditentukan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah yang ada. Sumber sumber keuangan baru dapat dibentuk setelah melalui proses kajian fikih. Misalnya, apakah untuk menghapus kemiskinan, pemerintahaan dibolehkan memungut pajak di luar zakat? Pertanyaan ini merupakan salah satu debat di kalangan ahli fikih yang merupakan ciri khas bagaimana sebuah kebijakan fiskal dapat dijalankan dalam sistem pemerintahan yang islami.

Sedangkan jenis pajak baru dalam keuangan publik dalam sistem ekonomi konvensional dikaji berdasarkan prinsip yang berbeda. Salah satu prinsip yang digunakan dalam keuang publik sistem ekonomi konvensional adalah prinsip fairness. Dalam keuangan publik tersebut, masalah fairness dikatakan sebagai masalah ‘etika’ yang penuh dengan value judgement. Untuk itu, mereka menentukan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam value judgement tersebut yaitu benefit principle serta ability to pay principle. Harus diakui, sistem analisis dalam keuangan publik islami belum semaju sistem analisis pada keuangan publik konvensional. Masih perlu kerja keras guna mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan keuangan publik islami. Wallahu a’lam bis-Shawab.

Mustafa Edwin Nasution
Tazkia Online

Kategori:
2 Responses

  1. Unknown Says:

    Allahuakbar....sungguh sangat mmbantu.


Posting Komentar