Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Makro. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Makro. Tampilkan semua postingan
Dalam APBN 2006, pemerintah berencana untuk menambah utang baru dari luar negeri sebesar 3,5 miliar dolar AS. Walaupun di saat yang sama utang-utang lama berusaha dilunasi, tapi pengutangan baru ini menunjukkan seolah kita memang sulit keluar dari perangkap utang. Padahal beberapa saran telah sering diungkapkan para ahli ekonomi agar kita melepaskan diri dari ketergantungan utang. Karena pada dasarnya kita mampu dan memiliki potensi untuk mengakhiri tradisi utang yang selama ini dilakukan.

Negara kita termasuk negara dengan utang yang membutuhkan perhatian sangat serius, terutama dengan risiko yang harus ditanggung dengan generasi masa depan. Indonesia menanggung beban utang yang sangat besar. Global Development Finance 2002 menempatkan Indonesia pada status severely indebted and low income countries (SILIC), setara dengan Afghanistan, Nigeria, and Ethiopia. Ini jauh di bawah beberapa negara tetangga Asia seperti Malaysia, Thailand, yang masuk middle debt burden.

Secara teori pembangunan ekonomi, negara berkembang seperti kita memang sangat membutuhkan investasi untuk mendorong perekonomian sekaligus menyediakan lapangan kerja. Dari beberapa sumber pendanaan, utang merupakan alternatif yang cenderung menjadi penyakit kronis karena terus dilakukan seolah ia adalah sebuah ritual yang wajib dilakukan dalam aktivitas ekonomi.

Debt Trap
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kita baru akan bisa menghapus utang dalam jangka waktu yang sangat lama, dengan catatan tanpa ada penambahan utang baru, suatu hal yang sulit terealisasi tanpa ada langkah-langkah inkonvensional. Indonesia seakan sudah masuk dalam situasi harus berutang, debt trap, guna kelangsungan hidup perekonomian. Tanpa utang, negara kita seolah akan ambruk.

Karena utang menjadi masalah kronis yang dihadapi oleh mayoritas negara berkembang seperti Indonesia, diperlukan langkah-langkah nyata yang tidak sekadar mengikuti mainstream pemikiran konvensional, tetapi juga memanfaatkan potensi negara itu sendiri, termasuk cara pandang terhadap sistem ekonomi. Kita perlu membangun strategi untuk membuat bangsa ini mandiri dalam melakukan pembangunan dan investasi.

Mayoritas penduduk kita adalah Islam di mana adalah suatu keniscayaan untuk percaya bahwa Islam telah memberikan pedoman dalam urusan-urusan muamalah termasuk membentuk sistem perekonomian. Yang mungkin masih kurang adalah kekurangpedulian kita untuk menggali dan melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan prinsip, aturan, dan landasan yang telah diberikan oleh Islam.

Tiga Langkah
Setidaknya ada tiga langkah –kita bisa menyebutnya triple strategy– yang dapat bersama-sama kita lakukan untuk membangun sistem ekonomi syariah sebagai sistem yang mampu mendukung kemandirian ekonomi negara kita. Strategi ini seyogianya memiliki dua tujuan, yaitu bagaimana menyerap jumlah pengangguran atau secara halus surplus labor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor usaha kecil dan menengah.

Strategi pertama adalah Free Financing Access. Salah satu upaya membuat masyarakat dapat bekerja adalah memberikan kesempatan dan akses dana yang cukup luas bagi mereka yang mau dan mampu untuk menciptakan usaha. Kita sama-sama tahu bahwa pada sistem kapitalisme, bunga dan ketersediaan jaminan menjadi harga bagi mereka yang membutuhkan dana. Tentu saja fakta ini menjadi penghambat bagi mereka yang tak mampu menyediakan jaminan, padahal mereka mampu menciptakan usaha.

Dalam sistem ekonomi Islam, mereka yang mau berusaha disediakan akses dana secara luas tanpa jaminan, khususnya bagi mereka yang tak mampu. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana jika muncul moral hazard atau mengalami kerugian? Upaya meminimalisasinya terkait dengan sistem yang dibuat, termasuk mekanisme pengawasan sekaligus pembinaan nilai-nilai Islami pada masyarakat.

Lembaga-lembaga zakat, infaq, sadaqah (ZIS) membuktikan hal ini. Moral hazard sangat jarang terjadi karena memang pada kenyataannya mereka yang meminjam adalah orang-orang yang memang membutuhkan dana untuk usaha. Lagipula mereka melakukan pinjaman dana dalam nilai nominal yang relatif kecil, sehingga motivasi mereka tak lain hanya untuk berusaha. Lewat penanaman nilai Islami mereka juga memahami sistem ekonomi yang jujur dan amanah sekaligus produktif.

Sedangkan dalam kasus kerugian maka pemerintah dengan dukungan sektor volunteer, yaitu zakat dan juga wakaf dapat memberikan jaminan bagi usaha-usaha yang mengalami kerugian. Ini dibahas dalam strategi ketiga. Strategi kedua adalah menerapkan prinsip Profit Loss Sharing (PLS) secara baku dalam semua kegiatan perekonomian. Secara teori maupun praktik kita harus mengakui prinsip PLS merupakan prinsip yang adil dan seimbang. Setiap mereka yang melakukan usaha, baik yang memiliki dana maupun para entrepreneur, mempunyai tanggung jawab yang adil-proporsional dalam risiko maupun mencari keuntungan. Tidak seperti sistem bunga yang cenderung hanya menguntungkan pemilik dana tanpa risiko.

Sistem dengan prinsip PLS juga mengedepankan hubungan antara sektor moneter dan sektor riil. Berbeda dengan sistem bunga yang dapat menggandakan uang secara semu, sistem PLS menjamin sinerginya pergerakan uang dengan pembangunan ekonomi secara nyata. Ini menjamin bahwa penerapan prinsip PLS secara menyeluruh dalam perekonomian akan memberikan kontribusi derivatif berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan riil masyarakat.

Strategi ketiga adalah mengoptimalkan zakat dan wakaf sebagai investment safety net. Adalah wajar jika dalam melakukan kegiatan usaha, para pelaku usaha mengalami kerugian. Potensi kerugian tentu menjadi pertimbangan setiap pelaku usaha. Lembaga keuangan tentu akan memberikan pertimbangan mengeluarkan pinjaman terhadap risiko seperti ini. Nah solusi yang mungkin diterapkan adalah menyediakan jaminan ganti rugi bagi mereka yang melakukan investasi tetapi mengalami kerugian.

Dengan penduduk mayoritas umat Islam, potensi zakat dan wakaf sangat besar. Berbagai penelitian menyebutkan potensi kedua sumber dana ini mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Kita bisa mengalokasikan sebagian dana zakat dan wakaf yang terkumpul untuk cadangan jaminan kerugian investasi. Secara fikih, mereka yang mengalami kerugian dapat kita golongkan termasuk gharimin, orang yang berutang. Karena itu mereka juga punya hak terutama memperoleh zakat.

Untuk mengoptimalkan zakat saat ini memang telah berdiri berbagai lembaga amil zakat. Tetapi ini juga harus dibarengi dengan membangun kesadaran masyarakat, dan inventarisasi data statistik terhadap pengumpulan zakat guna pengoptimalan strategi kebijakan nasional. Untuk wakaf, upaya yang sedang dilakukan saat ini untuk membentuk badan wakaf nasional seyogianya didukung dan diberi perhatian khusus terutama oleh pemerintah. Dengan potensi yang demikian besar, tentu zakat dan wakaf diharapkan dapat menjadi solusi kemandirian ekonomi bangsa.

Mustafa Edwin Nasution, Ketua IAEI
Republika Online
Selengkapnya....
Perekonomian Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, sejak krisis moneter pada tahun 1997, bangsa ini belum mampu kembali bangkit. Seolah-olah keterpurukan menjadi pakaian yang menghiasi tubuh negara ini. Beberapa waktu lalu, misalnya, kita dikejutkan dengan terjadinya gejolak reksadana sebanyak dua kali sepanjang 2005. Yang pertama pada medio Maret-April, dan yang kedua pada medio Agustus-September. Para nasabah yang mempercayakan investasinya kepada investment manager untuk mengelola dana mereka melalui investasi reksadana, secara besar-besaran mengambil nilai aktiva bersih mereka (redemption).

Bapepam, selaku regulator, mencatat dana yang ditarik investor pada investasi reksadana sejak Januari hingga Agustus 2005 mencapai Rp 238,9 triliun. Sementara dana yang masuk sebesar Rp 192,2 triliun. Akibatnya, nilai aktiva bersih (NAB) industri reksadana menyusut tajam dari 108,2 triliun menjadi Rp 62,9 triliun (Republika, 26 September 2005).

Begitu pula halnya dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk memperkuat nilai kurs rupiah, maka di antara strategi yang diambil oleh otoritas moneter adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga. Bahkan, saat berbicara pada Indonesia Global Investment Forum di New York, pertengahan September lalu, Presiden SBY telah menegaskan bahwa tingkat suku bunga akan terus dinaikkan selama hal tersebut mendukung penguatan kurs rupiah. Naiknya suku bunga ini tentu saja akan berdampak pada sektor riil. Sehingga penulis khawatir bahwa upaya untuk mendongkrak peningkatan ekspor --terutama ekspor nonmigas-- akan menjadi sedikit terhambat. Bagaimanapun juga, bunga akan selalu berbanding terbalik dengan investasi di sektor riil. Semakin besar tingkat suku bunga, semakin berkurang pula investasi.

Padahal, saat ini kita perlu untuk meningkatkan investasi pada sektor riil. Hal ini mengingat tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di negara kita, yang telah mencapai 45,2 persen dari total penduduk, dengan tingkat pengangguran yang mencapai angka 50 juta jiwa (Depnakertrans RI). Tentu saja, menurut perkiraan penulis, angka ini akan cenderung bergerak naik, terutama pasca kebijakan menaikkan harga BBM pada 1 Oktober lalu. Semua hal di atas adalah sebagian kecil contoh ''kesemrawutan'' kebijakan ekonomi pemerintah yang berbasiskan pada teori konvensional. Penulis berkeyakinan bahwa sistem ekonomi konvensional telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Bunga masalah
Kalau kita bandingkan, perbedaan nyata dan signifikan antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah terletak pada sektor moneter. Dari sisi fiskal, perbedaan tersebut tidak terlalu terlihat nyata. Di antara faktor pembeda yang sangat signifikan adalah diharamkannya bunga pada sistem ekonomi syariah. Sementara bagi sistem konvensional, justru bunga itulah yang menjadi instrumen utama untuk menstabilkan perekonomian.

Kalau kita mau jujur, bunga adalah sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini dikarenakan bunga adalah institusi yang menjadikan ketidakseimbangan antara sektor riil dan sektor moneter. Mari kita ambil contoh sederhana berikut ini.

Pertama-tama, kita asumsikan seandainya bunga itu halal dalam pandangan Islam. Kemudian kita memiliki uang sebanyak Rp 1 miliar. Kita dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, uang tersebut kita depositokan ke bank dengan bunga 10 persen, atau kedua, uang tersebut kita investasikan untuk membangun pabrik dengan nilai expected return-nya juga 10 persen. Sebagai orang yang rasional, tentu saja pilihan pertama yang akan kita ambil, karena ia lebih menjamin kepastian return yang akan diterima, yaitu sebesar Rp 100 juta. Sementara pada pilihan kedua, terdapat risiko dan ketidakpastian. Belum tentu investasi tersebut menghasilkan return sebesar Rp 100 juta sebagaimana yang diperkirakannya.

Berdasarkan contoh tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa munculnya ketidakseimbangan ini lebih disebabkan struktur teori konvensional yang memang sudah tidak stabil akibat sistem bunga. Akibatnya kemudian, perekonomian pun menjadi labil. Kondisi moneter tidak mencerminkan kondisi sektor riil. Demikian pula sebaliknya, kondisi sektor riil tidak secara otomatis mencerminkan kondisi sektor moneter.

Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi syariah. Karena tidak ada jaminan kepastian return dalam bentuk bunga, maka sektor moneter memiliki ketergantungan terhadap sektor riil. Jika investasi dan produksi di sektor riil berjalan dengan lancar, maka return pada sektor moneter pun akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi sektor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil dan vice versa.

Itu adalah contoh kecil saja. Sehingga tidaklah mengherankan, jika saat ini, jumlah uang yang beredar di pasar uang adalah 500 triliun dolar AS, jauh lebih besar daripada jumlah uang yang beredar di pasar barang dan jasa yang hanya 6 triliun dolar AS (World Bank, 2004). Untuk itu, upaya mereformasi sektor finansial negara ini menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan. Harus ada perubahan paradigma yang jelas, dari paradigma konvensional menuju paradigma Islami.

Langkah perbaikan
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan di dalam upaya kita untuk mereformasi sistem keuangan negara ini. Pertama, memperkuat sistem perbankan syariah nasional. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan segera mengimplementasikan undang-undang (UU) yang mengatur tentang perbankan syariah. Tentu saja semakin cepat semakin baik. Paling tidak, akhir tahun ini atau awal tahun depan, UU tentang Perbankan Syariah sudah dapat diberlakukan.

Kemudian, Bank Indonesia perlu melakukan akselerasi dengan segera membentuk deputi gubernur yang khusus mengurusi bank syariah. Logika bahwa deputi gubernur ini nantinya akan secara otomatis dibentuk manakala industri perbankan syariah nasional telah semakin besar, harus diubah. Kita tidak perlu menunggu aset perbankan syariah mencapai 50 persen dari total aset perbankan nasional untuk membentuk deputi khusus ini. Mari kita belajar pada Malaysia yang mempersiapkan terlebih dahulu perangkat peraturannya dan baru kemudian mereka membentuk institusinya.

Penulis melihat bahwa di negara kita, peraturan selalu muncul belakangan dan terlambat. Seharusnya treatment terhadap bank syariah dilakukan secara khusus. Pembentukan deputi ini merupakan salah satu jawabannya. Kedua, membangun sistem pasar modal syariah yang kuat. Harus diingat bahwa pasar modal ini rentan dengan aktivitas spekulasi (meskipun banyak ekonom konvensional yang tidak mau mengakuinya sebagai spekulasi, melainkan investasi yang mengandung risiko). Untuk itu, harus ada aturan yang mendekatkan pasar modal dengan sektor riil.

Permasalahan utama sebenarnya terletak pada secondary market. Jual beli saham dan surat-surat berharga lainnya yang terjadi di pasar sekunder tidak memiliki dampak pada perusahaan yang menerbitkan sahamnya di lantai bursa. Perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, di mana tidak ada perubahan yang berarti dari nilai intrinsik saham. Sehingga harga yang berlaku, bisa berada di atas ataupun di bawah nilai riilnya.

Untuk itu, perlu ada aturan main tambahan yang menjamin agar nilai saham dapat sesuai dengan kondisi aktual perusahaan. Tujuannya agar terdapat aliran dana dari pasar modal kepada sektor riil. Penulis menyadari bahwa hal tersebut membutuhkan diskursus yang panjang. Membuat spekulasi menjadi aktivitas yang tidak menarik merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Ketiga, membangun sistem lembaga keuangan syariah (LKS) non-bank yang kuat. Hal ini juga sangat penting. Tentu saja dibutuhkan peran pemerintah (dalam hal ini Departemen Keuangan). Sudah saatnya Depkeu mendorong tumbuh dan berkembangnya LKS non-bank. Penulis melihat belum maksimalnya upaya yang dilakukan Depkeu. Sebagai contoh kecil, hingga saat ini belum ada satu pun direktorat yang khusus menangani asuransi syariah. Padahal, industri asuransi syariah saat ini tengah berkembang pesat. Wajarlah jika hal tersebut menuai kritik.

Bahkan salah satu rekomendasi agenda kerja Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam muktamarnya beberapa waktu lalu, adalah mendorong terbentuknya direktorat dimaksud. Keempat, adalah dengan terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekaligus memperkuat kerja sama dengan seluruh elemen yang ada, baik kalangan praktisi, akademisi, cendekiawan, ulama, pejabat, dan seluruh masyarakat. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Irfan Syauqi Beik, Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Selengkapnya....
Dalam beberapa hari ini, tepatnya pada tanggal 1 s.d. 4 Maret 2009, Indonesia menjadi tuan rumah World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-5. WIEF biasanya dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai negara untuk membahas ekonomi dan keuangan Islam, dengan pendekatan ilmiah dan empiris-praktis. Pertemuan terakhir digelar tahun lalu di Kuwait.
Forum kali ini memiliki arti yang sangat penting sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, karena ia diselenggarakan di tengah situasi ekonomi global yang semakin menunjukkan arah yang buruk. Dari forum ini diharapkan lahir tawaran-tawaran yang kongkret untuk membantu mengatasi situasi itu. Mungkin karena alasan inilah 5th WIEF ini mengambil tema, ''Food and Energy Security & Stemming the Tide of Global Financial Crisis.''

Kedua, karena kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan dunia Muslim, jika kita ukur dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dengan ukuran Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index), saat ini tetap berada pada posisi yang sangat rendah, walaupun negara-negara Muslim Timur Tengah selama bertahun-tahun menikmati kemakmuran ekonomi akibat kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas. Forum ini dapat dijadikan ajang untuk introspeksi tentang apa saja yang benar dan yang salah yang selama ini telah dilakukan oleh bangsa-bangsa Muslim itu.

Dengan tulisan ini, saya akan mengingatkan tentang tujuan dari syariah Islam yang tetap harus menjadi kerangka dasar sekaligus menjadi cita-cita utama dalam setiap kali kita berusaha mengembangkan ekonomi Islam. Dalam tulisan ini juga, saya akan mengungkapkan fakta-fakta penting tentang keadaan dan permasalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan dunia Muslim, termasuk Indonesia, dan menawarkan solusi yang paling sesuai dengan tujuan dari syariah itu.

Tujuan Syariah
Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah), seorang pemikir Islam yang memelopori lahirnya ilmu maqaashid al-syarii'ah (tujuan-tujuan syariah) melalui karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat, menjelaskan bahwa tujuan utama syariah Islam adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.

Jika kita menoleh ke Alquran, kita akan melihat betapa besarnya perhatian Tuhan pada kesejahteraan ini. Di dalam Alquran, sedikitnya ada 69 ayat yang secara khusus menyebut kemiskinan. Di samping itu, masih ada puluhan lagi ayat-ayat yang menyebut kata sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara, ba's, saa'il, qani', mu'tarr, dhaa'if, dan mustadh'afiin. Selain itu, sedikitnya ada 42 ayat tentang zakat yang korelasinya dengan kemiskinan juga amat erat. Jika dijumlah, kita akan menemukan lebih dari 150 ayat Alquran yang berkorelasi dengan kemiskinan.

Sekadar untuk perbandingan, yang terkait dengan riba, yang tentu saja juga merupakan prinsip penting di dalam ekonomi Islam, hanya ada 7 ayat. Besarnya perhatian Islam pada kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan manusia bisa juga dilihat dari banyaknya hadis Nabi Muhammad tentang hal itu. Di dalam salah satu hadis dikatakan bahwa kefakiran amat dekat pada kekafiran. Jadi, sejalan dengan tujuan diutusnya Muhammad SAW untuk menjadi 'tanda' bagi kasih sayang Tuhan bagi alam semesta (lihat Alquran surah Al Anbiyaa ayat 107), syariah yang dibawanya pun mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Mengukur Kesejahteraan
Kamus Wikipedia menyatakan, sejahtera adalah kondisi atau keadaan yang baik di mana manusia dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Welfare (sejahtera) juga berarti well being (healthy, happy, and prosperous). Selama beberapa tahun setelah Perang Dunia II, pengukuran tingkat kesejahteraan manusia mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat.

HDI merupakan gabungan dari tiga komponen (subindeks), yaitu: 1. Life Expectancy Index (Indeks Harapan Hidup), 2. Education Index (Indeks Pendidikan) yang diukur dari Enrolment Index (indeks yang mencerminkan tingkat keterdaftaran penduduk di sekolah formal) dan Adult Literacy Index (indeks melek huruf di kalangan penduduk dewasa), dan 3. Per capita GDP at Purchasing Power Parity Index (Indeks Pendapatan Per kapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli), yang dengan singkat disebut GDP Index. Ketiga sub indeks itu masing-masing mengambil porsi sepertiga di dalam menetapkan HDI.

HDI setiap tahun diukur dan dipublikasikan oleh United Nation Development Program (UNDP). Pada November 2008, UNDP memublikasikan ranking HDI tahun 2006 atas 179 negara. Dalam analisis ini, yang saya maksud dengan negara Muslim adalah negara dengan populasi Muslim 60 persen atau lebih dari total populasi penduduk negara itu. Dari 30 negara dengan HDI tertinggi diperoleh fakta-fakta terkait dengan dunia Muslim sebagai berikut:

Hanya ada dua negara Muslim, yaitu Brunei Darussalam (ranking 27) dan Kuwait (ranking 29), yang masuk di dalam jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi. Dua negara tersebut memiliki HDI tinggi karena ditopang oleh GDP Index. Tanpa harus kita buktikan, tingginya GDP Index kedua negara tersebut adalah karena tingginya pendapatan dari kekayaan alam yang tidak terbarukan (minyak dan gas).

Sebaliknya, negara-negara Eropa dan Asia yang mendominasi urutan 30 negara dengan HDI tertinggi itu adalah umumnya negara-negara yang unggul di pengembangan teknologi (knowledge-based economy). Padahal, negara-negara tersebut tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diunggulkan. Sekadar informasi tambahan, apabila kita susun 30 negara dengan Education Index tertinggi, kita tidak menemukan satu pun di antaranya yang merupakan negara Muslim.

Penduduk kedua negara Muslim itu hanya tidak lebih dari 2,77 juta jiwa, yaitu Brunei Darussalam 343.653 jiwa dan Kuwait 2.418.393 jiwa. Total penduduk kedua negara itu mewakili hanya 0,3 persen dari total penduduk negara di jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi, yang jumlahnya mencapai kira-kira 913 juta jiwa, atau hanya 0,15 persen dari total Muslim dunia (appr. 1,5 miliar jiwa), dan 0,04 persen dari total penduduk dunia (appr. 6,3 miliar jiwa).

Sebagai negara dengan populasi yang sangat besar, ekonomi Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik negara-negara Muslim di Timur Tengah. Fokus peningkatan GDP per kapita dan pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan memberdayakan sektor-sektor yang memiliki banyak pelaku (the bottom of the pyramid, meminjam istilah Prahalad). Yaitu, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai hampir 50 juta unit dan menyerap hampir 92 juta tenaga kerja. Dengan menempatkan UMKM dalam prioritas utama pembangunan ekonomi Indonesia, sesungguhnya kita juga sedang melaksanakan pesan Islam: Hendaknya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. [QS Al-Hasyr (59): 7].
Oleh: Yuslam Fauzi (praktisi perbankan syariah/Dirut Bank Syariah Mandiri)
Republika Online
Selengkapnya....
Sejak krisis likuiditas global bermula di akhir tahun lalu, perhatian dunia telah beralih kepada negara-negara penghasil minyak di kawasan teluk persia, khususnya negara-negara yang tergabung dalam blok ekonomi GCC (Gulf Cooperation Council). Hal ini disebabkan negara-negara anggota GCC memiliki surplus likuiditas yang cukup tinggi dibandingkan kawasan-kawasan lain di belahan dunia. Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya likuiditas di negara GCC adalah kenaikan drastis harga minyak dunia pada tahun 2008 lalu. Tingginya likuiditas di kawasan ini bahkan sampai memaksa perdana menteri Inggris, Gordon Brown, untuk melakukan tur di kawasan ini demi mencari suntikan dana agar menyelamatkan ekonomi Inggris dari kehancuran.

GCC adalah sebuah blok ekonomi yang beranggotakan enam negara, yaitu Kuwait, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab. Keenam negara di atas merupakan negara dengan pendapatan per kapita yang cukup tinggi dengan minyak sebagai komoditas utama penggerak perekonomian. Bahkan, pendapatan dari royalti produksi minyaknya sudah cukup untuk membuat negara-negara di kawasan ini untuk tidak terlalu menggantungkan pendapatan negaranya dari penarikan pajak. Hal ini menyebabkan kawasan ini terkenal sebagai kawasan dengan tingkat persentase pajak yang relatif rendah. Sebagai gambaran, dari surplus ekspor minyaknya, Kuwait bahkan bisa menyisihkan dana dalam jumlah yang besar bagi generasi penerusnya yang dikenal dengan Reserve Fund for Future Generation (RFFG). Sebagian besar surplus kekayaan tersebut tentunya pasti diinvestasikan dalam bentuk Investasi langsung (direct investment) ataupun investasi di pasar modal dan keuangan lokal maupun internasional. Kalau di masa lalu investasi surplus minyak atau yang dikenal dengan petrodollar terfokus di Eropa dan Amerika Serikat, sekarang sejak krisik moneter melanda dunia otoritas investasi negara-negara teluk mulai mengalihkan investasinya ke negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik dan Amerika latin.

Menurut laporan Goldman Sachs (2008), potensi investasi dari ekspor minyak diperkirakan berkisar antara 92-125 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 6-12 miliar dolar AS per tahun diinvestasikan di pasar modal di Asia Pasifik. Dengan jumlah yang cukup besar tersebut, negara-negara di Asia Pasifik mesti berkompetisi untuk mendapatkan aliran dana petrodollar ini termasuk Indonesia. Untuk memenuhi keinginan investor timur tengah yang lebih mengutamakan investasi di instrumen-instrumen keuangan syariah, negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura telah menyiapkan berbagai instrumen keuangan syariah (Islamic securities) di pasar modalnya yang berupa penerbitan sukuk (surat berharga syariah) dan penerbitan Indeks Saham Syariah yang berisikan saham-saham perusahaan yang memenuhi kriteria syariah secara kualitatif dan kuantitatif (syariah compliance share).

Indonesia sebagai negara Muslim terbesar pun tidak ketinggalan dalam usahanya menarik aliran dana dari kawasan teluk. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah, di antaranya, disahkannya UU no 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai payung hukum penerbitan sukuk negara, penerbitan SBSN pertama di kuartal terakhir 2008 dan diterbitkannya sukuk retail di bulan Februari 2009 sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam rangka menarik aliran petrodollar dari kawasan teluk. Namun, dibalik usaha-usaha pemerintah di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah agar lebih banyak lagi aliran investasi dari kawasan teluk ke Indonesia.

Pertama, Surat Berharga Syariah Negara atau sukuk negara mesti menawarkan pengembalian (yield) yang menjanjikan, diiringi dengan tingkat risiko kredit yang rendah. Itu artinya sukuk negara mesti mendapat credit rating yang baik dari lembaga rating internasional, seperti Moody, S&P, dan Fitch. Hal ini bertujuan untuk menambah kepercayaan (confident) investor terhadap SBSN. Di samping itu, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII) dan Airlangga Islamic Index mestilah tidak hanya perusahaan-perusahaan yang memenuhi kriteria syariah, tetapi juga merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai potensi keuntungan yang tinggi.

Kedua, jenis sukuk yang diterbitkan mestilah menggunakan kontrak-kontrak (uqud) yang dapat diterima secara global. Artinya, kontrak-kontrak yang kontroversi, seperti Bay Al-Inah dan Bay Al-Dayn yang tidak diterima dalam pandangan ulama di kawasan teluk sedapat mungkin mesti dihindarkan sebagai basis penerbitan sukuk.

Ketiga, pemerintah mesti lebih serius memperbaiki citra atau image Indonesia di kawasan teluk. Dalam hal ini, BAPEPAM, BKPM, Bank Indonesia, dan institusi terkait lainnya bekerja sama dengan perwakilan diplomatik Indonesia di Timur Tengah harus melakukan promosi secara intensif tentang iklim investasi di Indonesia. Selain itu, promosi dan infrastruktur pariwisata mesti lebih ditingkatkan. Karena, pariwisata mempunyai efek berantai yang besar, salah satunya adalah terhadap investasi. Sebagai contoh, negara jiran Malaysia melalui usaha diplomasi yang cukup panjang dan intensif dari tahun 1990-an sudah cukup berhasil mendapatkan citra yang baik di kawasan teluk, salah satunya adalah melalui promosi dan infrastruktur pariwisata yang baik. Penulis yakin apabila ketiga hal di atas menjadi fokus pemerintah, Indonesia bisa mendapatkan aliran dana petrodollar yang lebih banyak guna menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa di masa yang akan datang.

Sutan Emir Hidayat, Dosen Keuangan Islam, University College of Bahrain
Sumber: Republika Online
Selengkapnya....
Pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah pada awal Maret lalu menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pemerintah berargumen kenaikan harga BBM adalah salah satu upaya untuk mengurangi subsidi BBM yang jumlahnya semakin meningkat. Ini terkait kenaikan harga minyak dunia sejak triwulan IV 2004 yang melebihi asumsi harga minyak APBN. Kebijakan menaikkan harga BBM diharapkan dapat mengurangi beban defisit anggaran.


Sementara itu, anggota dewan, sekelompok pengamat ekonomi dan lapisan masyarakat lainnya menganggap pemerintah seharusnya dapat mencari alternatif lain ketimbang mengambil jalan pintas menaikkan harga BBM. Mereka yakin kenaikan harga BBM akan menambah beban ekonomi masyarakat miskin pasca krisis ekonomi 1997, ditambah dampak bencana tsunami yang belum berakhir.

Apakah mengurangi subsidi BBM merupakan satu-satunya jalan untuk mengurangi defisit anggaran? bagaimana sebenarnya solusi untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah dari sisi ekonomi Islam? Salah satu prinsip utama ekonomi Islam untuk mengurangi defisit anggaran adalah dengan menggunakan alat (instrumen keuangan) yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat. Dalam ekonomi Islam, setidaknya terdapat dua tipe instrumen keuangan yang dapat dipergunakan yaitu non-debt financing instrument (instrumen keuangan bukan utang) dan debt-based financing instrument (instrumen keuangan utang).

Instrumen Keuangan Bukan Utang
Instrumen keuangan bukan utang adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah dengan prinsip syariah yang memungkinkan pemiliknya memperoleh bagi hasil dan dapat diperdagangkan (tradable) pada harga pasar. Selain itu, kepemilikan atas sertifikat ini mencerminkan kepemilikan akan suatu proyek (kegiatan) pemerintah yang dapat mendatangkan pendapatan.

A. Instrumen Ijarah
Adalah contoh pertama dari instrumen keuangan bukan utang yaitu suatu sertifikat yang ditawarkan kepada publik sebagai bukti kepemilikan atas proyek pemerintah seperti infrastruktur (jalan, jembatan), fasilitas kesehatan, pendidikan, mesin dan peralatan, pelabuhan udara, dan lain-lain. Proyek-proyek tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui dana yang diperoleh dari pemilik ijarah. Pemerintah di sini adalah penyewa dan apabila kelak proyek tersebut mendatangkan keuntungan maka pemilik ijarah sebagai investor akan memperoleh bagi hasil dari keuntungan tersebut.

Pemilik ijarah bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan proyek, demikian pula pemerintah menjaga pelaksanaan proyek agar berjalan sesuai harapan kedua pihak. Pemerintah sebagai penerbit ijarah wajib menuliskan di dalam prospektus bahwa pemilik ijarah dapat menjual kepemilikannya pada harga pasar yang mencerminkan nilai pasar proyek tersebut.

Bentuk-bentuk ijarah yang biasa diterbitkan antara lain, (1) perpetual (renewable ijarah instrument), yaitu sertifikat ijarah yang dapat diperbaharui setelah jatuh tempo. (2) Temporary ijarah yaitu ijarah yang tidak dapat diperbaharui dan nilainya semakin menurun (gradually losses its value) dalam interval (periode) umur ijarah, dan (3) declining ijarah yaitu ijarah yang diterbitkan dengan kemungkinan bagi penyewa (pemerintah) untuk memiliki proyek dalam periode tertentu sehingga dalam hal ini ijarah merupakan pula debt equity swap.

B. Profit and Loss Sharing Instrument
Instrumen ini terdiri dari sharikah dan mudarabah yang mensyaratkan bagi hasil dan bagi kerugian dalam persentase yang disepakati bersama. Ciri umum dari instrumen sharikah adalah berkurangnya hak pengelolaan pemerintah dan beralih kepada pemilik sharikah (investor). Keuntungan bagi pemerintah adalah proyek tetap berjalan dengan manajemen dan tenaga ahli dari swasta namun pemerintah masih memiliki kontrol terhadap proyek tersebut.

Sedangkan pemilik sharikah (investor) mendapatkan hak pengelolaan proyek selain menyediakan pembiayaan. Instrumen sharikah dapat diperdagangkan dan pemerintah dapat meningkatkan (menurunkan) kepemilikannya melalui pasar sekunder. Sementara itu, mudarabah adalah bentuk yang paling ideal bagi proyek-proyek pemerintah yang strategis (income earning projects) seperti di sektor pertambangan, kehutanan, pertanian, komunikasi, dan lain-lain.

Pengalaman empiris perbankan Islam menunjukkan bahwa mudarabah berpotensi memobilisasi dana dalam jumlah besar selain memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk mengusahakan keahlian manajerial sehingga memberikan ekspektasi positif bagi investor (pemilik mudarabah). Sebagai instrumen keuangan, mudarabah dapat diterbitkan dalam jangka pendek, menengah maupun panjang oleh pemerintah pusat, daerah maupun swasta (yang di back-up pemerintah) serta dapat berbentuk perpetual, temporary dan declining seperti ijarah.

C. Instrument Output Sharing

Dengan instrumen ini, pemerintah menjual proyek atau harta tetap (fixed asset) seperti jalan tol, infrastruktur, dll kepada pemilik sertifikat. Selanjutnya, pemilik sertifikat menunjukkan sebuah agen (managing partner) yang akan mengelola proyek tersebut termasuk menanggung biaya operasional. Pemerintah dalam hal ini dapat ditunjuk sebagai managing partner yang menanggung biaya operasional namun di sisi lain akan mendapatkan bagi hasil dari proyek yang ditangani.

Instrumen Keuangan Utang
Sementara itu, instrumen keuangan utang adalah pilihan lain untuk menutupi defisit anggaran terutama bagi keperluan jangka pendek. Namun demikian, ekonomi Islam mempunyai aturan pokok dalam hal ini. Pertama, utang hanya dapat dipindahtangankan sesuai dengan nilai yang tertera di awal periode dan tidak memperhitungkan nilai waktu dari uang (time value of money) yang umumnya dikompensasikan dalam bentuk bunga. Kedua, utang tidak dapat ditukar dengan utang. Bentuk-bentuk umum instrumen ini antara lain murabahah, salam, istisna dan obligasi ijarah.

Pada murabahah, proyek pemerintah dikerjakan oleh pihak swasta namun kemudian setelah rampung proyek tersebut dijual kepada pemerintah yang membelinya dengan pembayaran yang ditangguhkan. Oleh karena tertundanya manfaat dari pembayaran maka pihak swasta menjual proyek tersebut dengan mark-up kepada pemerintah. Sementara itu pada salam, pemerintah dapat memperoleh dana dari penjualan seluruh (sebagian) output (hasil produksi) perusahaan pemerintah kepada pihak swasta (investor) namun penyerahan hasil produksi tersebut dilakukan di masa datang.

Istisna pada dasarnya sama dengan salam, namun bedanya barang yang diperjualbelikan dapat berupa kontrak, pekerjaan manufaktur, proyek perumahan termasuk tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Contohnya pemerintah menjual proyek pembangunan rumah kepada investor untuk memperoleh dana dimuka namun perumahan akan selesai dalam waktu tertentu di masa depan. Sementara itu, obligasi ijarah merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan jasa di masa datang kepada pemegang obligasi ijarah dari dana yang diperolah di muka. Jasa yang diberikan tersebut dapat berupa pendidikan gratis, pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dll.

Berbagai alternatif di atas, diharapkan tidak hanya akan mengurangi desifit anggaran pemerintah namun juga memberikan manfaat ekonomi dari terlaksananya proyek-proyek pemerintah serta manfaat sosial dari terserapnya tenaga kerja baru dan pengentasan kemiskinan di samping tentunya sesuai dengan syariah Islam.

Rifki Ismal, MA (Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia)
Republika Online
Selengkapnya....
Utang luar negeri adalah salah satu problematika mendasar yang dihadapi bangsa ini. Betapa tidak, untuk tahun fiskal 2006 saja, sebagaimana yang diungkap anggota DPR Rama Pratama, bahwa sebanyak 48,70 persen dari total PPh dan PPn senilai Rp 339,2 trilyun, habis terpakai untuk membayar utang pemerintah (Republika, 17 Maret 2006). Padahal kita mengetahui bahwa uang tersebut dibayarkan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, rakyatlah yang menanggung beban tersebut. Sungguh suatu kondisi yang sangat ironis dan pahit. Sehingga, alokasi dana APBN sebesar itu, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sistem pendidikan dan kesehatan nasional, menjadi “terbuang percuma” akibat utang yang harus dibayar pemerintah.


Sesungguhnya, pilihan untuk meminta penghapusan utang luar negeri, atau sekurang-kurangnya meminta penghapusan bunga utang, menjadi sebuah pilihan yang rasional. Namun demikian, pemerintah tampaknya memiliki pandangan-pandangan lain sehingga langkah tersebut tidak dijadikan sebagai solusi utama. Malah yang terjadi adalah kebijakan utang luar negeri tetap dipertahankan sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN. Penulis khawatir kebijakan ini akan membuat Indonesia semakin sulit keluar dari “lingkaran setan” utang dan kemiskinan.

Menyiasati kondisi yang ada, perlu kiranya dirumuskan strategi alternatif untuk bisa keluar dari perangkap tersebut. Penulis melihat bahwa ekonomi syariah adalah alternatif yang tepat. Pada kesempatan ini, penulis bermaksud mengusulkan beberapa skenario yang bisa dilakukan oleh pemerintah berdasarkan sistem ekonomi syariah. Skenario ini diarahkan sebagai upaya untuk mengembangkan perekonomian nasional, sekaligus tidak merugikan negara-negara yang selama ini telah menjadi kreditor bagi Indonesia.
Caranya adalah dengan mengkonversi dana utang yang harus dibayar, yang berjumlah ± 90 trilyun rupiah untuk APBN 2006, kedalam berbagai bentuk pola hubungan investasi dan pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Intinya, daripada dana tersebut diberikan begitu saja kepada negara kreditor, lebih baik dana tersebut dikelola oleh negara untuk kepentingan ekonomi rakyat dengan skenario yang menguntungkan semua pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. Pendeknya, ini adalah win-win solution dan oleh karena itu, renegosiasi utang merupakan jalan yang terbaik.
Satu hal sebagai langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan kebijakan utang luar negeri secara total. Pemerintah harus memiliki keyakinan kuat bahwa langkah tersebut memiliki manfaat yang lebih baik buat negara ini. Tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat skenario-skenario yang mungkin diimplementasikan beserta langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjutnya.

Tiga Skenario
Berbicara mengenai strategi, penulis berpendapat bahwa ada 3 skenario yang dapat dinegosiasikan oleh pemerintah kepada para kreditor. Skenario tersebut adalah : (1) investasi berbasis mudarabah, (2) investasi berbasis musyarakah mutanaqisoh, dan (3) investasi berbasis ijarah.
Pada skenario pertama, yang dijadikan landasan adalah mudarabah. Dalam skema ini, negara-negara kreditor bertindak sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan Indonesia bertindak sebagai mudarib atau partner yang menjadi pengelola usaha/investasi. Kedua belah pihak harus menyepakati rasio bagi hasil atas keuntungannya, misalkan 70 persen untuk mudarib dan 30 persen untuk rabbul maal. Indonesia bertanggung jawab secara penuh terhadap aspek manajemen atau pengelolaan investasinya. Sebagai contoh, jika Jepang setuju untuk menjadi rabbul maal untuk proyek pembangunan pabrik kelapa sawit di Sumatera senilai Rp 100 milyar, maka Indonesia sebagai mudarib bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan pabrik, termasuk dalam merekrut pekerja dan memasarkan hasil produk. Jika rugi, maka Jepang-lah yang akan menanggung kerugian finansial, sementara Indonesia menanggung kerugian waktu dan tenaga.
Keuntungan skema ini adalah negara-negara kreditor tidak akan kehilangan uangnya, karena Islam menjamin pokok pinjaman tidak akan berkurang meskipun nantinya menderita kerugian. Sedangkan bagi Indonesia, ia bebas untuk memenej dan menentukan pengembangan usahanya, sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya.
Pada skenario yang kedua, yang dijadikan sebagai landasannya adalah musyarakah mutanaqisoh. Dalam pola ini, baik negara-negara kreditor maupun Indonesia sama-sama berbagi keuntungan dan kerugian dengan rasio tertentu. Begitu pula dalam hal manajemen dan pengelolaan dimana kedua belah pihak memiliki kontribusi masing-masing. Namun dalam perjalanannya, Indonesia memiliki hak untuk membeli proporsi kepemilikan/saham negara kreditor dengan prosentase tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, sehingga pada suatu saat, seluruh saham akan dimiliki oleh Indonesia.
Sebagai contoh, Jepang dan IMF setuju untuk mengkonversi piutang mereka senilai 5 trilyun rupiah untuk berkongsi dengan Indonesia dalam sebuah mega proyek eksplorasi minyak senilai 8 trilyun. Kontribusi Indonesia adalah sebesar 3 trilyun (37,5 persen). Segala keuntungan dan kerugian ditanggung bersama dengan rasio 5:3. Kemudian sesuai kesepakatan, setelah 10 tahun, Indonesia berhak membeli saham mereka setahap demi setahap sesuai dengan harga pasar. Setelah 20 tahun, seluruh saham proyek tersebut menjadi milik Indonesia. Keuntungan bagi Jepang dan IMF adalah, disamping uang mereka yang 5 trilyun tidak hilang karena saham mereka dibeli oleh Indonesia, mereka pun memperoleh profit dari mega proyek tersebut selama 20 tahun. Bagi Indonesia, keuntungannya jelas, yaitu terserapnya pengangguran dan meningkatnya pendapatan nasional.
Pada skenario yang ketiga, yang menjadi landasannya adalah ijarah. Negara-negara kreditor bertindak sebagai muwajjir (yang menyewakan) dan Indonesia bertindak sebagai musta’jir (penyewa) atas suatu barang. Muwajjir berhak mendapatkan imbalan jasa atas barang yang disewakannya. Misalnya, Indonesia membutuhkan kapal-kapal penangkapan ikan yang modern senilai 1 trilyun. Jepang kemudian setuju untuk mengkonversi piutangnya senilai 1 trilyun dengan menyediakan kapal-kapal untuk disewakan kepada Indonesia. Indonesia pun setuju untuk membayar sewanya selama 10 tahun dengan nilai 120 milyar rupiah per tahun. Dalam konteks ini, Jepang mengambil margin fee sebagai jasa yang diberikan sebesar 20 persen. Jika Indonesia diberi opsi untuk membeli kapal-kapal tersebut setelah masa sewa, maka skema ijarah ini berkembang menjadi ijarah wa iqtina.
Bagi Jepang, ia mendapatkan keuntungan dari sewa kapal sebesar 20 persen. Sedangkan bagi Indonesia, jika ia langsung membayar utang 1 trilyun kepada Jepang, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi ketika utang tersebut dikonversi ke dalam skema ijarah, maka meskipun ia harus membayar 1,2 trilyun pada akhirnya, namun ia mampu menggerakkan perekonomiannya. Dengan kapal-kapal modern yang digunakannya, Indonesia mampu berproduksi lebih banyak sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan lebih menguntungkan bagi rakyatnya.

Langkah ke depan
Fokus penulis adalah pada 3 skenario di atas, meskipun bisa saja ditambahkan skenario yang lain. Namun demikian, skenario tersebut tidak akan bermakna jika tidak diikuti dengan langkah-langkah kongkrit pemerintah. Pertama, pemerintah harus membuat rencana pengembangan investasi sektor riil secara tepat dan terpadu. Jika seandainya pemerintah berkewajiban untuk membayar utang LN senilai Rp 100 trilyun, maka pemerintah harus segera menyusun rencana pengembangan berbagai proyek bisnis/investasi senilai Rp 100 trilyun, dalam bentuk 100 proyek yang berbeda-beda, di berbagai wilayah nusantara, dengan menyerap tenaga kerja yang berasal dari bangsa sendiri. Selanjutnya, proyek-proyek tersebut dipilah-pilah untuk ditentukan skenario mana yang cocok untuk diterapkan. Koordinasi antar instansi pemerintah sangat mutlak diperlukan. Pemerintah daerah pun harus dilibatkan. Dengan potensi sumberdaya alam yang luar biasa, penulis yakin bahwa negara kita akan mampu membuat ribuan rencana investasi di sektor riil dengan nilai trilyunan rupiah.
Kedua, perlu dibentuk tim lobi yang kuat, dimana negara-negara kreditor harus diyakinkan bahwa skenario yang ditawarkan tidak akan merugikan mereka. Malah sebaliknya, menguntungkan mereka. Presiden SBY sebaiknya turun langsung untuk memimpin proses negosiasi tersebut.
Ketiga, pemerintah harus membuat berbagai instrumen investasi syariah yang kuat dan kokoh, seperti SUN (Surat Utang Negara) Syariah. Kemudian pemerintah pun harus menjamin efisiensi birokrasi dan terbebas dari perilaku korup. Begitu pula dalam proses perencanaan proyek, harus dijamin bahwa nilai investasi riil yang ditawarkan kepada negara kreditor betul-betul terbebas dari mark-up. Jika ada pejabat yang terindikasikan melakukan mark-up dan korupsi, maka hukum harus ditegakkan. Jika perlu, dengan hukuman mati. Wallahu’alam.

Oleh : Irfan Syauqi Beik, M.sc.
Pesantren Virtual
Selengkapnya....
Oleh Ach. Bakhrul Muchtasib

Menjadi kebiasaan bagi umat Islam, ketika ramadhan datang akan di sambut dengan kebahagiaan dan dengan hati yang bersuka cita. Umat Islam akan luruh dengan segala kekhidmatannya untuk menjalankan ibadah puasa. Namun menjadi kebiasaan pula, khususnya di Indonesia, setiap menjelang ramadhan sampai lebaran (syawal) harga-harga barang akan berlomba-lomba naik secara signifikan, terutama barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok.

Setiap tahun kenaikan harga-harga ini seolah-olah menjadi ritual penanda masuknya bulan suci ramadhan dan berakhir dengan masuknya bulan syawal. Kenaikan harga-harga ini menjadi penyebab dari inflasi terus melaju. Pada bulan Agustus tahun ini telah terjadi peningkatan inflasi sebesar 0.75% (month on month), dan 6.51% untuk ukuran inflasi per-annum (year on year), naik di banding tahun 2006.

Bulan September dan bulan Oktober diperkirakan laju inflasi akan terus mengalami kenaikan. Karena pada bulan ini bertepatan dengan bulan ramadhan dan bulan syawal (Hari Raya Iedul Fitri), dimana kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang akan meningkat. Untuk ramadhan tahun lalu, laju inflasi meningkat tajam dibanding bulan sebelumnya yaitu sebesar 0.86% (month on month), sedang bulan sebelumnya hanya sebesar 0.38%. Melihat kondisi seperti ini, wajar bagi kita muncul rasa khawatir untuk menjalani ibadah ramadhan sekarang dan menghadapi iedul fitri yang segera datang. Umumnya yang terjadi, menjelang ramadhan dan iedul fitri masyarakat akan mempersiapkan untuk menghadapi ramadhan dengan banyak berbelanja kebutuhan pokok.

Sudah menjadi semacam “kewajiban”, setiap datangnya bulan ramadhan dan bulan syawal pasar akan merespon dengan menaikkan harga-harga barang. Begitupun, masyarakat seolah-olah “memaklumi” atas terjadinya kenaikan harga-harga barang pada bulan-bulan tersebut.

Menjadi pemandangan yang menarik, bulan ramadhan dan bulan syawal seakan-akan memiliki keterkaitan yang sangat erat dan kuat terhadap terjadinya kenaikan laju inflasi secara tajam. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal yang dapat menjadi pemicu kenaikan inflasi tersebut, yaitu:

Prilaku Konsumtif
Tindakan berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan pada masyarakat menjadi kebiasaan umum yang selalu terjadi pada bulan-bulan ramadhan dan bulan syawal.
Pertama, sudah menjadi kebiasaan (ritual) masyarakat Indonesia ketika menjelang ramadhan ataupun Lebaran akan saling mengunjungi sanak saudara sambil membawa sesuatu, berupa makanan, sebagai buah tangan yang bisa diberikan ke keluarganya. Kedua, umumnya masyarakat pada saat ramadhan, baik buka puasa maupun sahur, berlomba menampilkan menu spesial untuk keluarganya, dengan relatif lebih banyak dibanding hari biasanya. Hal ini yang menjadi penyebab dari meningkatnya permintaan terhadap kebutuhan pokok, sehingga harga-harga kebutuhan pokok tersebut akan mengalami kenaikan.

Kelangkaan Barang
Seringkali terjadi pada saat ramadhan dan menjelang iedul fitri barang-barang, terutama untuk kebutuhan pokok, menghilang dari pasaran. Sehingga barang-barang sulit untuk di cari dan menjadi barang yang langka. Ketiadaan barang di pasaran akan menjadi penyebab dari naiknya harga barang tersebut, karena terjadi ketidakseimbagan antara permintaan barang dan suplay barang.

Adakalanya kejadian seperti ini disebabkan oleh faktor alami dan ada pula terjadi karena faktor buatan. Faktor alami lebih disebabkan oleh besarnya permintaan di masyarakat terhadap suatu barang tertentu, namun tidak terimbangi oleh keberadaan barang tersebut di pasar oleh sebab kondisi yang sebenarnya terjadi. Masyarakat yang meningkat konsumsinya tidak dibarengi dengan peningkatan sirkulasi barang dipasaran. Faktor buatan, merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh para pelaku pasar untuk menaikkan harga-harga barang tersebut, dengan sengaja menghilangkan barang tersebut di pasar dengan cara melakukan penimbunan barang-barang yang dibutuhkan. Pada saat yang dianggap tepat para penimbun baru akan mengeluarkan barang tersebut dan menjualnya di pasar.

Problem Distribusi
Distribusi barang dari daerah penghasil ke daerah pengguna (konsumen) berkaitan erat dengan sarana dan prasarana transportasi. Jauh-dekatnya jarak, kondisi jalan dapat berpengaruh atas penentuan harga barang. Tinggi-rendahnya retribusi jalan, harga Tol, dan harga BBM menjadi bagian yang menentukan harga barang. Hal tersebut kemudian mampu mempengaruhi lancar dan tidaknya distribusi barang tersebut dari satu daerah ke daerah lain.

Menjadi fenomena tersendiri pada bulan ramadhan selalu dibarengi dengan kondisi transportasi yang tersendat-sendat, terutama menjelang hari raya iedul fitri, seluruh sarana transportasi akan terpenuhi oleh perpindahan orang dari kota ke daerah. Sehingga kesibukan di dunia transportasi meningkat lebih dari 100%, dan inipun khusus untuk transportasi yang mengangkut orang.

Oleh karena fokus transportasi tersebut, sehingga menyebabkan transportasi yang digunakan untuk mengangkut barang kebutuhan masyarakat akan tersendat dan terlambat. Situasi jalan raya akan mengalami kemacetan dan tidak lancar hingga sedemikian rupa. Sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama dari kelangkaan suatu barang pada salah satu daerah, dan akan menjadikan permintaan tidak terpenuhi. Yang terjadi kemudian harga-harga akan mengalami kenaikan secara signifikan.
Sumber: Republika Online
Selengkapnya....