Perekonomian Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, sejak krisis moneter pada tahun 1997, bangsa ini belum mampu kembali bangkit. Seolah-olah keterpurukan menjadi pakaian yang menghiasi tubuh negara ini. Beberapa waktu lalu, misalnya, kita dikejutkan dengan terjadinya gejolak reksadana sebanyak dua kali sepanjang 2005. Yang pertama pada medio Maret-April, dan yang kedua pada medio Agustus-September. Para nasabah yang mempercayakan investasinya kepada investment manager untuk mengelola dana mereka melalui investasi reksadana, secara besar-besaran mengambil nilai aktiva bersih mereka (redemption).

Bapepam, selaku regulator, mencatat dana yang ditarik investor pada investasi reksadana sejak Januari hingga Agustus 2005 mencapai Rp 238,9 triliun. Sementara dana yang masuk sebesar Rp 192,2 triliun. Akibatnya, nilai aktiva bersih (NAB) industri reksadana menyusut tajam dari 108,2 triliun menjadi Rp 62,9 triliun (Republika, 26 September 2005).

Begitu pula halnya dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk memperkuat nilai kurs rupiah, maka di antara strategi yang diambil oleh otoritas moneter adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga. Bahkan, saat berbicara pada Indonesia Global Investment Forum di New York, pertengahan September lalu, Presiden SBY telah menegaskan bahwa tingkat suku bunga akan terus dinaikkan selama hal tersebut mendukung penguatan kurs rupiah. Naiknya suku bunga ini tentu saja akan berdampak pada sektor riil. Sehingga penulis khawatir bahwa upaya untuk mendongkrak peningkatan ekspor --terutama ekspor nonmigas-- akan menjadi sedikit terhambat. Bagaimanapun juga, bunga akan selalu berbanding terbalik dengan investasi di sektor riil. Semakin besar tingkat suku bunga, semakin berkurang pula investasi.

Padahal, saat ini kita perlu untuk meningkatkan investasi pada sektor riil. Hal ini mengingat tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di negara kita, yang telah mencapai 45,2 persen dari total penduduk, dengan tingkat pengangguran yang mencapai angka 50 juta jiwa (Depnakertrans RI). Tentu saja, menurut perkiraan penulis, angka ini akan cenderung bergerak naik, terutama pasca kebijakan menaikkan harga BBM pada 1 Oktober lalu. Semua hal di atas adalah sebagian kecil contoh ''kesemrawutan'' kebijakan ekonomi pemerintah yang berbasiskan pada teori konvensional. Penulis berkeyakinan bahwa sistem ekonomi konvensional telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Bunga masalah
Kalau kita bandingkan, perbedaan nyata dan signifikan antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah terletak pada sektor moneter. Dari sisi fiskal, perbedaan tersebut tidak terlalu terlihat nyata. Di antara faktor pembeda yang sangat signifikan adalah diharamkannya bunga pada sistem ekonomi syariah. Sementara bagi sistem konvensional, justru bunga itulah yang menjadi instrumen utama untuk menstabilkan perekonomian.

Kalau kita mau jujur, bunga adalah sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini dikarenakan bunga adalah institusi yang menjadikan ketidakseimbangan antara sektor riil dan sektor moneter. Mari kita ambil contoh sederhana berikut ini.

Pertama-tama, kita asumsikan seandainya bunga itu halal dalam pandangan Islam. Kemudian kita memiliki uang sebanyak Rp 1 miliar. Kita dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, uang tersebut kita depositokan ke bank dengan bunga 10 persen, atau kedua, uang tersebut kita investasikan untuk membangun pabrik dengan nilai expected return-nya juga 10 persen. Sebagai orang yang rasional, tentu saja pilihan pertama yang akan kita ambil, karena ia lebih menjamin kepastian return yang akan diterima, yaitu sebesar Rp 100 juta. Sementara pada pilihan kedua, terdapat risiko dan ketidakpastian. Belum tentu investasi tersebut menghasilkan return sebesar Rp 100 juta sebagaimana yang diperkirakannya.

Berdasarkan contoh tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa munculnya ketidakseimbangan ini lebih disebabkan struktur teori konvensional yang memang sudah tidak stabil akibat sistem bunga. Akibatnya kemudian, perekonomian pun menjadi labil. Kondisi moneter tidak mencerminkan kondisi sektor riil. Demikian pula sebaliknya, kondisi sektor riil tidak secara otomatis mencerminkan kondisi sektor moneter.

Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi syariah. Karena tidak ada jaminan kepastian return dalam bentuk bunga, maka sektor moneter memiliki ketergantungan terhadap sektor riil. Jika investasi dan produksi di sektor riil berjalan dengan lancar, maka return pada sektor moneter pun akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi sektor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil dan vice versa.

Itu adalah contoh kecil saja. Sehingga tidaklah mengherankan, jika saat ini, jumlah uang yang beredar di pasar uang adalah 500 triliun dolar AS, jauh lebih besar daripada jumlah uang yang beredar di pasar barang dan jasa yang hanya 6 triliun dolar AS (World Bank, 2004). Untuk itu, upaya mereformasi sektor finansial negara ini menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan. Harus ada perubahan paradigma yang jelas, dari paradigma konvensional menuju paradigma Islami.

Langkah perbaikan
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan di dalam upaya kita untuk mereformasi sistem keuangan negara ini. Pertama, memperkuat sistem perbankan syariah nasional. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan segera mengimplementasikan undang-undang (UU) yang mengatur tentang perbankan syariah. Tentu saja semakin cepat semakin baik. Paling tidak, akhir tahun ini atau awal tahun depan, UU tentang Perbankan Syariah sudah dapat diberlakukan.

Kemudian, Bank Indonesia perlu melakukan akselerasi dengan segera membentuk deputi gubernur yang khusus mengurusi bank syariah. Logika bahwa deputi gubernur ini nantinya akan secara otomatis dibentuk manakala industri perbankan syariah nasional telah semakin besar, harus diubah. Kita tidak perlu menunggu aset perbankan syariah mencapai 50 persen dari total aset perbankan nasional untuk membentuk deputi khusus ini. Mari kita belajar pada Malaysia yang mempersiapkan terlebih dahulu perangkat peraturannya dan baru kemudian mereka membentuk institusinya.

Penulis melihat bahwa di negara kita, peraturan selalu muncul belakangan dan terlambat. Seharusnya treatment terhadap bank syariah dilakukan secara khusus. Pembentukan deputi ini merupakan salah satu jawabannya. Kedua, membangun sistem pasar modal syariah yang kuat. Harus diingat bahwa pasar modal ini rentan dengan aktivitas spekulasi (meskipun banyak ekonom konvensional yang tidak mau mengakuinya sebagai spekulasi, melainkan investasi yang mengandung risiko). Untuk itu, harus ada aturan yang mendekatkan pasar modal dengan sektor riil.

Permasalahan utama sebenarnya terletak pada secondary market. Jual beli saham dan surat-surat berharga lainnya yang terjadi di pasar sekunder tidak memiliki dampak pada perusahaan yang menerbitkan sahamnya di lantai bursa. Perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, di mana tidak ada perubahan yang berarti dari nilai intrinsik saham. Sehingga harga yang berlaku, bisa berada di atas ataupun di bawah nilai riilnya.

Untuk itu, perlu ada aturan main tambahan yang menjamin agar nilai saham dapat sesuai dengan kondisi aktual perusahaan. Tujuannya agar terdapat aliran dana dari pasar modal kepada sektor riil. Penulis menyadari bahwa hal tersebut membutuhkan diskursus yang panjang. Membuat spekulasi menjadi aktivitas yang tidak menarik merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Ketiga, membangun sistem lembaga keuangan syariah (LKS) non-bank yang kuat. Hal ini juga sangat penting. Tentu saja dibutuhkan peran pemerintah (dalam hal ini Departemen Keuangan). Sudah saatnya Depkeu mendorong tumbuh dan berkembangnya LKS non-bank. Penulis melihat belum maksimalnya upaya yang dilakukan Depkeu. Sebagai contoh kecil, hingga saat ini belum ada satu pun direktorat yang khusus menangani asuransi syariah. Padahal, industri asuransi syariah saat ini tengah berkembang pesat. Wajarlah jika hal tersebut menuai kritik.

Bahkan salah satu rekomendasi agenda kerja Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam muktamarnya beberapa waktu lalu, adalah mendorong terbentuknya direktorat dimaksud. Keempat, adalah dengan terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekaligus memperkuat kerja sama dengan seluruh elemen yang ada, baik kalangan praktisi, akademisi, cendekiawan, ulama, pejabat, dan seluruh masyarakat. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Irfan Syauqi Beik, Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

0 Responses

Posting Komentar