Tampilkan postingan dengan label Zakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zakat. Tampilkan semua postingan
Salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2010 dan kini sedang intensif dibahas adalah RUU Pengelolaan Zakat, yang merupakan amendemen terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. RUU Zakat ini menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam pengentasan masyarakat miskin dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, RUU Zakat akan mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan sektor amal.
Selengkapnya....
Energi telah menjadi isu penting sejak terminologi industri diperkenalkan. Ketika semua mesin usaha harus bergerak, ketika manusia menuntut mobilitas yang semakin cepat, ketika semakin banyak orang berlomba menikmati hidup dengan beragam peranti kenyamanan, energi selalu dirindu datang dengan tegap dan siap, pantang mengenal siaran tunda.

Inilah 'nyawa' yang menggerakkan kehidupan karenanya banyak orang bersedia bertaruh nyawa mengingat begitu besar imbalan dan kepuasannya. Tentu, sungguh mulia siapa pun yang memberanikan diri menjadi jembatan 'terhidupkannya' manusia dan barisan usahanya dengan berjibaku menghadirkan ketersediaan energi ini. Dedikasi ini menjadikan kita lebih mudah tinggal antre sebentar, lalu kendaraan kita penuh terisi BBM seakan minyak tersebut memiliki sumur besar yang mengalir setiap hari tanpa perlu diisi.

Sayangnya energi di atas tak akan selamanya mudah dijumpai karena ketersediaannya yang terbatas dan berbiayai tinggi. Energi berbahan fosil telah memberikan warning kepada setiap kita bahwa keberadaannya memang bertenaga, namun tak bisa abadi. Dalam relasi inilah energi baru dan terbarukan menjadi ide sekaligus aksi yang tak sekadar pantas, namun juga sangat perlu kita kembangkan.

Mengutip definisi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Energi baru adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari energi terbarukan maupun energi tak terbarukan, antara lain: Hidrogen, Coal Bed Methane, Coal Liquifaction, Coal Gasification, dan Nuklir. Sementara energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain: panas bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Dalam perpres tersebut juga dicanangkan target pada 2025, share energy terbarukan mencapai 17 persen dari total konsumsi energi nasional.

Penulis sadar tak cukup kompeten bicara banyak tentang teknis energi terbarukan ini. Tulisan ini terinspirasi dari dianugerahkannya Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia (UI) kepada Prof Dr Ing BJ Habibie dalam bidang filsafat teknologi, akhir Januari 2010 lalu. Menurut Habibie, filsafat dan teknologi dapat bersinergi, baik secara positif maupun negatif. Keduanya memengaruhi kualitas moral, etika, budaya, dan peradaban manusia. Keterkaitan filsafat dan teknologi tidak dapat dipisahkan dan akan menentukan nasib manusia.

Dalam kerangka tersebut kami melihat relevansi filsafat menimbang zakat sebagai energi terbarukan. Zakat disyariatkan untuk diambil (khudz!), ''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.'' (At-Taubah: 103).

Zakat perlu 'ditambang' dengan pola penghimpunan yang profesional. Pilar Islam ini pun terbukti atau minimal diyakini mampu sebagai daya yang sanggup menghidupkan hati para muzaki (donator) dan menggerakkan pemberdayaan bagi para penerimanya.

Inilah kekuatan yang penting untuk tidak sekadar dipandang sebagai penggugur kewajiban seorang Muslim semata, namun lebih power full sebagai energi baru yang dapat terus berkembang hingga akhir zaman, bahkan mengantarkan berkah amal bagi pelakunya hingga masa kehidupan pascadunia.

Zakat juga bermakna tumbuh dan berkembang. Rasanya bukan sebuah kebetulan jika Islam mengarahkan bidang-bidang yang dizakati pada domain usaha yang bernilai keuntungan tinggi, karenanya hanya bagi mereka yang mencapai nisab sajalah yang mendapat kewajiban zakat. Dorongan untuk menjadi orang kaya yang saleh inilah yang mampu menjadi energi pemacu sebuah bangsa semakin maju pertumbuhan ekonominya.

Mari kita lihat Cina! Ekonominya berkembang sangat fantastis, bahkan overheated, di antaranya dipicu sebuah semangat yang diperkenalkan Deng Xiao Ping sejak awal masa pemerintahannya pada 1978. Waktu itu, Deng memperkenalkan semboyan 'Menjadi Kaya Itu Mulia' (zhi fu shi guangrong). Semangat ini ternyata disambut baik rakyat Cina di semua kalangan, semua berkejaran menjadi orang kaya.

Walaupun sejarah mencatat spirit ini berimbas negatif pada budaya korupsi tinggi di Cina, namun kita harus akui inilah salah satu semangat kebangkitan entrepreneurship dan ekonomi Cina yang kini menjadi raksasa dunia. Di sinilah nilai Islam menemukan ruangnya, di mana setiap orang didorong menjadi warga produktif secara ekonomi, berstandar kehidupan mapan dan sejahtera, namun menjadikan harta ada di genggaman tangannya, bukan di hatinya. Karenanya, ketika panggilan empati datang, tak berat rasanya melepaskan sebagian untuk berbagi.

Lebih Bersih
Keterbaruan kekuatan zakat terbaca dalam makna zakat sebagai penyuci harta dan jiwa. Zakat mampu menjadi energi pembaru bagi setiap pribadi atau institusi sehingga produktivitasnya berjalan semakin efektif karena selalu dibersihkan. Bukankah kebersihan berbanding lurus dengan kesehatan? Jika bersih harta, bersih jiwa, bersih fisik ini terbiasakan, insya Allah apa yang diharapkan setiap pribadi maupun perusahaan bisa terus berumur panjang dalam kebaikan, bukan mustahil direalisasikan.

Keunggulan lain yang kita kenal dari energi terbarukan adalah sifatnya yang lebih ramah lingkungan, lebih hijau. Inilah yang juga secara jelas terhasilkan jika zakat mampu dikelola dengan baik sehingga memberikan impact kesetiakawanan sosial dalam lingkaran sosial yang harmonis. Untuk inilah perlu pengorganisasian zakat lebih modern, profesional, dan amanah sesuai koridor syariah. Tentu, sangat diharapkan kehadiran pemerintah dan para regulator untuk menjaga energi kebaikan ini terus tereksplorasi dan berjalan saling melengkapi barisan energi positif di negeri ini.

Muhammad Trieha (Marketing & Development Group Rumah Zakat Indonesia)
Republika Online

Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
Zakat sebagai kekuatan sosial di negeri ini terus menunjukkan perkembangan menarik. Sejak pergeseran paradigmanya di awal 1990-an, zakat telah mampu memberikan warna dalam peta gerakan sosial di Indonesia. Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave, saat ini zakat setidaknya sudah melewati dua gelombang peradabannya dan sedang bersiap menjejakkan langkahnya di fase ketiga

Gelombang Pertama adalah ketika zakat didistribusikan untuk santunan dan kebutuhan karitatif. Ini paradigma lama zakat, ketika perolehan zakat dari masyarakat dibagikan langsung habis kepada yang berhak. Biasanya untuk kebutuhan konsumtif. Model penyalurannya pun terkadang kurang sensitif terhadap harkat kemanusiaan. Biasanya dibagikan dengan antrean panjang dan berdesak-desakkan.

Jika dibaca dari kacamata makroekonomi, zakat untuk santunan dimaksudkan sebagai pemompa sisi konsumsi masyarakat agar memilki daya beli dan menunjang pertumbuhan. Pendekatan santunan juga dipakai oleh pemerintah kita dalam pengentasan kemiskinan seperti BLT dan Raskin sebagaimana di negara-negara maju ada program sejenis cash transfer dan food-stamp.

Namun, masalah kemiskinan tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara ini. Tidak seimbangnya sisi penerimaan zakat dan jumlah orang yang miskin di sisi sebaliknya membuat santunan tidak akan efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Maka, pola distribusinya pun diubah ke arah produktif tanpa meninggalkan sisi konsumtif. Di fase inilah zakat memasuki gelombang kedua peradabannya. Zakat didayagunakan untuk mengatasi problem kemandirian di kalangan masyarakat miskin. Problem non-bankable yang melilit sebagian mustahik yang penghidupannya ada di sektor usaha informal menjadikan mereka tak berdaya untuk meningkatkan kapasitas usahanya, sehingga dibutuhkan akses permodalan yang lebih luas dan pendampingan.

Program inovatif lainnya adalah penyediaan layanan barang publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Di sini kita perlu acungkan jempol saat beberapa LAZ dengan gagah berani membuka program layanan kesehatan secara gratis, sekolah unggulan untuk dhuafa bebas biaya, dan program-program sejenis lainnya.

Dari sisi produksi, beberapa model pemberdayaan masyarakat miskin yang saat ini dilakukan, misalnya, di bidang pertanian dan peternakan. . Beberapa LAZ melakukan pemberdayaan model ini karena dua sektor tersebut terkait erat dengan bidang pekerjaan masyarakat yang menjadi sasaran zakat. Dua sektor yang menjadi hajat hidup kaum dhuafa ini sungguh potensial untuk dikembangkan sebagai model pemberdayaan, sebab memiliki keunggulan dekat dengan wilayah sasaran utama kantong-kantong kemiskinan di pedesaan.

Masalahnya adalah porsi kepemilikan masyarakat miskin terhadap lahan-lahan pertanian juga masih rendah di negara kita. Sebagian besar petani yang masuk kategori miskin memiliki luas lahan yang kurang efektif secara skala ekonomi untuk membuat mereka berdaya. Demikian juga dengan sektor peternakan yang strukturnya banyak didominasi peternak ''gurem''. Oleh karena itu, perlu dicermati upaya asset reform yang menjadi prioritas dalam model ini serta perlu ekstensifikasi di sektor lain yang sejenis, semisal perkebunan dan perikanan yang lebih dominan di luar Jawa.

Dari sekian program-program inovatif di atas memang dampaknya masih belum dirasakan secara makroekonomi, bahkan cenderung rentan terhadap perubahan kondisi akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa dengan sangat cepat meruntuhkan tembok kemandirian yang telah susah payah dirintis tersebut. Ada dua problem yang membuat segala inovasi program tersebut menjadi tidak bermakna. Yang pertama adalah problem irisan kebijakan negara terhadap kegiatan masyarakat. Ibarat seorang pemain bola yang sudah dilatih bertahun-tahun. Tetap saja dia susah menjadi pemain hebat apabila pemilik lapangan dan wasitnya tidak pernah memberi kesempatan dia bermain. Ilustrasi di atas menggambarkan kepada kita bahwa posisi masyarakat yang dimisalkan sebagai pemain bola dan posisi LAZ sebagai coach-nya tetap tidak akan banyak berperan jika tidak diberi kesempatan bermain dan didukung untuk menjadi pemain hebat oleh pihak penentu, yaitu pemerintah yang diumpamakan sebagai penyedia lapangan sekaligus wasit dan pembuat aturan pertandingannya.

Problem kedua adalah kapasitas institusi. Kapasitas lembaga-lembaga ''swasta'' nonprofit oriented dalam mengelola dana sangatlah kecil bila dibandingkan dengan kekuatan negara sebagai salah satu pelaku ekonomi dan pelaku pasar. Negara adalah the big market sekaligus the big player dalam ranah sosial ekonomi.

Negara menghimpun dana yang besar dari masyarakat lewat pajak dan juga membelanjakan dana tersebut untuk berbagai macam keperluan dari gaji PNS sampai belanja pembangunan. Apabila dihitung secara kasar, jumlah seluruh penghimpunan dana zakat yang dipercayakan masyarakat lewat organisasi pengelola zakat baik LAZ swasta maupun BAZ milik pemerintah dalam setahun mencapai kurang lebih satu triliun rupiah. Jumlah ini jauh sekali bila dibandingkan jumlah anggaran pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan yang tersebar di beberapa departemen.

Berdasarkan data Departemen Keuangan, realisasi seluruh anggaran program bantuan sosial dalam APBN-P 2009 diperkirakan mencapai kira-kira Rp 77,9 triliun. Padahal, program-program tersebut didominasi oleh model santunan (charity) dan bukan pendekatan pemberdayaan. Dampak sustainability-nya pun belum jelas terlihat.

Inilah kenapa banyak yang berseloroh bahwa posisi negara sebagai faktor pembangun kemandirian masyarakat dirasakan sangat lemah peranannya, namun sebaliknya sangat kuat menjadi aktor yang ''memiskinkan'' apabila ada kebijakan yang berdampak negatif terhadap lapis bawah masyarakat.

Di sinilah zakat sudah harus memasuki Gelombang Ketiga peradabannya, di mana LAZ mengambil peran sebagai mitra pemerintah dalam memandirikan umat melalui advokasi kebijakan untuk menciptakan keadilan sosial.

Dalam pengertian yang lebih luas LAZ ikut serta mewarnai kebijakan pemerintah yang lebih pro-poor, mengawasi peran pemerintah dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, serta membela hak-hak masyarakat yang bersinggungan dengan kebijakan negara. Bukankah membuat satu sekolah gratis dan satu unit layanan kesehatan cuma-cuma membutuhkan effort yang luar biasa besar baik dari segi dana maupun maintenance-nya. Bahkan, walaupun 100 lembaga sejenis LAZ dan LSM pun bisa membuatnya, akan lebih baik lagi jika mereka juga memberikan perhatian dalam mengawasi dan memastikan anggaran program-program pengentasan kemiskinan pemerintah (BOS, Raskin, PNPM, PKH, Jamkesmas) yang jumlahnya puluhan triliun rupiah dapat terdistribusikan dengan baik tanpa kebocoran serta tepat sasaran. Toh, semua program tersebut juga punya sasaran beneficiaries yang sama yakni masyarakat miskin.

LAZ sebagai salah satu pilar kekuatan Civil Society seharusnya berdiri sejajar dengan negara untuk sama-sama ber-fastabikhul khairot bagi kemaslahatan umat. Kebesaran negara ini akan bisa dilihat jika dirinya punya cermin untuk melihat jati dirinya yang sesungguhnya.

M Sabeth Abilawa (Kepala Divisi Advokasi Dompet Dhuafa Republika)
Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: 2 komentar |
Puzzle yang terdiri atas kotak-kotak tak beraturan memang sekadar melatih ketajaman berpikir. Sedangkan rezeki, jodoh, dan kematian, yang menjadi urusan Allah, agaknya pas diibaratkan puzzle kehidupan. Penuh misteri yang apa pun lakonnya punya konsekuensi. Target akhir puzzle mainan adalah hasil. Sedangkan, puzzle kehidupan intinya diproses. Benar atau salah, kembali pada sudut pandang logika. Apa yang diyakini benar ternyata keliru di pihak lain.

Orang bilang, hidup ini tak lebih 'mengelola isu'. Seperti dalam film seri LA Law yang benar dibelokkan, yang salah malah menang. Berjuang merebut kemerdekaan di negeri sendiri dicap pemberontak. Gerakan Intifada bermodal batu dan kerikil, dibuldoser dengan tank, pesawat pengebom, dan akhirnya disapu pasukan elite. Hanya dengan curiga, Irak diserbu. Entah apakah ada hubungannya, usai kunjungan Gerald Ford tahun 1975, Timtim pun dianeksasi.

Berharap keberpihakan, agaknya teramat mewah di Indonesia. Isu kehidupan lebih dikendalikan oleh kepentingan. Kebenaran yang sesungguhnya tak perlu marketing untuk menyatakan kebenarannya, memang tak pernah habis-habis diuji. Kasus 'Cicak lawan Buaya' dan Bank Century mengingatkan kembali kasus Sum Kuning, Sengkon Karta, Marsinah, Sukardal sang penarik becak, dan BLBI.

Di zaman Soekarno, sangat aib seseorang dituduh jadi kaki tangan dan antek asing. Kini, atas nama globalisasi, investor asing disuguhi dan dipermudah untuk melakukan banyak hal. Belum lagi perdagangan bebas berlaku total, pasar Tanah Abang sudah dibanjiri produk Cina. Anggodo yang tiba-tiba muncul, gempanya membuat Indonesia jadi bahan tertawaan Negara Jiran. Maka, terbayangkah peran para Taipan yang konglomerat itu. Memang, terlampau jauh berharap seperti apa yang dilakukan Umar bin Khatab RA. Orang kaya yang hartanya dicuri malah dihukum. Bagi Umar, pencurian itu tersulut karena tak pedulinya si kaya.

Begitulah yang terjadi di dunia zakat. Depag terusik dengan geliat LAZ (Lembaga Amil Zakat). Atas nama kekacauan zakat, Depag menyiapkan revisi UU untuk menutup LAZ. Sebagai anak bangsa, LAZ kebingungan. Saat Depsos tengah mempertahankan Karang Taruna dan Lembaga Adat agar tak padam, LAZ malah hendak dihapus. Dalam sms-nya, Erryriana Harjapamekas bertanya, "Apa prakarsa masyarakat dianggap mudharat?" SMS Drajad Wibowo pun bernada sama, "Diberangus? Kok seperti di negara komunis saja." Sedangkan, Rhenald Kasali kelu tak bisa komentar. Karena, baginya, LAZ sungguh punya manfaat besar di masyarakat.

Mudharat dan berangus, manfaat dan promosi, hanya rangkaian proses sebab akibat. Itulah bagian dari kebijakan. Yang lebih penting dari kebijakan, sesungguhnya mereka-lah penentu kebijakan. Gelas yang baru terisi separuh diisi penuh atau malah dibuang, tergantung yang memegang gelas. Maka, kehidupan jadi amat sederhana bila ukurannya hanya sekadar 'tak puas'. Kehidupan jadi menakutkan bila menempatkan sesuatu serba hitam putih. Di dunia, hitam pun masih punya kesempatan berubah.

Sejak berkiprah, hingga hari ini, LAZ tak pernah mengganggu dan tak minta bantuan sepeser pun dari pemerintah. Dalam keluarga, bukankah sang bapak tinggal memetik hasil. Kehidupan keluarga pun jadi lebih indah karena anak yang kaya difasilitasi agar bisa bantu saudaranya yang miskin. Yang tadinya cuma mimpi, berkat LAZ, sebagian anak-anak yatim dan miskin kini sudah bisa masuk UI dan ITB. Kesehatan cuma-cuma yang dianggap tak mendidik, manfaatnya juga malah berlebih karena dirasakan mahasiswa kedokteran untuk praktik. Si miskin yang hanya tahu bentuk kartu kredit atau debit yang telah afkir, melalui LAZ, mereka sungguh-sungguh dapat bantuan modal usaha.

Lantas, di mana keliru dan mudharatnya LAZ? Maka, rencana penghapusan LAZ ibarat 'menembak nyamuk dengan meriam'. Saat LAZ diyakini sebagai 'kesejukan sejarah', dalam waktu yang sama LAZ pun dianggap 'kecelakaan sejarah'. Saat manfaat LAZ makin terasa, saat itu pula yang diamati hanya gegap gempitanya hingga seolah rusaklah tatanan zakat.

Penghapusan jadi tanda krisis kepercayaan makin parah. Kita tak tahu lagi, apa dan siapa yang dapat dijadikan pegangan. Kita kebingungan melihat kehendak bapak. Bukankah bapak seharusnya mendorong anak-anak, bukan malah jadi algojo. Bukankah LAZ membantu negara atasi kemiskinan tanpa merecoki serupiah pun dana BLT, PNPM, dan KUR.

Apakah negara ini memang telah banyak kehilangan kearifan? Itulah yang membuat seorang pegiat sosial berkata, "Diamnya pemerintah adalah sumbangan besar bagi lembaga pemberdayaan." Posisi LAZ yang lebih kecil dari 'Cicak' pasti butuh pegangan, bukan palu godam. Padahal, merekrut SDM kelas satu yang mengatakan, "Kerja kok di yayasan gurem," sering kali merontokkan mental. Lantas, terbayangkah di detik-detik melamar, bagaimana seorang amil terbata-bata menjelaskan 'keamilannya' kepada calon mertua. Itulah saat penentuan hidup sesungguhnya, bukan di ujian skripsi.

Rencana penghapusan LAZ bisa jadi cermin kebijakan yang serbakacau: kacau visi, kacau wawasan dan sejarah, serta kacau dalam konsep dan pelaksanaan teknis strategis. Sekali lagi, penghapusan tentu menyedihkan karena itulah ketidakadilan. Kini, bandingkan antara LAZ dan BLBI. Meski dari aset tak sekelas, timbanglah sisi moralnya. Bank Century yang diyakini JK dirampok pemiliknya, bukan hanya dibantu triliunan, malah nama pun diizinkan berubah. Yang merampok dibantu, yang membantu hendak ditutup. Daripada ditutup, seharusnya Depag bisa tempatkan LAZ jadi tempat belajar moral hazard bagi bangsa ini.

Maka, jangan kutuk kegelapan karena hadirnya pelita seburam apa pun jauh lebih bermanfaat. Jangan lihat kekurangannya karena mendiamkan LAZ pasti bermanfaat. Jangan lihat seolah berebut pasar karena LAZ belum merambah blue ocean ratusan juta muzaki. Jangan paksa diri menutup LAZ karena penyesalan pasti datang belakangan.

Lebih baik membenahi ketimbang menutup. Lebih baik berbuat makruf ketimbang terjebak formalitas. Lebih baik menjadi penguasa yang kebapakan ketimbang bapak yang penguasa. Lebih baik melihat anak-anak menangis dibenahi ketimbang menangis karena dipenggal. Itulah bedanya menjewer dengan memenggal. Itulah bedanya bapak dengan penguasa.

Melihat kebijakan buruk tak sulit. Intinya, apakah kebijakan itu mengguncang? Kebijakan BLBI dan Bank Century mengguncang negara. Berlarutnya soal Bibit dan Chandra mengguncang moral masyarakat. Lantas, rencana menutup LAZ juga mulai memantik guncangan. Bukankah rumus 'siapa menebar angin bakal menuai badai' tak pernah meleset? Bukankah masih mengalir dukungan keping logam pada Prita.

Barangkali hanya sedikit orang yang gembira dengan ditutupnya LAZ. Maka, tak ada bangganya menutup LAZ. Toh, mereka anak-anak sendiri. Tak akan bertambah wibawa dengan tutupnya LAZ. Toh, mereka tak merongrong kewibawaan siapa pun. Tak akan ada kebahagiaan dengan berakhirnya LAZ karena tak pernah LAZ mencoreng harga diri siapa pun.

Diri kita jauh lebih penting dan berharga ketimbang kebijakan. Maka, gunakan jabatan. Jangan jabatan justru melelahkan kita. Kita pun lebih penting daripada kehidupan. Maka, buat kebijakan yang membuat hidup lebih hidup lagi. Bisakah kebijakan itu membuat orang lebih percaya, lebih kondusif, lebih mendorong suasana berzakat, lebih memudahkan mustahik menerima zakat, serta lebih bisa memberdayakan dan memakmurkan.

Sering orang lupa bahwa jabatan punya jebakan pada kedudukan, kearoganan, kepentingan, dan ketersinggungan. Sedangkan, orang banyak menyepelekan nurani yang mengajak pada kejernihan, kemakrufan, kebenaran, dan keadilan. Bila halal pun dihisab, bukankah sebaiknya nurani menghisab lebih dahulu.

Allah SWT tidak akan pernah menjerumuskan hamba-Nya. Kitalah yang harus mengambil pelajaran. Untuk itu, jangan berada di balik prasangka. Karena, Allah pasti punya maksud dengan lahirnya LAZ sejak 1993. Rasulullah SAW pun berpesan, "Sebaik-baik Muslim adalah yang paling bermanfaat." Kebijakan bisa membuat bencana. Maka, sebaik-baik kebijakan, kemaslahatanlah muaranya.

Erie Sudewo (Social Entrepreneur)
Republika Online

Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
Perkembangan zakat semakin menunjukkan arah yang menggembirakan. Keputusan Komisi VIII DPR baru-baru ini untuk menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai mitra resmi komisi tersebut, menjadikan ruang politik bagi dukungan terhadap pengembangan zakat menjadi semakin besar. Apalagi, hal itu didukung oleh janji komisi tersebut yang akan menuntaskan amandemen UU Zakat pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Sejumlah isu-isu strategis, seperti struktur kelembagaan zakat masa depan dan kebijakan zakat pengurang pajak, diharapkan dapat diselesaikan selambat-lambatnya tahun depan.

Dukungan politik yang lebih besar ini diharapkan dapat dioptimalkan oleh Baznas dan para stakeholder zakat lainnya, termasuk BAZ/LAZ yang ada, sehingga peran zakat dalam pembangunan masyarakat dapat meningkat secara signifikan, terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Apalagi, jika menilik kondisi saat ini di mana kemiskinan tetap menjadi salah satu problematika utama yang harus diatasi oleh bangsa Indonesia, meskipun tren kemiskinan menurut pemerintah dan BPS terus menurun dalam 3 tahun terakhir.

Memasuki Ranah Negara
Masuknya zakat ke dalam ruang politik yang lebih besar sesungguhnya telah menjadi sebuah kebutuhan. Selama ini zakat lebih banyak bermain pada ranah sosial kemasyarakatan laiknya dunia LSM. Pada tahap awal perkembangan zakat, hal tersebut dapat dipahami, mengingat inisiator yang menggerakkan dunia perzakatan selama ini adalah masyarakat. Harus diingat bahwa sejarah perzakatan di Indonesia sedikit berbeda bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Dunia zakat modern di tanah air lebih banyak diinisiasi oleh masyarakat sehingga pendekatannya lebih pada bottom-up approach, berbeda dengan Malaysia, Brunei, atau Timteng yang pada umumnya lebih menggunakan pendekatan top-down. Persoalannya sekarang, seberapa lama pendekatan bottom-up ini, jika tidak disertai pendekatan top-down, akan berhasil men-trigger peran zakat yang lebih besar dan monumental?

Jika mengamati perkembangan zakat selama dua dekade terakhir, di mana era 1990-an merupakan tonggak awal modernisasi zakat, baik dari sisi manajemennya maupun dari sisi perluasan cakupan harta objek zakat, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjalanan zakat masih belum optimal. Meski pertumbuhan penghimpunan zakat maupun program pendayagunaan zakat sangat luar biasa, terutama dalam 5 tahun terakhir, namun ternyata semua hal tersebut belum mampu mendongkrak peran zakat yang lebih besar lagi terhadap bangsa dan negara. Apalagi menjadikannya sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi negara.

Bahkan dalam forum National Summit yang dilaksanakan pada 29-31 Oktober 2009 lalu, isu zakat sama sekali tidak dibahas. Begitu pula dalam program 100 hari pemerintah yang akan dijadikan sebagai acuan kebijakan pemerintah hingga 2014. Menurut penulis, ada beberapa kemungkinan mengapa pemerintah tidak memasukkan isu zakat dan juga isu ekonomi syariah lainnya. Pertama, kesadaran para pengambil kebijakan untuk mengikutsertakan zakat sebagai bagian integral kebijakan ekonomi negara masih sangat rendah. Kedua, zakat masih dianggap belum terlalu penting untuk dimasukkan sebagai bagian dari kebijakan utama ekonomi nasional.

Ketiga, sebagian penguasa melihat zakat dan instrumen ekonomi syariah lainnya masih dari perspektif ideologis religius semata, sehingga dianggap berpotensi mengancam prinsip kebhinekaan bangsa Indonesia, sebagaimana yang pernah terjadi dalam pembahasan RUU SBSN dan Perbankan Syariah pada 2008 lalu di mana sekelompok kecil politisi menolak kedua RUU tersebut karena dianggap bertentangan dengan kemajemukan bangsa.

Tentu saja, penulis berharap bahwa yang menjadi alasan utamanya adalah pada poin kemungkinan pertama. Artinya, kondisi ini lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran elite penguasa untuk mengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan ekonomi nasional sehingga ruang yang diberikan kepada zakat saat ini masih sangat sempit. Untuk itu, komunikasi dan sosialisasi kepada elite penguasa harus terus-menerus ditingkatkan.

Politik Zakat
Memang jika melihat sejarah Islam, jatuh bangunnya pengelolaan zakat sangat dipengaruhi oleh kondisi dan keputusan politik penguasa. Sebagai salah satu rukun Islam, kewajiban berzakat bersifat kekal abadi. Sehingga, aspek ritualitas zakat akan selalu terjaga oleh perintah Alquran dan Sunah yang bersifat mutlak, pasti, dan tidak dapat diubah.

Namun yang sering terlupakan, bahkan oleh umat Islam sendiri, adalah karakter politik zakat. Karakter politik inilah yang kemudian menjadikan instrumen zakat sebagai bagian fundamental dari sistem keuangan publik Islam. Zakat, bersama-sama dengan berbagai jenis pajak lainnya, telah menghiasi kebijakan perekonomian dunia Islam selama berabad-abad. Sehingga, dimensi ibadah al-maaliyah al-ijtimai'yyah zakat dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat diwujudkan. Untuk menjaga karakter politik zakat tersebut, peran penguasa menjadi sangat mutlak. Jika karakter politik zakat ini tercerabut, zakat hanya akan menjadi ritual ibadah mahdlah yang bersifat pribadi semata, yang pelaksanannya diserahkan pada setiap individu. Karena itu, kesadaran akan karakter politik zakat inilah yang membuat khalifah Abu Bakar RA mendeklarasikan perang terhadap beberapa suku Badui yang tidak mau membayar zakat kepada pemerintah pascawafatnya Rasulullah SAW.

Menurut Ugi Suharto (2009), jika saja Abu Bakar tidak memerangi para pengemplang zakat tersebut, hal itu akan menimbulkan persepsi di kalangan umat dan penguasa sesudahnya bahwa zakat tidak perlu dibayarkan kepada negara (lembaga amil). Dengan demikian, Abu Bakar telah menyelamatkan tidak hanya struktur keuangan negara, tetapi juga keseluruhan struktur Islam, karena zakat adalah pilar ketiga rukun Islam yang sangat penting.

Langkah Solusi
Mengingat pentingnya instrumen zakat, baik dari sisi ibadah mahdlah maupun dari sisi muamalahnya, sudah sewajarnya jika kita mencoba membangun kekuatan politik zakat yang kuat di negeri ini. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, menjadikan amandemen UU zakat sebagai pintu masuk integrasi ke dalam kebijakan ekonomi negara secara lebih mendalam.

Kedua, Baznas harus bisa memanfaatkan posisinya sebagai mitra resmi DPR maupun sebagai institusi yang juga berada di bawah pemerintah dalam mempercepat proses integrasi zakat dalam kebijakan nasional. Ketiga, perlu peningkatan peran FOZ sebagai kelompok lobi sekaligus sparing partner pemerintah dan DPR yang lebih efektif. Komunikasi dengan parpol juga harus secara intensif dilakukan. Keempat, peran kampus sebagai pusat riset zakat perlu ditingkatkan. Ini sangat penting di dalam menyuplai data dan argumentasi akademik yang akan memperkuat kinerja zakat nasional. Dan yang kelima, sosialisasi secara intensif kepada seluruh komponen masyarakat harus terus-menerus dilakukan. Insya Allah melalui proses yang berkesinambungan ini, maka peran zakat sebagai institusi politik dan ekonomi umat dan bangsa akan semakin kuat. Wallahu'alam.

Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM-IPB)
Republika Online

Selengkapnya....
Kategori: 1 komentar |
Salah satu potensi zakat yang besar dalam perekonomian modern adalah zakat perusahaan. Para ulama Indonesia dalam menyikapi zakat perusahaan belum mencapai kesatuan pemikiran (unity of tought ). Mereka yang mempersempit lapangan sumber-sumber zakat, menyatakan tidak ada zakat pada perusahaan, dengan alasan karena tidak ada ketegasan dari Rasulullah. Menurut mereka, harta benda yang menjadi sumber zakat itu harus ada ketegasan dari Rasulullah SAW.

Sementara mereka yang memperluas lapangan sumber zakat, memakai alasan keumuman nash tentang zakat. Dalam hal ini, kembali kepada prinsip sumber zakat ialah prinsip an-nama' atau al istinma (prinsip produktif) dan di luar kebutuhan pokok berdasarkan dalil-dalil umum zakat dalam Alquran dan sunah.

Penggunaan ijtihad dalam masalah zakat memang perlu batasan agar tidak terjadi salah kaprah. Bahwa apa yang sudah jelas dalam Alquran tidak perlu difatwakan lagi. Pada hemat penulis, di sinilah para ulama dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu alat sehingga mampu menggali hukum-hukum Alquran dan sunah, lalu mengaitkannya dengan perkembangan kehidupan umat masa kini. Betapa pentingnya zakat dan urgensinya sebagai salah satu pilar kemaslahatan umat terlihat dari banyaknya ayat dalam Alquran (sekitar 82 ayat) yang menyandingkan perintah menunaikan zakat dengan perintah mendirikan shalat.

Maka dari itu, dalam rangka mengaktualisasikan peran zakat sebagai salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam atau tepatnya merupakan salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam, kajian fikih tematik berkenaan dengan sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern perlu terus ditumbuhkembangkan.

Dalam peraturan perundang-undangan zakat di Indonesia, zakat perusahaan telah diakomodasi di dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, yaitu pasal 11. Dinyatakan bahwa di antara objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan. Namun, aplikasi zakat perusahaan di lapangan masih jauh dari yang diharapkan, yaitu masih dihadapkan pada persoalan kurangnya pemahaman masyarakat khususnya para pelaku ekonomi, belum adanya fatwa dari lembaga yang resmi yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang hal tersebut, serta tidak signifikannya pengaruh pembayaran zakat terhadap beban pembayaran pajak. Fatwa MUI adalah sangat penting sebagai pijakan dan kepastian hukum dalam aplikasi zakat perusahaan.

Di BAZNAS sendiri penerimaan zakat perusahaan telah berjalan atas kesadaran perusahaan yang ingin berkontribusi dalam program-program pendayagunaan zakat, meski pertumbuhannya belum sepesat yang diharapkan.Indonesia dapat mengambil komparasi aplikasi zakat perusahaan di beberapa negara lain, seperti Malaysia melalui PPZ (Pungutan Pungutan Zakat Wilayah Persekutuan), yang setiap tahunnya terkumpul penerimaan zakat perusahaan yang cukup besar.

Sejak beberapa tahun yang lalu telah ada Fatwa Komite Fikih Islam, Organisasi Konferensi Islam, Jeddah. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:
Pertama, saham perusahaan wajib dizakati oleh pemilik saham. Perusahaan dapat bertindak sebagai wakil pemilik saham untuk menyalurkan zakatnya atas nama mereka. Kedua, dewan manajerial dapat menyalurkan zakat saham perusahaan bagaikan subjek hukum konkret membayar zakatnya, dengan arti bahwa semua saham yang terdapat dalam perusahaan tertentu dianggap bagaikan sebuah harta milik seorang.

Ketiga, bila perusahaan tidak membayar zakat sahamnya, para pemegang saham wajib membayar zakat sahamnya masing-masing. Bila pemilik saham memperoleh keterangan tentang pembayaran zakat sahamnya pada perusahaan tersebut, berarti kewajiban zakatnya telah selesai sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Bila pemegang saham tidak mendapatkan keterangan tersebut, dilihat niat pemegang saham tersebut, kalau niatnya sewaktu mendepositkan saham hanya untuk memperoleh penghasilan tahunan dari deposit tersebut, dia membayar zakatnya atas dasar zakat eksploitasi, yaitu sebesar 2,5 persen dari keuntungan (di luar modal) dengan mempertimbangkan haul terhitung dari saat penerimaan keuntungan tersebut dan syarat serta penghalang lainnya.

Hal ini sesuai dengan keputusan Komite Fikih Islam tentang zakat barang tidak bergerak dan tanah nonpertanian sewaan. Bila pemilik saham mendepositkan modalnya dengan maksud dagang, ia wajib membayar zakatnya atas dasar modal perdagangan, ia wajib membayar sebesar 2,5 persen dari modal dan keuntungan setelah cukup haul yang nilainya dihitung atas dasar harga pasaran sedang berjalan atau penentuan seorang ahli.

Keempat, bila seorang pemilik saham menjual sahamnya di tengah-tengah haul, dia diharuskan menggabungkan harga saham tersebut dengan harta kekayaannya yang lain, seterusnya membayar zakatnya sekalian, bila haulnya sempurna. Pembeli diharuskan membayar zakat saham yang baru dibeli tersebut sesuai ketentuan di atas. Selain itu, Seminar Zakat I yang diselenggarakan di Kuwait tahun 1404 H/ 1984 mengeluarkan rekomendasi bahwa wajibnya zakat kekayaan dan aset perusahaan yang dibebankan atas perusahaan penanaman modal karena merupakan badan hukum abstrak.

Menurut Ketua Umum BAZNAS, KH Didin Hafidhuddin, dalam buku Zakat Dalam Perekonomian Modern (2006), pola perhitungan zakat perusahaan sama dengan zakat perdagangan. Hal ini merujuk pada pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwaal . Dalam praktiknya ialah didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. Yaitu, seluruh harta (di luar sarana dan prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya.

Dari situlah dikeluarkan 2,5 persen sebagai zakat perusahaan. Sementara ada juga pendapat lain menyatakan bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya itu hanyalah keuntungannya. Tetapi, pendapat terakhir ini, dalam kaitan tersebut di atas, pada tataran masyarakat, perlu penguatan dan pendalaman serta penyosialisasian konsep fikih tentang zakat perusahaan yang notabene adalah penjabaran dari prinsip-prinsip syariah. Pemahaman dan kesadaran zakat, termasuk zakat perusahaan, di kalangan umat Islam merupakan faktor penentu optimalnya pengumpulan zakat dan pendayagunaannya untuk mengurangi kemiskinan di tanah air kita. Peran zakat dalam kehidupan negara perlu semakin diperkuat.

Oleh M Fuad Nasar (Wakil Sekretaris Umum BAZNAS)


Selengkapnya....
Kategori: 2 komentar |
Salah satu upaya mendasar dan fundamental untuk mengentaskan atau memperkecil masalah kemiskinan adalah dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan zakat. Demikian pendapat Dr Yusuf Qardlawi, salah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif, dalam sebuah bukunya yang berjudul Musykilatul Faqri wa Kaifa 'Aalajaha al-Islam (Problematika Kefakiran/Kemiskinan dan Bagaimana Solusinya menurut Islam).

Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Maksudnya, selama umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

Kita bisa melihat bahwa pertumbuhan pengelolaan zakat di Indonesia sangat menggembirakan, terutama dalam 15 tahun terakhir. Jika sebelum tahun 1990-an pengelolaan zakat masih bersifat terbatas, tradisional, dan individual, maka sesudah itu, pengelolaan zakat memasuki era baru. Unsur-unsur profesionalisme dan manajemen modern mulai coba diterapkan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat baru yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru --yang berbeda dengan sebelumnya.

Implikasinya, amil kini telah tumbuh menjadi profesi baru. Amil tidak lagi dipandang sebagai profesi sambilan, yang dikerjakan secara asal-asalan, dan dengan tenaga dan waktu sisa. Saat ini, amil memerlukan konsentrasi dan aktivitas kerja secara full time. Amil juga tidak lagi menjadi aktivitas yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri saja, melainkan sebuah profesi yang dikerjakan sepanjang waktu.

Memasuki pintu negara
Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada tahun 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah sebelumnya hanya berkutat pada tataran masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan disahkannya Undang-undang (UU) No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan.

Sebagai konsekuensi UU tersebut, pemerintah (tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS) untuk tingkat pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat. Pemerintah pusat maupun daerah diharapkan memberikan perhatian penuh terhadap lembaga zakat ini, sehingga bisa bekerja secara profesional dan transparan. Dengan cara ini diharapkan problematika kemiskinan yang terjadi di negara kita secara bertahap dapat direduksi.

Strategi pokok
Secara nasional, zakat memiliki potensi menggembirakan. Menurut sebuah studi, potensinya mencapai angka Rp 6-7 triliun setiap tahun. Dalam studi lain, PIRAC menemukan potensi zakat mencapai Rp 4,3 triliun. Namun dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Pusat Budaya dan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, potensi tersebut mencapai angka Rp 19,3 triliun. Menurut analisa penulis, potensi zakat saat ini memang mencapai angka Rp 19-20 triliun. Idealnya, potensi zakat itu mestinya minimal 2,5 persen dari total GDP negara.

Tentu saja, data-data tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa zakat bila dikelola dengan baik bisa menjadi sumber kekuatan dalam memberdayakan kondisi perekonomian negara dan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan dukungan kuat dari seluruh pihak, agar pengelolaan zakat ini dapat terlaksana dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menguraikan beberapa strategi pokok pembangunan zakat ke depan. Paling tidak, ada empat strategi yang harus dikembangkan. Pertama, meningkatkan sosialisasi kepada seluruh komponen bangsa.

Yang menjadi target utama sosialisasi ini adalah kalangan pejabat, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, ulama, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum secara keseluruhan. Tujuannya agar elemen-elemen tersebut memiliki kesadaran kolektif akan urgensi dan pentingnya berzakat, terutama berzakat melalui lembaga yang amanah, baik BAZ maupun LAZ. Para pejabat, misalnya, diharapkan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa memiliki orientasi keberpihakan nyata terhadap pemungutan dan pendistribusian zakat. Sehingga berbagai hambatan regulasi dan aturan dapat diminimalisasi.

Kalangan ulama pun diharapkan menjadi agen pemberi informasi zakat yang tepat kepada masyarakat. Hendaknya masyarakat dibimbing untuk berzakat melalui BAZ dan LAZ yang dapat dipercaya. Dan masih banyak contoh lain. Pendeknya, semua pihak harus memiliki kesadaran bahwa berzakat melalui lembaga memberikan keuntungan-keuntungan. Antara lain menjamin efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran dalam pendayagunaan zakat. Kedua, penguatan lembaga-lembaga zakat yang ada, baik BAZ maupun LAZ. Ada beberapa aspek yang perlu diperkuat. Antara lain sumber daya manusia (SDM), program kerja, standardisasi mekanisme kerja dan auditing, penguatan database muzakki dan mustahik, serta regulasi yang mendukung perkembangan BAZ dan LAZ. BAZNAS sebagai lembaga zakat di tingkat nasional harus menjadi akselerator proses penguatan ini.

SDM yang ada haruslah memiliki komitmen kuat. Antara lain diindikasikan kesediannya mencurahkan waktu secara khusus sebagai amil, mengembangkan kemampuan mengelola dan mendayagunakan zakat, serta senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran, profesionalisme, dan transparansi dalam setiap aktivitasnya. Kemudian pelatihan-pelatihan yang mendorong pada peningkatan skill dan keterampilan perlu diperbanyak kuantitasnya, serta ditingkatkan kualitasnya.

Sementara itu, setiap BAZ dan LAZ harus memiliki program kerja yang jelas dan terukur. Sasaran-sasaran program harus dapat didefinisikan secara jelas dan gamblang. Kemudian perlu juga dibangun standar mekanisme kerja BAZ/LAZ, yang didukung mekanisme audit yang transparan, sebagai bukti public accountability BAZ/LAZ.

Memang, penulis akui, sampai saat ini belum ada standar yang bersifat nasional. Karena itu, diharapkan BAZNAS periode sekarang mampu merumuskan standardisasi ini, yang tentu saja dengan dukungan dan bantuan pihak-pihak lain, termasuk masukan-masukan dari BAZ dan LAZ. Ketiga, mengefektifkan pendayagunaan zakat. Dalam langkah ini, ada dua indikator utama yang menentukan apakah dana zakat telah didayagunakan secara tepat atau tidak. Indikator pertama adalah shariah-compliance, kesesuaian dengan nilai-nilai syariat Islam. Ini sangat penting karena zakat adalah ibadah yang memiliki rambu-rambu syariah jelas. Indikator kedua adalah ketepatan sasaran berdasarkan skala prioritas. Hal ini sangat penting agar dana zakat tidak jatuh kepada orang-orang yang tidak berhak menerima.

Keempat, mengembangkan sinergi antar BAZ dan LAZ yang ada, termasuk dengan komponen masyarakat lainnya, seperti lembaga keuangan syariah. Sinergisitas adalah kunci keberhasilan pembangunan zakat di Indonesia. Sebagai contoh, penguatan database muzakki dan mustahik tidak akan mungkin tercapai bila tidak ada sinergi antarlembaga pengelola zakat. Hingga saat ini, kita belum memiliki data yang akurat mengenai jumlah muzakki dan mustahik di Indonesia, termasuk peta persebarannya. Untuk itu, masalah ketersediaan database ini menjadi sesuatu yang urgen.

Penulis berharap, melalui sinergi yang terjalin dengan kuat, di mana di dalamnya terdapat unsur saling tsiqoh dan percaya yang kuat, maka pembangunan zakat secara nasional akan dapat berjalan dengan baik. Wallahu a'lam.

KH Dr Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional
Sumber: Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: 2 komentar |
Marketing dan komunikasi yang terintegrasi, menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan lembaga pengelola zakat, bahkan merupakan lini depan proses penggalangan dana zakat, infaq, shadaqah. Layaknya sebuah perusahaan konvensional, Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) pun harus memiliki tim marketing yang handal, kreatif, inovatif, powerful serta mampu melakukan terobosan. Amanah, transparan dan profesional adalah sebuah keniscayaan yang harus menjadi modal bagi LPZ, jika tidak maka mustahil akan mendapatkan kepercayaan publik.

Integrated Marketing Communications menjadi lini terdepan dalam proses komunikasi penggalangan dana zakat, infak dan shadaqah (ZIS). Target marketing adalah menghasilkan kesepakatan closing tanpa mengesampingkan pelayanan sehingga muzakki menjadi setia. Sedangkan target komunikasi adalah mengajak orang untuk berpikir, merasakan atau bertindak dengan cara tertentu. Alhasil marketing dan komunikasi yang terintegrasi menjadi bagian tak terpisahkan bagi LPZ. Penjelasan berikut adalah unsur-unsur integrated marketing communications.

Perencanaan Integrasi
Komunikasi efektif dihasilkan dari pemikiran terstruktur, yang dikombinasikan dengan wawasan dan pengetahuan mendalam tentang kebutuhan, aspirasi, dan perilaku muzakki sasaran. Jika tidak memilikinya maka integrasi hanyalah sebatas teori belaka karena komunikasi LPZ bergerak tanpa target yang jelas. Pengetahuan LPZ tentang keinginan publik, akan membuat mereka mampu menentukan positioning lembaganya terhadap publik, sehingga mereka dapat mengembangkan strategi penyampaian pesan secara efektif.

Periklanan
Iklan dapat diidentifikasikan sebagai sebuah pengiriman pesan melalui suatu media baik melalui TV, Radio, surat kabar, majalah sampai dengan poster sebagai bentuk komunikasi yang bertujuan mempengaruhi publik. Kendala utama bagi LPZ adalah tidak tersedianya anggaran yang cukup untuk belanja iklan. Maka perlu cara lain untuk beriklan tanpa biaya besar, misalnya, dengan menggandeng kerjasama media untuk penayangan PSA (Public Service Advertising) dalam sosialisasi program yang inovatif. Tugas marketing communications adalah meyakinkan bahwa media (TV, Radio, surat kabar) merasa memiliki program inovatif tersebut, sehingga terbuka peluang kerja sama dalam penayangan PSA.

Hubungan Masyarakat
Public Relations (PR) dapat berperan melebihi iklan, karena PR dapat merespon berbagai peristiwa dengan sangat cepat, sesuai strategi yang direncanakan. PR lembaga zakat akan dapat bekerja lebih baik jika diintegrasikan dengan aktivitas seperti menciptakan lingkungan media yang positif.

Direct Mail untuk Relationship Marketing
Bagi LPZ, direct mail merupakan salah satu senjata untuk mendapatkan muzakki baru. Ajakan berzakat dapat disampaikan dengan mengedepankan program-program unggulan dalam pengentasan kemiskinan, sehingga para dermawan akan mempercayakan dana ZISnya melalui lembaga kita. Tim marketing harus terus berupaya mendapatkan data prospek baru yang akan dijadikan sasaran pengiriman direct mail. Keunggulan direct mail adalah tertuju pada sasaran dan para penerima dapat menyimpan sampai saatnya tepat untuk berzakat.

Sponsorship
Sponsorship memiliki kemampuan dalam penyampaian sejumlah bidang komunikasi. Kemasan yang tepat dapat menciptakan atau memperkuat kesadaran akan nama yang tinggi. Jika kita jeli, banyak sekali media informasi, event atau program yang dapat melibatkan perusahaan atau lembaga lainya untuk berpartisipasi. Direct Mail, kop surat, newsletter, poster, brosur, buka panduan zakat, kendaraan operasional, publikasi di media, seminar dan program pemberdayaan atau yang lain berpeluang dalam penjualan ruang sponsor.

Desain
Pengaruh desain akan menembus ke segala bidang dan merupakan sentral komunikasi, namun tidak sedikit LPZ yang berpenampilan apa adanya sehingga terkesan tidak profesional karena mereka tidak menyadari pentingnya desain yang merupakan persyarakat meraih keberhasilan dalam komunikasi. Penampilan kemasan, cara beriklan semua mempunyai peran dalam membangkitkan respon emosional publik, dan respon itu merupakan inti dari segala sesuatu yang ingin kita capai.

Pameran & Seminar
Pameran merupakan peristiwa yang dihadiri oleh berbagai kalangan. Pameran juga dirancang agar dapat diketahui oleh masyarakat luas, sehingga partisipasi LPZ dalam pameran untuk memperkenalkan program kepada masyarakat luas. Biasanya keikutsertaan lembaga sosial akan mendapatkan harga spesial atau di bawah harga perusahaan konvensional lainya. Seminar diselenggarakan sebagai event yang bersifat pribadi dan dilaksanakan untuk kepentingan lembaga. Seminar dapat menjadi peluang untuk mendapatka positioning lembaga. Dari seminar kita akan mampu memperkenalkan lembaga kita kepada publik, selain itu juga kita akan mendapatkan keuntungan dari penyeleggaraan, baik dari kepesertaan ataupun sponsor jika kita mampu mengorganizer dengan baik.

Komunikasi Elektronik
Kemajuan media elektronik merupakan tantangan baru dalam dunia marketing, termasuk di dunia per”zakat”an. Internet juga mampu menembus batas wilayah budaya dan kelas sosial sehingga dapat berperan sebagai jendela dunia dalam hal informasi. Pengelolaan internet akan membuka peluang bagi terkomunikasikannya program-program LPZ sehingga berpotensi mendapatkan muzakki baru baik dari dalam maupun luar negeri. Televisi dan radio juga merupakan media paling banyak dikonsumsi publik sehingga jika LPZ memainkan peran serta mengkomunikasikan program melalui TV dan radio berarti melakukan komunikasi yang efektif. Kita dapat meminimalkan biaya produksi dengan mengajak kerjasama media, sehingga mereka juga merasa memiliki program tersebut.

Presentasi & Marketing Tools
Presentasi selayaknya lembaga bisnis juga harus dilakukan oleh LPZ. Individu, kelompok, perusahaan serta lembaga bisnis pun menjadi target dalam penyampaian program unggulan sehingga akan membangun kepercayaan. Tim marketing LPZ merupakan kekuatan dalam “penjualan“ zakat. Sehingga marketing tools yang elegan pun sudah semestinya disiapkan untuk menjadi senjata. Jadikan setiap pertemuan menjadi hal yang luar biasa bagi calon muzakki.

Memanfaatkan Moment & Media
Ramadhan, merupakan waktu yang tepat untuk kembali memberi ingat dalam berzakat. Keberkahan bulan ramadhan akan mendongkrak perolehan dana zakat jika LPZ mampu mengkomunikasikan dengan baik. Berbagai media harus dapat dimanfaatkan dalam sosialaisasi zakat. Walau tak hanya bulan ramadhan saja LPZ mengejar target perolehan ZIS, yang terpenting adalah kejelian serta mampu memilih media tepat dalam mensosialisasikan. Media internal di berbagai perusahaan dapat menjadi media dalam mengkomunikasikan ZIS. Poster, balon, spanduk, Giant Banner, Buku Panduan Zakat, brosur, stiker, sms, email, juga PSA melalui TV dan radio merupakan media untuk mencapai target tertentu, selain itu Tim Marketing juga harus berinovasi dalam kemudahan berzakat baik melalui ATM, SMS Charity, Phone Banking, Internet, Kasir Supermarket, ataupun pembayaran langsung melalui gerai.

Seluruh usaha yang merupakan perpaduan antara PR, Iklan dan promosi untuk membangun identitas zakat ini, akhirnya bermuara pada tercapainya target marketing zakat, sehingga dana zakat, infak, shadaqah dan wakaf dapat terkelola dengan baik. Wallahu a’lam bis-Shawab.

Oleh: M. Anwar Sani, Ass. Manajer Marketing Communications Dompet Dhuafa Republika
Selengkapnya....
Kategori: , 1 komentar |
Pertumbuhan dunia perzakatan tanah air dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari sisi penghimpunan, dana zakat yang terkumpul menunjukkan tren kenaikan secara kontinu. Pada 2002, data nasional pengumpulan zakat yang ada pada BAZNAS, meski belum mencakup semua lembaga zakat, menunjukkan angka Rp 68,4 miliar. Kemudian pada 2008, angka ini naik menjadi Rp 930 miliar, atau meningkat sebesar 1.260 persen dalam kurun waktu 6 tahun. Ditargetkan, pada 2009 ini angka tersebut bisa mencapai Rp 1 hingga 1,2 triliun. Sebuah pencapaian yang sangat baik dan menunjukkan kesadaran masyarakat yang terus meningkat, meski nilai ini masih kurang dari 10 persen dari total potensi zakat yang ada. Sedangkan dari sisi pendayagunaan, meskipun belum ada datanya secara nasional, program zakat diyakini telah mampu meng-cover ratusan ribu mustahik setiap tahunnya, terutama dalam tiga tahun terakhir.


Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dunia perzakatan, baik dari sisi sosialisasi, regulasi, pengelolaan, maupun dari sisi sumber daya manusianya. Keempat aspek ini perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius agar instrumen zakat, infak, dan sedekah ini bisa memainkan peran yang lebih signifikan dalam perekonomian Indonesia pada masa yang akan datang.

Sosialisasi dan Kelembagaan
Di antara problem mendasar belum optimalnya penghimpunan zakat melalui lembaga adalah masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa menyalurkan zakat langsung kepada mustahik adalah lebih afdal. Padahal, dalam catatan shirah nabawiyyah, pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah ada satu contoh pun yang menunjukkan bahwa zakat diberikan kepada mustahik oleh muzaki secara langsung tanpa melalui perantara petugas khusus amil zakat. Pengecualian adalah pada pemberian infak dan sedekah, di mana seorang munfik dapat menyerahkan langsung dana infak kepada penerimanya. Karena itu, Rasulullah SAW selalu menunjuk sejumlah sahabat untuk menjadi petugas khusus pemungut zakat.

Pola seperti ini terus berlanjut hingga zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin 'Affan. Persoalan mulai muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana beliau banyak menghadapi fitnah politik dan penentangan dari sejumlah pihak yang berusaha memecah belah umat Islam. Dalam penelitian Ugi Suharto (2005) tentang Kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid, dinyatakan bahwa kondisi politik yang tidak menentu pada masa itu menyebabkan timbulnya keraguan untuk membayar zakat kepada lembaga (baca: negara). Hal tersebut dikarenakan situasi politik dan pemerintahan yang tidak stabil. Seorang sahabat bernama Ibn Umar ra, setiap kali ditanya oleh para pembantunya dari kaum Anshar tentang kepada siapakah mereka harus membayar zakat, selalu memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Pada satu waktu Ibn Umar ra menyerukan untuk membayar zakat kepada Ummal (petugas pengumpul zakat). Lalu pada kesempatan lain, beliau menyatakan sebaiknya zakat diserahkan kepada kaum mayoritas yang sedang berkuasa (ghalaba). Namun, kemudian beliau pun menyesuaikan pandangannya dengan situasi yang terjadi, dengan mengatakan, ''Bayarlah zakat langsung kepada mereka yang berhak menerimanya.'' (Ugi Suharto, 2005). Inilah barangkali yang menjadi dasar argumentasi sebagian pihak yang menyatakan bahwa zakat sebaiknya langsung diberikan kepada mustahik. Apalagi ada keraguan terhadap komitmen pemerintah terhadap Islam dan umat Islam, termasuk apakah dana yang ada akan sampai ke tangan yang berhak menerimanya atau justru akan dikorupsi.

Jadi, melihat akar sejarah tersebut, kata kunci yang sangat menentukan adalah faktor kepercayaan. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah BAZ dan LAZ yang ada. Masyarakat harus terus-menerus diyakinkan bahwa BAZ dan LAZ yang ada adalah lembaga yang betul-betul amanah. Keberhasilan BAZNAS meraih ISO 9000:2001 seharusnya bisa memecah keraguan yang ada. Apalagi ada ancaman sanksi pidana penjara dan denda bagi amil yang tidak amanah (Pasal 21, UU 38/1999).

Karena itulah, sosialisasi ini harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa yang lebih sesuai dengan tuntunan syariah adalah dengan menyerahkan zakat kepada lembaga amil, dan bukan langsung kepada mustahik. Inilah yang lebih afdal dan lebih sesuai sunah Rasul, serta lebih memiliki potensi untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Tanpa pengelolaan melalui lembaga amil yang amanah, dampak pemberian zakat hanya akan bersifat temporal dan sesaat.

Sedangkan mengenai komitmen duet presiden-wapres terpilih SBY-Boediono terhadap pengembangan ekonomi syariah secara umum, termasuk terhadap zakat, kita bisa merujuk kepada janji Boediono beberapa waktu lalu. Beliau menyatakan secara eksplisit bahwa ekonomi syariah adalah kunci untuk bisa lepas dari krisis, dan berjanji untuk mengembangkannya secara serius (Republika, 9 Juni 2009). Sebuah janji yang harus kita kawal, agar ia bisa menjadi kenyataan.

Regulasi dan SDM
Isu lain yang menentukan masa depan zakat di tanah air adalah amandemen UU 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Penulis melihat bahwa waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proses pembahasan UU ini adalah kurang dari dua bulan. Penulis khawatir, jika DPR 2004-2009 tidak mampu menyelesaikan proses amandemen ini dalam waktu yang tersisa, pembahasan oleh DPR periode berikutnya akan memakan waktu yang lebih lama lagi. Apalagi komitmen para caleg terpilih 2009-2014 terhadap zakat masih belum jelas. Keberadaan amandemen UU ini sangat penting ke depannya, terutama dalam penataan pembangunan zakat.

Isu lain terkait regulasi adalah masalah struktur organisasi, fungsi, dan kewenangan lembaga zakat, mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kecamatan. Harus ada pembagian yang jelas antara lembaga zakat di semua tingkatan, termasuk model pengembangan lembaga zakat ke depan, apakah BAZ dan LAZ dileburkan jadi satu, atau dibuat seperti model sektor moneter, di mana ada lembaga zakat sentral laiknya Bank Indonesia, dan BAZ-LAZ yang berperan laiknya bank pemerintah dan bank swasta.

Selanjutnya adalah kebijakan zakat pengurang pajak. Ini adalah kebijakan yang diharapkan dapat mendongkrak penghimpunan zakat sehingga memberikan peluang yang lebih besar kepada instrumen zakat untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Riset Patmawati (2006) menunjukkan bahwa dengan adanya distribusi zakat, kelompok 40 persen masyarakat terbawah di negara bagian Selangor Malaysia, mampu menikmati kue total pendapatan yang lebih besar, dari 8,62 persen menjadi 10,62 persen. Sedangkan kelompok 20 persen masyarakat teratas mengalami penurunan share dari 54,5 persen menjadi 49,8 persen. Kesenjangan di antara kedua kelompok tersebut dapat dikurangi melalui pemanfaatan zakat. Sedangkan, angka kemiskinan dapat dikurangi 15 persen.

Karena itu, penulis melihat bahwa integrasi zakat dalam kebijakan fiskal nasional merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Amandemen UU 38/1999 adalah langkah awal proses integrasi ini. Di samping itu, juga diperlukan sejumlah terobosan kreatif terkait kebijakan zakat. Sebagai contoh, ketentuan bebas fiskal tidak hanya diterapkan kepada mereka yang memiliki NPWP, namun kepada warga negara yang memiliki NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat). Artinya, jika seorang muslim tidak memiliki NPWP dan NPWZ, ia diharuskan membayar fiskal.

Kemudian selanjutnya, yang juga sangat menentukan masa depan zakat adalah SDM zakat itu sendiri. Upaya menghasilkan SDM zakat yang berkualitas melalui sistem dan institusi pendidikan yang terintegrasi dengan baik, harus menjadi prioritas agenda zakat nasional ke depan. Keberadaan perguruan tinggi yang membuka departemen atau konsentrasi ekonomi syariah harus terus-menerus didorong. Insya Allah, jika kesemua agenda ini dapat dilaksanakan, masa depan zakat Indonesia akan menjadi lebih baik. Wallahu'alam.

Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB dan Anggota ISEFID
Republika, 2 September 2009
Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
Dalam ajaran Islam, zakat merupakan ibadah yang sangat fundamental dan berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan maupun sosial ekonomi. Sesuai ketentuan Islam, zakat dikenakan atas tiap-tiap jiwa manusia yang hidup (zakat fitrah), dan atas harta-harta yang memenuhi syarat (zakat maal). Zakat-zakat yang dikumpulkan selanjutnya didistribusikan kepada kaum fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak belian, gharimin, pejuang fi sabilillah, dan ibnu sabil.

Potensi Zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan telah lama mendapatkan perhatian serius dalam berbagai literatur Ekonomi Islam. Namun masih sedikit ruang lingkup yang mengkaji peran negara dalam pengelolaan zakat. Isu ini baru berkembang dalam beberapa tahun belakangan ini.


Menurut Usher, ada empat motif yang mendasari orang kaya untuk membagi porsi dari pendapatan atau kekayaan mereka dengan orang miskin, yaitu: altruisme, perlindungan diri, mencegah kriminalitas, dan menjaga masyarakat liberal. Motif-motif ini dalam ilmu ekonomi sering dikategorikan termasuk sebagai aktivitas mengkonsumsi barang yang mempunyai karakteristik sebagai barang publik.

Dalam Islam, altruisme merupakan alasan utama untuk melakukan tindakan charity, yang merupakan wujud kepatuhan kepada perintah Allah. Hal ini dilakukan dengan membayar zakat yang diberikan untuk golongan miskin. Seorang muslim sejati akan mendapatkan kepuasan ketika mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin. Pencapaian ini utamanya didorong oleh semangat persaudaraan dan kemanusiaan.

Mannan (1997), menyebut zakat se¬bagai aktivitas ekonomis-religius dengan lima unsur penting. Pertama, unsur keper¬cayaan keagamaan, dalam arti bahwa seo¬rang muslim yang membayar zakat meyakini tindakannya itu sebagai manifestasi keimanan dan ketaatan. Kedua, unsur pemerataan dan keadilan, yang menunjuk¬kan tujuan zakat sebagai media redistribusi kekayaan. Ketiga, unsur kematangan dan produktivitas, yang menekankan waktu pembayaran sampai lewat satu tahun –ukuran normal bagi manusia untuk men¬gusahakan penghasilan. Keempat, unsur kebebasan dan nalar, dalam arti bahwa ke¬wajiban zakat hanya berlaku bagi manusia yang sehat jasmani dan rohani, yang merasa bertanggung jawab untuk membayarkannya demi kepentingan diri dan umat. Kelima, unsur etik dan kewajaran, yang mengandung pengertian bahwa zakat ditarik secara wajar sesuai kemampuan, tanpa meninggalkan beban yang justru menyulitkan si pembayar zakat.

Rasulullah menyatakan bahwa kemiskinan dapat menjerumuskan manusia menuju kekufuran. Pada konteks modern ini, kekufuran sebagai dampak kemiskinan dapat diperluas artinya meliputi kejahatan, penganiayaan anak, pornografi, prostitusi, dll. Dengan demikian menjadi sangat beralasan bagi negara untuk turut campur tangan dalam pengelolaan zakat.

Spesifikasi nisab dan objek pengenaan zakat sudah seharusnya menjadi salah satu proses program pengentasan kemiskinan dalam Islam. Program ini akan berperan secara signifkan jika dioperasikan dengan mekanisme administrasi yang tepat. Sekaligus membuktikan adanya sebuah mekanisme gradual yang kuat dibandingkan sebagai kepentingan politik yang instan semata.

Argumen tentang pentingnya peran negara dalam pengelolaan zakat harus mencakup rasional ekonomi yang dilengkapi dengan alasan non-ekonomi. Sekarang ini dibutuhkan fondasi mikro ekonomi untuk memperkuat pendekatan agama (fiqih) dalam hal menumbuhkan kepercayaan bahwa pengelolaan zakat oleh negara dilakukan secara bertanggung jawab.

Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa kritik terhadap kecilnya potensi dana zakat adalah tidak tepat. Bahkan data tahun 1990-an menunjukkan bahwa tranfer pendapatan untuk orang miskin di negara AS setara dengan 2,5% pendapatan nasional mereka. Oleh karena itu, diperlukan pemetaan kembali hubungan mekanisme yang lebih transparan antara sistem politik, ekonomi, dan keuangan.

Zakat mempunyai arti yang sangat penting dalam ajaran Islam sehingga harus ditunaikan setiap muslim. Pemerintah berkewajiban mendorong dan memfasilitasi kaum muslimin sedemikian rupa sehingga perintah-perintah keagamaan –termasuk zakat, dapat dilaksanakan.
Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |