Tampilkan postingan dengan label Kesejahteraan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesejahteraan. Tampilkan semua postingan
Salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2010 dan kini sedang intensif dibahas adalah RUU Pengelolaan Zakat, yang merupakan amendemen terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. RUU Zakat ini menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam pengentasan masyarakat miskin dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, RUU Zakat akan mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan sektor amal.
Selengkapnya....
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono, baru saja mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Istana Negara, tepatnya tanggal 8 Januari 2010. Pencanangan ini sudah lama ditunggu masyarakat ekonomi syariah Indonesia. Pencanangan Gerakan ini diharaplan menjadi tonggak sejarah dan momentum penting bagi gerakan wakaf produktif di Indonesia dalam rangka meningkatan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia.

Di Indonesia, isu wakaf uang mulai marak didiskusikan sejak awal tahun 2002, yaitu ketika IIIT (international Institute of IslamicThought) dan Departemen Agama RI menggelar Workshop Internasional tentang Wakaf Produktif di Batam, tgl 7-8 Januari 2002. Kemudian beberapa bulan pasca workshop itu, IAIN Sumut menggelar Seminar Nasional Wakaf Produktif di Medan, pada tangal 1-2 Mei 2002 dengan menghadirkan 16 pembiacara nasional. Setelah itu, Seminar International tentang wakaf kembali digelar di Medan oleh Universitas Islam Sumatera Utara, pada 6-7 Januari 2003 dengan menghadirkan pakar-pakar wakaf berkaliber dunia, seperti Prof.Dr.Monzer Kahf, Prof.Dr.M/.A Mannan, Prof.Dr.Sudin Haroun (Malaysia). Forum International Seminar Sumatera Utara mementuk tim pembahas Rancangan Undang-Undang Waqaf, yang terdiri dari Prof.Dr.Uswatun Hasanah, Dr.Mustafa Edwin, Nasution, Drs.Agustianto, M.Ag dan beberapa dosen UISU. Setelah tiga momentum tersebut, isu wakaf produktif dan wakaf uang menjadi marak dan banyak menjadi tema seminar di berbagai kampus dan lembaga, seperti di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Prof.Dr.Hamka, UIN Jakarta, dsb. Alhamdulillah forum semua forum ilmiah yang kita selenggarakan dan hadiri itu membuahkan hasil yang menggembirakan dan mendapatkan momentumnya di Istana Presiden Republik Indonesia.

Hasil kajian yang panjang dan melelahkan itu selanjutnya membuahkan manfafat yang sangat menggembirakan, karena masalah wakaf uang dimasukkan dan diatur dalam perundangan-undangan Indonesia melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Undang – Undang ini selanjutnya disusul oleh kelahiran PP No No 42/2006. Dengan demikian, wakaf uang telah diakui dalam hukum positif di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.

Konsep dan Praktik Klasik
Isu mengenai wakaf uang sesungguhnya bukanlah wacana baru pada studi dan praktik dalam masyarakat Islam. Dalam sejarah Islam, masalah wakaf uang (waqf an-nuqud) telah berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf sudah dilakukan sejak lama di masa klasik Islam. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf uang sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf uang juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf uang sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”.

Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf uang. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

Berdasar kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama (2003), perolehan wakaf tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Sementara di Indonesia belum berjalan sama sekali. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern , Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya .

Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.

Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.

Kesejahteraan Ekonomi Umat
Di tilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia
1. Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, yang perlu mendapat perhatian dan langkah-langkah yang konkrit.
2. Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin
3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN, sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan public goods.

Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh, dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Masyita, dkk dalam study mereka yang bertemakan “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia” dinyatakan bahwa: Based on the study result above and various scenarios proposed, if the gathered fund through cash waqf certificate increase i.e. IDR 50 million in a day, it will take approximately 11000 days (30 years) to eliminate poverty and 21000 days (57 years) to increase quality of live for Indonesian population with the assumption the others constant.

Pengembangan wakaf uang memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf uang, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.

Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

Ketiga, dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.

Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.

Kelima, dana waqaf uang bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.

Keenam, dana waqaf uang dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah.

Di Indonesia, lembaga pengelola wakaf nasional adalah Badan Wakaf Indonesia (BWI). Selain itu lembaga-lembaga wakaf lainnya yang dikelola masyarakat dan ormas Islam juga sudah banyak yang muncul, Salah satunya adalah Waqf Fund Management dan Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf uang , maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar.

Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf uang (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000. Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.

Berwakaf Uang Melalui Bank syariah
Sesuai dengan karakternya, benda waqaf harus bersifat abadi dan tidak cepat habis. Uang yang diwaqafkan mestilah abadi nominalnya. Misalnya, jika si A mewakafkan uang sejumlah Rp 10 Juta hari ini, maka di masa depan uang tersebut harus masih ada (eksis). Oleh karena itu, uang itu haruslah diinvestasikan ke sektor produktif yang menguntungkan, agar uang yang diwakafkan itu membuahkan hasil, di mana pokoknya tetap eksis. Sabda Nabi Saw, “Tahanlah pokoknya dan manfaatkan hasilnya”. Hasil investasi itulah yang disalurkan untuk membantu fakir msikin dan kepentingan sosial, pendidikan dan keagamaan lainnya. Berdasarkan konsep wakaf uang tersebut, maka lembaga yang mengelola dan mengembangkan wakaf uang haruslah lembaga profesional. Untuk saat ini salah satu lembaga yang dianggap paling profesional melakukan investasi dengan ilmu manajemen resiko dan analisis pembiyaan yang baik adalah lembaga perbankan, Karena itulah, Undang-Undang mengamanatkan lembaga perbankan syariah sebagai institusi yang ditunjuk untuk mengembangkan dana wakaf produktif.

Menteri Agama telah menunjuk 5 (lima) bank syariah, sebagai lembaga yang dapat mengembangkan dana wakaf uang, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank BNI Syariah dan Bank DKI Syariah. Masyarakat luas yang ingin melakukan investasi akhirat untuk mendapatkan pahala yang terus mengalir, dapat mewakafkan danaya ke Badan Waqaf Indoensia atau Waqaf Fund Management melalui bank-bank syariah yang telah ditunjuk.

Lembaga Wakaf bernama Wafq Fund Management telah bekerjasama dengan beberapa bank syariah dalam mempermudah berwakaf uang melalui ATM dan kartu kredit syariah. Jika setiap muslim bisa mewakafkan uangnya hanya Rp 1000,- perhari, dengan jumlah wakif 1 juta orang, maka dalam sebulan Wakaf Fund Management akan bisa mengumpulkan dana sebesar Rp 30 milyar sebulan. Ini adalah potensi dana yang sangat luar biasa di masa depan.

Kualifikasi Manajemen Wakaf
Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf uang dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawasan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Selain itu pengelolaan waqaf uang harus transparan dan memenuhi prinsip God Govarnance yang baik. Oleh karena institusi wakaf uang adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa.

Agustianto (Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia)

Selengkapnya....
Sewaktu menulis artikel ini, penulis sedang menjalankan ibadah haji di Tanah Suci. Di antara keramaian dan kekhusyukan pelaksanaan ibadah haji tahun ini, ada sesuatu yang berkecamuk dalam hati penulis. Kegelisahan tersebut terangkum dalam pertanyaan: sudahkah ibadah dan perayaan keagamaan berpengaruh terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan? Hal ini dapat dipahami sebab sebagian masyarakat kita lebih suka melaksanakan dan mengamini simbol-simbol keagamaan, sementara lupa akan makna dan substansinya. Karena itu, momentum Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 27 November ini hendaknya dapat mengingatkan kita akan pentingnya pengorbanan dan solidaritas untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Menyembelih kerakusan
Menurut sejarah, tradisi kurban berawal pada zaman Nabi Ibrahim. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih putranya Ismail. Awalnya, beliau kurang percaya terhadap mimpi itu. Akan tetapi, setelah tiga malam berturut-turut, Nabi Ibrahim mendapat mimpi yang sama. Beliau lantas mendiskusikan perintah itu dengan Ismail. Kemudian, Nabi Ibrahim berkata kepada anaknya tentang mimpinya itu dan minta pendapatnya.

Ismail merespons permintaan Ibrahim, ''Lakukanlah apa yang diperintahkan-Nya.'' Lalu, Ismail berkata, ''Ayah, kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku tak akan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah pisau itu supaya dapat memotong aku sekaligus. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku khawatir bila ayah kelak melihat wajahku akan jadi lemah sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Allah. Kalau ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu jika itu menjadi hiburan baginya, lakukanlah.''

Singkat cerita, diikatnya kuat-kuat tangan anak itu, lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Namun, ketika itu juga Tuhan memanggilnya, ''Wahai, Ibrahim, Engkau telah melaksanakan mimpi itu.'' Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu, disembelih dan dibakarnya. Demikian kisah penyembelihan dan penebusan itu dalam imajinasi karya sastra yang pernah ditulis budayawan Ali Audah.

Berdasarkan kisah singkat pengorbanan di atas, hakikat penyembelihan hewan kurban yang rutin dilaksanakan umat Islam tidak lebih dari bentuk ibadah yang meniscayakan arti pentingya kesetiakawanan sosial dan wujud ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya.

Hakikat ibadah kurban adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, sikap mementingkan diri sendiri, rakus, dan sikap serakah yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial.

Ibadah kurban juga mengajarkan umat Islam untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa. Di sisi lain, ibadah kurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai di sekitar kita.

Perintah berkurban bagi mereka yang mampu dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin dan dhuafa mengandung pesan bahwa kita bisa dekat dengan Allah SWT hanya ketika kita bisa mendekati dan menolong saudara-saudara kita yang serba kekurangan.

Semangat ini mengajarkan nilai-nilai solidaritas, kesetiakawanan, atau tolong-menolong sesama manusia. Yang kaya menolong si miskin, sebaliknya yang miskin menolong si kaya. Sikap solidaritas ini akan mengurangi kesenjangan sosial dan menjaga suasana yang harmonis di antara sesama warga. Maka, membumikan pesan moral ibadah kurban di negara kita yang masih terjerat kemiskinan merupakan pekerjaan mendesak yang harus dikerjakan. Sebagaimana dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS: 2009), jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini sebesar 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa.

Peran pemerintah
Menyejahterakan kaum miskin tentu tidak serta-merta hanya dengan membagikan daging kurban. Mengentaskan kemiskinan diperlukan konsepsi yang jelas serta program yang terarah.

Konsepsi utama kesejahteraan rakyat harus bersandar pada asas pemerataan, sebagaimana diajarkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Walau demikian, tentu saja kita tidak boleh memandang sebelah mata asas pertumbuhan ekonomi. Intinya, konsep pembangunan ekonomi harus dijalankan seiring sejalan antara pemerataan dan pertumbuhan. Untuk program-program kesejahteraan rakyat hendaknya memprioritaskan program pemberdayaan masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini berperan memberikan kail dan umpan (akses permodalan), mengajarkan bagaimana cara memancing (akses pendidikan ekonomi), serta menunjukkan tempat di mana memancing dan menjual hasilnya (akses pasar).

Di luar hal itu, kiranya perlu disusun kembali road map yang lebih jelas, tegas, dan terarah agar target-target pengentasan kemiskinan dapat tercapai dengan maksimal. Dalam hal ini, setidaknya ada enam prioritas yang dapat dikerjakan. Pertama, menyusun sistem ekonomi berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat, memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan, dan menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja serta perlindungan hak-hak konsumen.

Kedua, mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar distortif yang merugikan masyarakat.

Ketiga, mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi, dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang. Hal ini juga terkait penataan BUMN secara efisien, transparan, dan profesional, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum.

Keempat, mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan sistem dana jaminan sosial melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta ditetapkan dengan undang-undang.

Kelima, mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memerhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang. Keenam, melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran.

Di samping peran pemerintah, tentu diperlukan peran sosial masyarakat itu sendiri. Bagi si miskin, sifat mental ketergantungan kepada orang lain harus dihilangkan. Justru, mereka harus bekerja keras dan memanfaatkan peluang yang diberikan kepadanya. Kemudian, nilai-nilai solidaritas orang-orang kaya dalam hal ini juga sangat diperlukan. Bila ada kesadaran satu orang kaya membantu satu orang miskin dalam waktu dekat, dipastikan Indonesia akan bebas dari kemiskinan.

Bahrudin Nasori (Anggota Komisi IX DPR RI)
Republika Online

Selengkapnya....