Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan
Kitab fikih yang menjadi rujukan fatwa memiliki istilah-istilah khas yang kadang tidak dipahami padanannya dalam kerangka ilmu lain. Sebaliknya, istilah-istilah khas dalam ilmu akuntansi dan perbankan kadang tidak mudah ditemui padanannya dalam kerangka ilmu fikih.

Perbedaan kerangka logika fikih dengan kerangka logika ilmu lain kadang menimbulkan kesulitan ilmu lain dalam menafsirkan fatwa.Sebenarnya, fikih sendiri adalah tafsiran atas syariah. Inilah yang menyebabkan beragamnya pendapat fikih untuk satu masalah yang sama. Waktu, tempat, situasi, dan bahkan latar belakang ulama yang memberi fatwa menjadi faktor beragamnya fatwa. Ditambah lagi, fleksibilitas fikih yang didasari pada kaidah ''ketika keadaan sempit, hukum luas; ketika keadaan luas, hukum sempit''.

Bila keadaan sempit, misalnya dalam perjalanan, pelaksanaan shalat dapat digabung waktunya, bahkan dipersingkat jumlah rakaatnya. Semakin sempit keadaan yang dihadapi, semakin luas pula kemudahan hukumnya. Sedemikian luasnya sehingga dalam keadaan yang tersempit, suatu yang haram menjadi halal. Inilah yang dimaksud dengan konsep darurat.

Bila keadaan luas, kemudahan itu hilang. Semakin luas keadaan yang dihadapi, semakin ketat hukum diterapkan. Seorang yang mempunyai keluasan situasi sehingga mampu shalat malam tanpa tidur atau mampu puasa tanpa berbuka, berlakulah hukum yang sempit. Sedemikian ketatnya sehingga dalam keadaan yang terluas, suatu halal menjadi haram. Inilah yang dimaksud dengan konsep ghuluw .

Dua hal inilah, yaitu faktor waktu, tempat, situasi, latar belakang ulama, dan faktor kaidah fleksibilitas fikih, yang kadangkala membuat fikih dan fatwa yang dihasilkan semakin sulit dipahami.

Untuk perbankan syariah di Indonesia, kita ambil contoh fatwa tentang konsep bagi hasil ( net revenue sharing ) dan konsep bagi untung ( profit sharing ) dalam melakukan mudarabah. Mudarabah adalah transaksi antara pemilik modal dan orang yang menjalankan bisnis dengan menggunakan modal tersebut. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) membolehkan penggunaan kedua konsep ini. Definisi bagi hasil, menurut fatwa DSN, adalah pendapatan dikurangi modal, sedangkan bagi untung adalah pendapatan dikurangi modal dikurangi biaya-biaya.

Fatwa DSN ini berdasarkan logika fikih yang membolehkan nafkah pelaksana bisnis ditanggung oleh si pemilik modal (bagi hasil) atau ditanggung oleh pemilik bisnis (bagi untung). Contoh mudahnya adalah pemilik taksi dapat menanggung biaya bensin atau pengemudi taksilah yang menanggung biaya bensin. Keduanya dibolehkan secara fikih.

Fatwa ini ternyata tidak mudah dipahami dalam kerangka ilmu akuntansi dan perbankan. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 105 yang merujuk pada fatwa juga membolehkan konsep bagi hasil dan konsep bagi laba. Namun, ketika memahami konsep bagi hasil yang dalam fatwa menggunakan istilah net revenue sharing , PSAK membuat tafsir sendiri dengan menggunakan istilah gross profit (laba bruto). Konsep net revenue yang dimaksud dalam fatwa berbeda dengan konsep gross profit yang dimaksud dalam PSAK.

Net revenue dalam fatwa adalah pendapatan dikurangi modal, sedangkan gross profit dalam PSAK adalah penjualan dikurangi harga pokok penjualan (HPP). Sehingga, dalam perspektif fatwa, konsep gross profit itu bukanlah bagi hasil ( net revenue sharing ), tapi bagi untung ( profit sharing ).

Harga pokok penjualan jelas bukan modal. Menurut ilmu akuntansi sendiri, HPP adalah beban/biaya yang diatur dalam Kerangka Dasar Penyajian Laporan Keuangan paragraf 78. Dalam perspektif fatwa, memasukkan unsur biaya sebagai pengurang dikategorikan sebagai bagi untung meskipun hanya biaya HPP.

Kesalahpahaman inilah yang kemudian memicu keresahan di kalangan praktisi perbankan syariah yang mengira fatwa DSN tidak membolehkan penggunaan konsep bagi hasil. Kesulitan kalangan praktisi perbankan syariah untuk mengetahui dan memonitor HPP nasabahnya menimbulkan keengganan bank syariah dalam pemberian pembiayaan mudarabah, yang selanjutnya dapat menimbulkan persepsi bahwa fatwa DSN ini menghambat pertumbuhan perbankan syariah.

Kesalahpahaman bertambah lagi ketika PSAK menafsirkan konsep bagi hasil ( net revenue ) sebagai konsep gross profit dan konsep bagi untung ( profit sharing ) sebagai konsep net profit . Padahal, menurut fatwa, kedua konsep PSAK tersebut, baik yang gross profit maupun yang net profit , tergolong konsep bagi untung. Dengan kata lain, PSAK belum menemukan padanan konsep bagi hasil ( net revenue sharing ) yang diatur dalam fatwa.

Konsep bagi hasil secara mudah digambarkan dalam kalimat ini, ''Ini modal dariku sejumlah satu juta rupiah untuk kau gunakan dalam bisnis ini. Bila bisnis ini menghasilkan lebih dari satu juta, hendaknya kau kembalikan modalku yang satu juta itu. Kelebihannya kita bagi hasilkan.''

Konsep yang tampak mudah ini ternyata tidak mudah dicari padanannya dalam kerangka ilmu lain. Tugas kitalah untuk bersama-sama menghidupkan kembali konsep-konsep fikih dalam konteks kekinian. Kesalahpahaman sangat mungkin terjadi, namun di sinilah letak jihad ekonomi. Dengan upaya yang tak kenal lelah untuk memahami kerangka logika fikih, akan lebih mudah bagi kita untuk mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia.

Ketika Rasulullah SAW memperkenalkan Islam ke masyarakat Arab jahiliyah, beliau sangat memerhatikan situasi masyarakat. Begitu pula dengan penerapan syariah selama ratusan tahun, para sahabat dan ulama selalu memerhatikan situasi setempat saat itu. Memahami syariah tanpa memahami sejarah penerapannya pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat beliau ibarat mengabaikan warisan keilmuan fikih selama ratusan tahun yang dapat membawa kepada dua keadaan ekstrem: darurat dan ghuluw .

Oleh Adiwarman A Karim
Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa keharaman bunga bank konvensional. Menurut ketuanya, Ma’ruf Amin, fatwa itu dikeluarkan sebagai penegas terhadap fatwa keharaman bunga bank yang pernah dikeluarkan MUI pada 2000.

Ada dua alasan yang mendasari rencana fatwa tersebut. Pertama, karena saat ini umat Islam sudah memiliki alternatif menyimpan uang di perbankan syariah. Kedua, fatwa itu keluar juga karena desakan dari masyarakat, terutama kalangan perbankan syariah.

Pertimbangan itu sekilas tampak punya logika mendasar, sebab jika fatwa keharaman bunga bank tersebut dikeluarkan dalam situasi di mana sarana perbankan syariah belum tersedia, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan. Karena itu, ketika sekarang bank syariah sudah semakin banyak, maka MUI beranggapan fatwa sudah saatnya dikeluarkan.

Mengenai desakan kalangan perbankan syariah yang diklaim merepresentasikan umat Islam oleh MUI juga menjadi satu alasan yang kuat. Sebab bagaimana pun MUI yang notabene ’representasi’ masyarakat muslim memang harus menjadi bagian dari kepentingan umatnya.

Tapi jika kita mau sedikit jeli, alasan MUI di atas hanya tepat dijadikan tahkim (penghakiman) ketika bunga bank adalah riba. Sementara kita ketahui status hukum mengenai bunga bank itu sendiri dalam Islam tidak mutlak keharamananya.

Ada sebagian yang mengatakan halal karena bunga bank tidak termasuk riba, tapi ada pula yang mengatakan hukumnya subhat. Dua organisasi massa Islam di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah, tidak memiliki ketetapan hukum. Lalu, mengapa MUI memilih jalan kontroversi ini sebagai pilihannya?

Objek potensial
Keberadaan bank syariah itu sendiri masih dikatakan sedikit dibandingkan dengan bank konvensional. Arus dana yang masuk masih diperkirakan hanya 0,44% dari keseluruhan arus dana perbankan konvensional di Indonesia.

Tetapi, karena bank syariah sekarang dianggap memiliki potensi pasar, maka tidak tertutup kemungkinan para pelaku bisnis perbankan menjadikan umat Islam sebagai objek bisnis potensial.

Ada asumsi bahwa sistem bagi hasil itu sendiri lebih menguntungkan perbankan syariah ketimbang sistem bunga. Sebab, dengan sistem bagi hasil, perbankan tidak terbebani membayar bunga kepada para nasabah yang menabung.

Kalau pun perbankan punya kewajiban membagi hasil dalam setiap tahun, misalnya, ketentuan pembagian hasil itu tidak diketahui secara pasti oleh para nasabahnya. Selain itu selama dalam setahun uang nasabah tersimpan, dipastikan akan dimanfaatkan oleh perbankan syariah untuk diputar di bank konvensional. Ini bisa dilihat di counter bank syariah yang didirikan oleh perbankan konvensional, seperti Bank Syariah Danamon, Syariah BRI, dll. Dengan demikian pertanyaannya, dari mana bank syariah (terutama yang kedudukannya di bawah bank konvensional) bisa mengatakan sebagai bank Islam sementara arus uang nasabah dikelola seperti bank konvensional?

Karena itu, sungguh aneh jika keinginan kalangan perbankan syariah ngotot mengatakan sistem bagi hasil sebagai representasi hukum Islam, tetapi ternyata pengelolaannya tetap tidak beranjak dari sistem keuangan kapitalisme yang diharamkan.

Dalam konteks inilah kita melihat kepentingan fatwa itu muncul. Ada semacam kecocokan kepentingan antara pelaku perbankan syariah, Bank Indonesia, dan ulama-ulama yang berada di MUI. Di satu sisi perbankan syariah dan BI melihat sisi pasar potensial pada umat Islam, di pihak lain MUI punya ’dalil’ untuk melegitimasi para peminta fatwa itu.

Karena itu, logis jika para kritikus melihat bahwa MUI-dalam soal fatwa ini-lebih mengedepankan kepentingan bisnis ketimbang misi agama. Tetapi kenyataan yang demikian ini sebenarnya tidak mengagetkan. Sebab ketika setiap ajaran agama atau ideologi bersetubuh dengan birokasi negara, maka dengan sendirinya visi dan misi asli ajaran itu terdistorsi. Rasionalitas agama yang ideal menjadi rasionalitas birokrasi yang nota bene adalah mesin ’kepentingan’ manusia-manusia yang berada di dalamnya.

Sengaja penulis tidak memilih masuk dalam perdebatan studi hukum halal-haramnya bunga bank. Sebab jika perdebatan memasuki ke arah ini, biasanya akan cenderung mengarah pada debat kusir. Bagi mereka yang mengharamkan akan mencari-cari legitimasi keharaman. Demikian juga sebaliknya yang menghalalkan. Karena itu, untuk soal ini penulis memilih sikap toleran kepada mereka yang menghalalkan bunga, atau yang mengharamkannya.

Yang tidak bisa ditoleransi adalah jika tahkim (penghakiman) itu dipaksakan kepada masyarakat luas sementara status hukumnya sendiri masih tidak mutlak keharamannya. Tidak mustahil jika para nasabah bank konvensional ini akan tertekan secara psikologis karena dianggap memakan riba. Demikian pula, para karyawan bank konvensional yang mayoritas beragama Islam akan merasakan bagaimana pahitnya menjadi karyawan yang setiap hari bergelut dengan keharaman.

Ada baiknya jika kompetisi dalam dunia perbankan dibiarkan bebas tanpa harus menakut-nakuti umat Islam dengan cara mengharamkan ’sesuatu yang belum jelas.’ Ada baiknya jika MUI kini berpikir lebih mendasar mengenai ’halal-haramnya’ perekonomian kapitalisme neo-liberal. Atau mungkin juga mengeluarkan fatwa haramnya kebijakan pemerintah jika menggusur rakyat miskin tanpa memberikan jaminan tempat tinggal.

Di negeri ini berbagai persoalan mendasar seperti ketimpangan sosial-ekonomi, kejahatan KKN para pejabat negara, kebodohan, dan keterbelakangan adalah sesuatu hal yang sangat penting untuk dipersoalkan. MUI, bicaralah halal-haram untuk itu semua!

Oleh: Faiz Manshur
(Bisnis Indonesia)


Selengkapnya....
Kategori: , 6 komentar |
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 20 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.

Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.

Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.

Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi).

Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.

Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.

Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.

Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.

Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara. Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial.

Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.

Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.

Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.

Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.

Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.

Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.

Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.

Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.

Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.

Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.

Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.

Agustianto (Penulis adalah Sekjen DPP IAEI)

Selengkapnya....