Tampilkan postingan dengan label BMT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BMT. Tampilkan semua postingan
Sejak didirikan pada 1995, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) telah mengibarkan bendera dakwahnya dengan memberdayakan pengusaha kecil dan kecil-mikro. Ini dilakukan dengan mendirikan berbagai lembaga keuangan alternatif yang berprinsip syariah di lapisan grass root. Lembaga keuangan itu bernama Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau padanan kata dari Balai Usaha Mandiri Terpadu.

BMT menerapkan prinsip syariah atau bagi hasil yang sangat mudah dikenalkan pada masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan. Masyarakat di Indonesia memang sudah akrab dengan pola bagi hasil. Masyarakat Aceh, misalnya, dalam mengelola sawah sudah lama menggunakan sistem mawah -- bagi hasil antara pemilik sawah dengan petani pengelola dengan bagi hasil 50:50.

Dengan kata lain, apa yang kini dipraktekkan seluruh BMT adalah wujud reinkarnasi kultural berekonomi masyarakat tempo dulu dalam bentuk pelembagaan yang lebih modern dan sesuai dengan tuntutan zaman. Pelembagaan BMT diilhami oleh sejarah kuatnya posisi lembaga-lembaga ekonomi di masa awal kebangkitan ekonomi umat Islam. Sebut saja lembaga baitul maal (rumah harta) yang lahir di zaman Rasulullah SAW. Lembaga ini berfungsi sebagai badan logistik umat Islam. Namun demikian, baitul maal dan BMT punya banyak perbedaan, baik sejarah maupun perannya.

Pendirian Pinbuk oleh para aktivis ICMI sebenarnya sangat didorong oleh kenyataan pahit posisi ekonomi umat Islam akibat kebijakan Orde Baru yang memihak kepada konglomerat selama bertahun-tahun. Untuk itu ICMI menggandeng MUI dan BMI menjadi mitra dan pendiri yayasan Pinbuk. Para pendiri ini sadar bahwa faktor pembiayaan adalah persoalan paling fundamental buat pengusaha kecil.

Untuk itulah Pinbuk kemudian mendirikan sebanyak mungkin BMT di seluruh sudut negeri ini. Seluruh BMT itu diharapkan membiayai masyarakat lokal dan para pengusaha kecil di lingkungan BMT. Untuk mempercepat gerakan dakwah ekonomi, Pinbuk membuka perwakilan di seluruh propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Untungnya, masyarakat secara positif dan antusias menerima kehadiran BMT. Lembaga ini bahkan dapat menjadi pemersatu umat Islam yang terkotak-kotak dalam mazhab-mazhab tradisional dan modernis. Sejak awal BMT memang dirancang untuk hanya didirikan dan dimiliki oleh masyarakat, dan tidak bisa dimiliki oleh Pinbuk sebagai lembaga yang memfasilitasi dan mendampinginya.

Bahasa lokal
Dengan kehadiran BMT di banyak desa dan kota, paling tidak sendi-sendi ekonomi lokal seperti pertanian, peternakan, perdagangan, kerajinan rakyat, dan sektor-sektor informal lainnya berkembang lebih baik. Berbagai usaha kecil yang sudah mati diharapkan hidup lagi.

Dalam skala mikro, BMT cukup ampuh menghambat tangan-tangan bank konvensional menarik dana masyarakat pedesaan untuk diangkut ke Jakarta untuk kemudian dipinjamkan kepada konglomerat dan pengusaha besar. Di sisi lain, praktek-praktek rentenir yang telah mendarahdaging dalam kehidupan masyarakat pedesaan perlahan-lahan kehilangan peminat.

Berdasarkan laporan pengurus BMT yang difasilitasi Pinbuk, pada desa-desa di mana BMT beroperasi, berbagai praktek rentenir hilang dan lenyap bagai ditelan bumi. Ini bukan karena BMT mampu menggantikan fungsi para rentenir, tapi lantaran pengurus BMT -- dibantu peran tokoh dan da'i setempat -- berhasil memberikan pelayanan pembiayaan yang mudah dan tidak menjerat leher pengusaha kecil.

Pengurus BMT juga mampu memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah yang mudah, merakyat, gampang, dan tidak birokratis. BMT berusaha menghindari eklusivitas dan persyaratan yang rumit. Tidak jarang pengusaha kecil cuma bersandal jepit dan sarung datang ke kantor BMT melakukan transaksi. Di daerah pesisir seperti Serang, nelayan berbaju basah kerap melakukan transaksi tanpa hambatan.

Dari berbagai studi kasus pada beberapa BMT terbaik di Jawa Tengah -- BMT Ben Taqwa di Grobogan-Purwodadi, BMT Bintoro Madani Demak, BMT Tumang di Cipego-Boyolali dan BMT Pekajangan Klaten -- terbukti bahwa BMT dapat menancapkan eksistensinya karena mampu menjaga kepercayaan masyarakat. Pada BMT Ben Taqwa, misalnya, seorang juru dakwah khusus ditugaskan untuk melakukan tur ke masjid-masjid menjelaskan BMT.

Keterbatasan BMT
Kini banyak BMT dimanfaatkan oleh pemerintah dan bank-bank konvensional untuk penyaluran modal usaha kepada pengusaha mikro dan kecil-mikro. Program ini berjalan sangat baik karena BMT tidak hanya menyalurkan pembiayaan, tapi melakukan pendampingan kepada anggotanya.

Anggota-anggota BMT yang memiliki usaha sejenis dikelompokkan dalam Pokusma (kelompok-kelompok usaha muamalat). Mereka melakukan pertemuan mingguan dalam bentuk arisan atau pengajian mingguan. Forum ini berangsur jadi sarana diskusi dan konsultasi antaranggota dan pengurus BMT, dan para gilirannya berdampak sangat positif bagi pengembangan spiritualitas umat.

Tentu saja, Pinbuk bukan tanpa persoalan. Tingginya permintaan pinjaman biaya oleh anggota yang tidak setara dengan keterbatasan likuiditas dana adalah persoalan yang belum terpecahkan. BMT, sebagai lembaga yang berdiri secara sendiri-sendiri dan pemiliknya adalah masyarakat tempat BMT berdiri, sampai kini belum punya lembaga penjamin likuiditas sebutlah BMT Sentral, sebagaimana BI bagi perbankan Indonesia. Di masa depan, persoalan ini menjadi pusat concern Pinbuk dalam meningkatkan kualitas pelayanan BMT kepada masyarakat.

Perkembangan BMT
Kendati krisis panjang juga menerpa BMT, lembaga ini tetap mampu bertahan dan berkembang baik. Hasil studi kasus memperlihatkan angka yang cukup mengesankan pada BMT Ben Taqwa, BMT Bintoro Madani, BMT Tumang, BMT Pekajangan. Penambahan aset dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan pada semua BMT itu.

BMT Ben Taqwa, misalnya, yang bermodal awal Rp 37 juta pada 1996, pada akhir 2000 justeru beraset Rp 7,2 miliar . Modal awal BMT Bintoro Madani berkisar Rp 28 juta, dan kini jadi Rp 2,1 miliar. Sedangkan BMT ''industri kecil'' Tumang pada 1998 beraset Rp 23 juta, dan menjadi Rp 300 juta lebih pada 2000.

Memang ada juga sejumah BMT yang tidak bertahan, misalnya beberapa BMT di Jakarta dan Jawa Barat yang awalnya didirikan melalui pendekatan top down atau atas prakarsa Pemda. Sedangkan BMT yang tumbuh dari prakarsa masyarakat, secara umum, justeru berkembang pesat.

Sampai akhir April 2001, kini ada 2.939 BMT yang pendiriannya didampingi Pinbuk, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari jumlah itu, 2.402 unit BMT secara aktif menyampaikan laporan mereka ke Pinbuk pusat. Dari BMT-BMT aktif inilah diketahui total modal yang ada sebesar Rp 503.815.879.064; total simpanan mencapai Rp 501.639.061.849; total pembiayaan Rp 500.522.926.041; total aset Rp 521.070.607.254; total nasabah 810.187.506 orang, dan total penerima pembiayaan 520.77o.486 orang.

Prestasi BMT di atas tentu saja masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan modal usaha dan permasalahan yang melingkupi 39,5 juta pengusaha kecil di seluruh Tanah Air. Jika rata-rata satu BMT dapat membiayai 200 orang anggota pengusaha kecil, maka jumlah BMT yang harus didirikan untuk membiayai 39,5 juta pengusaha kecil mencapai 197.500 unit. Dengan kata lain, kita masih kekurangan 184.586 unit BMT.

Sebagai lembaga keuangan yang sudah terbukti teruji sepak terjangnya mengangkat ekonomi rakyat kecil dan habitatnya yang sangat membumi dengan nafas kehidupan rakyat bawah, BMT tidak bisa tidak harus diyakini sebagai alternatif sistem perekonomian di Indonesia. Sudah seharusnya kita berharap ada perhatian lebih serius dari semua kalangan masyarakat untuk mendorong agar lebih cepat lagi terjadi pertumbuhan BMT di tengah-tengah masyarakat.
M. Amin Aziz (Direktur Utama Pinbuk Pusat, Tazkia Online

Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
Masalah ke-BMT-an tidak semata-mata masalah syariah yang tidak dimengerti, tapi dua-duanya ya syariahnya ndak ngerti, bisa bisnisnya juga ndak negerti. Jadi komplit permasalahannya sehingga ndak aneh jika ada BMT yang mengaami kesulitan-kesulitan di lapangan. Tapi bukan berarti semua BMT seperti itu, dari data yang kami miliki banyak juga BMT yang maju dengan baik.

Dari tulisan yang kami persiapkan, masalah-masalah di atas kita bagi menjadi dua yaitu; Pertama, dari pengembangan bisnis. Kita membahasnya dengan sektor keuangannya, sektor riil, dan kegiatan sosialnya. Kedua, dari penerapan syari’ah. Selama ini pendidikan yang kita berikan hanya menyiapkan tenaga-tenaga BMT. Trainer-nya untuk menjadi ‘pramusaji’ dari produk fiqh, belum menjadi koki atau “tukang masak” bagi produk fiqh. Sehingga yang terjadi di lapangan adalah mereka hanya bisa menjelaskan apa yang mereka tahu tetapi tidak bisa menjawab apa yang di tanyakan oleh masyarakat. Jadi kita hanya supply oriented, kalau suka, ya syukur ya sudah. Bukan sebaliknya, “Bapak maunya kaya, apa, kami akan ramu produk fiqh yang cocok buat Bapak”.

Sektor Keuangan
Berdasarkan data yang kami peroleh dari PINBUK 12 Pebruari1998, bahwa dari 2000 BMT yang ada yang masuk hanya 384 BMT. Sedangkan investornya ada 79.325 orang yang mendapat kredit 28.430 orang. Total pembiayaan Rp. 11 milir, yang terkumpul simpanan masyarakat sebesar Rp 9,5 miliar. Data ini sangat berguna sekali, sayangnya data ini tidak ada secara terus menerus. Menurut pengalaman kami data seperti ini sangat menguntungkan PINBUK Pusat untuk membuat proposal guna mendapatkan sponsor dari pihak- pihak tertentu.

Beberapa waktu yang lalu USAID menyediakan dana untuk penelitian BMT yang dikerjakan oleh DR. Achyar Adnan yang sekarang sudah jadi. Sangat sedikit sekali riset BMT yang kita miliki, saat ini yang ada ditangan kami cuma ada 3, salah satunya yang dilakukan oleh DR. Achyar Adnan. Program-program seperti ini kalau rutin dikirim, kita punya datanya ini, akan memudahkan kita menggarap proyek-proyek seperti dari USAID.

Ternyata kebanyakan BMT-BMT yang ada di lapangan menurut riset yang dilakukan oleh Junaidi, asetnya berkisar Rp. 10–30 juta atau sebesar 51%-nya berada pada katagori Rp 10-30 juta-an. Memang ada BMT–BMT yang besar di atas Rp 100 juta di luar KUT ternyata jumlahnya 5%. Bagaimana kualitas aset BMT-nya, masalah teknis manajemen juga belum begitu baik, rasio aset bermasalah kecil. Sebetulnya dari data yang dimiliki PINBUK kecuali di beberapa daerah yaitu Jambi dan Aceh, di 6 propinsi yang terbanyak BMT –nya rasionya cuma 3,3 % (Aceh, Jakarta, Jabar, Jateng, NTB, dan Sulsel) yaitu propinsi-propinsi yang mempunyai data lebih dari 20 menurut data PINBUK 1998.

Kalau kita menggunakan risetnya Junaidi, ternyata BMT-BMT yang mempunyai aset bermasalah lebih dari 10% atau ternyata cuma 7% dari total BMT, sedangkan yang lebih besar adalah BMT-BMT yang tidak punya masalah. Nah, menurut hemat kami itu tidak normal. Mengapa tidak normal? Karena dalam bisnis simpan pinjam ndak normal data yang kecil dalam kredit macet ini. Oleh karena itu kami menduga BMT-nya baru berdiri atau mungkin BMT-nya ndak ngerti itu kredit macet, sehinga mereka belum membuat katagori mana yang macet dan mana yang tidak sehingga data kredit macetnya sangat kecil.

Selanjutnya kita lihat dari segi likuiditas. LDR yang baik untuk simpan pinjam yang baik adalah sekitar 100%. Artinya jumlah dana yang diterima oleh BMT dari masyarakat dengan kredit yang di salurkan untuk masyarakat jumlahnya berimbang. Kebayakan BMT, LDR–nya sekitar 100%, kecuali di Sumatera Utara sampai 293% NTT dan Sulteng juga di atas 20-an. Nah, untuk daerah ini pertanyaanya, apakah BMT-BMT itu terlalu agressif dalam memberikan kridit atau mereka punya modal yang kuat sehinga mereka tidak perlu memobilisir dana dari masyarakat? Sedangkan sekitar 47% BMT yang telah di survey oleh Junaidi likuilidasi BMT lebih kecil dari 25% ini. Maknanya BMT kurang bisa memanejemen likuiditas -- BMT jadi cenderung mengumpulkan dana tapi tapi tidak disalurkan.

Dari sisi sektor riil, survey yang kita lakukan tahun 2000 ini, BMT masih belum berpendapat bahwa untung yang tipis dari penjualan yang besar masih lebih baik dari untung yang besar tapi penjualannya sedikit. Beberapa BMT cenderung mengambil untung yang besar dengan penjualan yang kecil, begitu juga bisnis rutin sebagai bisnis inti belum di pahami dengan baik, sehingga bisnis musiman itulah yang kadang-kadang membuat BMT itu terjerembap.

Dari survey yang kita lakukan, kita ingin mengingatkan bagaimana bisnis minyak goreng dan bisnis kambing qurban dan beberapa bisnis lain. Di beberapa BMT yang melakukan bisnis ini malah menimbulkan kerugian yang signifikan bagi BMT itu sendiri, sebaliknya bisnis perjalanan haji menghasilkan keuntungan yang menarik menurut survey yang dilakukan.

Untuk pengelolaan dana sosial sebenarnya UU Zakat mendorong kita untuk menagani ZIS secara lebih profesional namun transparansi amanah merupakan prasyarat adanya kredibilitas lembaga. Ini juga kita lihat di lapangan dari BMT yang kita survey ini akhirnya malah menghilangkan kepercayaan masyarakat karena dana-dana Zakat yang di kumpulkan oleh BMT di gunakan oleh BMT untuk menutupi kredit macet. Karena menganggap nasabah yang macet itu sebagai gharimin. Ahkirnya kepercayaan masyarakat jadi hiang karena uangnya untuk menutupi kredit untuk kepentingan BMT. Oleh karena itu bentuk pemberdayaan mustahik ini yang harus kita perhatikan sehinga layak pada pembiayaan.

Adiwarman A. Karim, Deputi Direktur Muamalat Institute

Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
a. BMT adalah singkatan dari nama sebutan lembaga keuangan mikro Baitul Maal wat Tamwil atau padanan kata Balai-usaha Mandiri Terpadu.
b. Kegiatan Baituttamwil adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang kegiatan ekonominya.
c. Kegiatan Baitul Maal adalah menerima titipan BAZIS dari dana zakat, infaq dan sadaqah dan menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

APA ITU BMT?
a. BMT adalah singkatan dari nama sebutan lembaga keuangan mikro Baitul Maal wat Tamwil atau padanan kata Balai-usaha Mandiri Terpadu.
b. Kegiatan Baituttamwil adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang kegiatan ekonominya.
c. Kegiatan Baitul Maal adalah menerima titipan BAZIS dari dana zakat, infaq dan sadaqah dan menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

APA CIRI-CIRI UTAMA BMT?
a. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya.
b. Bukan lembaga sosial, tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan zakat, infaq dan sadaqah bagi kesejahteraan orang banyak.
c. Ditumbuhkan dari bawah berdasar peran dari masyarakat sekitarnya.
d. Milik bersama masyarakat kecil bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang lain diluar masyarakat itu.
e. BMT mengadakan kegiatan keagamaan (pengajian) rutin secara berkala yang waktu dan tempatnya ditentukan (biasanya madrasah, mushalla atau masjid). Setelah kegiatan keagamaan biasanya dilanjutkan dengan perbincangan bisnis dari anggota atau nasabah BMT.
f. Manajemen BMT adalah profesional dan agamis:
• Manajer BMT berpendidikan minimal D3, dilatih pertama kali 2 minggu oleh Pusdiklat PINBUK
• Administrasi pembukuan dan prosedur ditata dengan sistem manajemen keuangan yang rapi dan sesuai standar (ilmiah).
• Proaktif bersilaturrahmi “menjemput bola”, beranjangsana dan berinisiatif dalam prakarsa.

MENGAPA KITA HARUS MENDIRIKAN DAN MENGEMBANGKAN BMT?
a. Pembangunan bangsa yang berbasis kerakyatan harus dipercepat.
b. Kecenderungan dampak hasil pembangunan masa lalu dan sekarang yang menciptakan disparitas sosial.
c. Sebagian besar masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan terus tertinggal dan semakin hari terus bertambah kuantitas dan kualitasnya kemiskinannya (sebagai dampak krisis panjang), banyak yang masuk perangkap rentenir dengan bunga yang mencekik leher. Dengan demikian perlu ada lembaga yang dapat menjangkau peradaban masyarakat miskin yaitu dengan prosedur sederhana, gampang dan tidak mencekik leher.
d. Kurang mengenal pada bank atau lembaga keuangan, ada juga yang menganggap bunga bank adalah riba dan haram hukumnya.
e. Bank segan “mencapai” mereka, karena biaya bank (over head cost) “terlalu mahal” untuk pembiayaan kecil-kecil dan banyak jumlahnya itu.

APAKAH KELAYAKAN PENDIRIAN BMT?
BMT layak berdiri apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Ada praktek-praktek rentenir atau lintah darat
b. Ada potensi usaha kecil yang dapat dikembangkan
c. Dari rancangan keuangan diketahui:
• Adanya modal pendiri
• Dana yang disiapkan menutup biaya operasional 3 bulan
• Ada sejumlah tokoh-tokoh yang merasa memiliki dan bertanggungjawab

BERAPA BESAR MODAL AWAL BMT?
BMT dapat didirikan dengan modal awal sebesar Rp20 juta atau lebih. Namun, jika terdapat kesulitan dalam mengumpulkan modal awal, dapat dimulai dengan modal Rp10 juta bahkan Rp5 juta.

DARIMANA DIPEROLEH MODAL BMT?
Agar BMT bisa dijalankan dengan segera maka modal awal dapat berasal dari satu atau beberapa tokoh masyarakat setempat, yayasan, kas masjid atau BAZIS setempat. Namun sejak awal anggota pendiri BMT harus terdiri antara 20-44 orang.

BERAPA JUMLAH ANGGOTA PENDIRI?
Jumlah batasan 20-44 anggota pendiri ini, diperlukan agar BMT menjadi milik masyarakat setempat dan berkembang dengan berkelanjutan mendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil bawah dan kecil.
Diperlukan sejumlah orang anggota inti yang layak, tidak terlalu banyak, sehingga memudahkan dalam mengambil keputusan.

APA BADAN HUKUM BMT ?
BMT dapat didirikan dalam bentuk KSM atau Koperasi:
a. KSM adalah Kelompok Swadaya Masyarakat dengan mendapat Surat Keterangan Operasional dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil)
b. Koperasi serba usaha atau koperasi syariah
c. Koperasi simpan pinjam syariah (KSP-S)

BAGAIMANA TAHAP PENDIRIAN BMT?
a. Pemrakarsa membentuk Panitia Penyiapan Pendirian BMT (P3B) di lokasi itu; jamaah masjid, pesantren. Desa miskin, kelurahan, kecamatan atau lainnya.
b. P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp5-10 juta atau lebih besar mencapai Rp20 juta, untuk segera memulai langkah operasional. Modal awal ini dapat bersal dari perorangan, lembaga, yayasan, BAZIS, pemda atau sumber-sumber lainnya.
c. Atau langsung mencari pemodal-pemodal pendiri dari sekitar 20-44 orang di kawasan itu untuk mendapatkan dana urunan hingga mencapai jumlah Rp20 juta atau minimal Rp5 juta.
d. Jika calon pemodal telah ada maka dipilih pengurus yang ramping (3 orang – maksimal 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengerahkan kebijakan BMT.
e. Melatih 3 calon pengelola (minimal berpendidikan D3 dan lebih baik S1) dengan menghubungi Pusdiklat PINBUK Propinsi atau Kab/Kota.
f. Melaksanakan persiapan-persiapan sarana perkantoran dan formulir yang diperlukan.
g. Menjalankan bisnis operasi BMT secara profesional dan sehat.

BAGAIMANA PROSPEK BMT?
Dari usaha menumbuhkan BMT dari bawah, peran BMT dalam membangun ekonomi rakyat banyak dan ekonomi Indonesia semakin jelas. Secara ringkas tujuan dan dampak positif yang ditimbulkan diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menyalurkan dana untuk usaha bisnis mikro dan kecil dengan sistem bagi hasil dan jual beli serta dengan prosedur yang mudah dan cepat.
b. Membantu modal kerja dan modal investasi skala mikro sebagai upaya peningkatan kualitas hidup rakyat banyak.
c. Tempat berlatih manajemen ekonomi syariah.
d. Menjadi mediotor antara muzakki dan mustahik.
e. Sangat mudah mendirikan karena tanpa modal besar, peralatan dan kantor mewah.

KHATIMAH
Semuanya memang harus peduli, semuanya harus ikhlas, Modal tenaga keahlian kita rajut sebagai mozaik utuh sembari diiringi do’a kepada-Nya. Insya Allah kita gugah kebersamaan kita sebagai anak bangsa, yang selama ini sering alpa dan barangkali hanya menlangkah sendiri-sendiri. Mari kita padukan sebagai sebuah kekuatan yang menggelegak yang getarannya harus terasa disetiap lapisan nafas umat.
Getar-getar ukhuwah memang harus terus menerus kita tebarkan. Silaturrahmi antara tangan di atas dan kaum dhuafa mesti terus pula direnda dengan kasih sayang. Tentu, pijakan yang paling abadi adalah akhlakul karimah. Ikatan kasih sayang dan mengorganisasikannya dengan rapi menjadi amalan kesuksekan bersama. Usaha yang sehat, beradab akan menjadi pengawal keselamatan baik yang kaya maupun yang miskin dari jurang kehancuran di dunia dan akhirat. Jembatan kemiskinan dengan kekayaan adalah diri kita. Mari kita jadikan kecemburuan sosial dan ketamakan hilang dan tenggelam di negeri ini dengan kerja mendirikan BMT.
Akhirnya niat baik dan ketulusan Anda untuk sekarang juga menjadi pemrakarsa dan pendukung aktif menggulirkan ide pendirian BMT, dan kemudian melakukan sejumlah kegiatan sehingga BMT benar-benar bisa lahir, berwujud dan beroperasi diridhai Allah SWT.
Semoga kelak kita dapat tersenyum menatap masyarakat yang sehat, lepas dari kemelaratan, jeratan rentenir, kebodohan dan kesenjangan.


Selengkapnya....
Kategori: 27 komentar |
Lemahnya posisi tawar ekonomi umat Islam di Indonesia dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada, telah menyebabkan posisi umat sangat lemah, dan seringkali menjadi kambing hitam serta terpinggirkan dalam proses pembangunan. Membangun sumberdaya ekonomi adalah sebuah keharusan, sebagai upaya untuk merancang masa depan perekonomian umat.


Fakta menunjukkan bahwa hampir 90 persen pelaku usaha ekonomi berskala kecil adalah umat Islam. Namun ironisnya, dari keseluruhan usaha mikro yang ada, dapat dikatakan umat Islam masih belum memiliki institusi yang kuat, mapan, dan bebas dari intervensi pihak manapun. Untuk itu, pengembangan usaha mikro umat pun harus mendapat perhatian kita semua.

Sesungguhnya, ide pemunculan pembiayaan mikro syariah, atau yang dikenal sebagai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), haruslah ditopang konsep dan mekanisme yang jelas, sehingga kontribusinya dapat dirasakan umat (SA Roosly, 2002).

Saat ini, terjadi ketimpangan. Fokus dan perhatian prospek pengembangan ekonomi umat hanya bergantung pada sektor perbankan dan institusi finansial lainnya --yang skalanya lebih bersifat menengah ke atas-- dibandingkan dengan prioritas untuk menggarap sektor kecil dan menengah ke bawah. Akibatnya, arah pengembangan ekonomi yang berbasis keumatan ini menjadi tidak seimbang. Padahal, seharusnya, melalui pengembangan usaha mikro inilah landasan penataan perekonomian masyarakat beserta infrastrukturnya dibangun dan diperkuat.

Perkembangan LKM
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberi pelajaran penting tentang kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Perekonomian negeri ini ternyata dikuasai sektor korporasi atau usaha besar yang dikuasai segelintir orang. Sementara itu, di sisi lain, pilar pembangunan ekonomi lainnya seperti usaha kecil dan menengah (UKM) tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Perannya seringkali tidak berarti dalam perekonomian nasional. Ironisnya, ketika terjadi krisis, terbukti sektor korporasi tidak mampu bertahan dengan baik. Justru UKM, yang tadinya dianggap kurang berperan dalam perekonomian nasional, terbukti lebih mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang mengarah pada krisis multidimensi tersebut.

Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor ini dengan melahirkan paradigma pengembangan sektor UKM secara lebih serius. Sehingga kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan, nantinya, benar-benar mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap sektor ini. Tentu saja, keberadaan UKM tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM).

Di Indonesia, LKM dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu yang bersifat formal dan informal. Lembaga yang bersifat formal ada yang berbentuk bank, ada pula yang berbentuk lembaga non-bank. Sedangkan LKM yang bersifat informal biasanya berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, baitul maal wat tamwil (BMT), serta berbagai bentuk institusi yang pengelolaanya ditangani langsung oleh masyarakat.

Hingga tahun 2002, jumlah LKM dari berbagai jenis yang beroperasi secara aktif di Indonesia mencapai sekitar 53 ribu unit. Namun demikian, dari jumlah tersebut, lembaga yang beroperasi dengan menggunakan prinsip syariah masih sangat kecil. Jumlah nasabah yang dilayani LKM melebihi 17 juta orang, sedangkan jumlah kredit mikro yang telah disalurkan mencapai lebih dari Rp 16 triliun.

Dari sisi jumlah nasabah, LKM jenis unit simpan pinjam memiliki jumlah nasabah terbesar, yaitu 10 juta orang lebih. Sedangkan dari sisi jumlah kredit mikro yang berhasil disalurkan, BRI Unit Desa menyalurkan kredit dalam jumlah terbesar, yaitu sekitar Rp 7,8 triliun (Bank Indonesia, 2002).

Berdasarkan data tersebut, posisi LKMS masih terbilang sangat kecil skalanya --baik ditinjau dari segi jumlah maupun dari segi penguasaan aset. Padahal, sekitar 95 persen dari nasabah yang ada adalah umat Islam. Kita bisa melihat bahwa jaminan aktivitas pembiayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah masih sangat minim keberadaannya. Inilah tantangan besar yang harus dijawab dengan sebuah kerja keras secara kolektif.

Membangun potensi
Dilihat dari potensi dan sumber pendanaan yang sudah berjalan, sebenarnya LKMS memiliki potensi pembiayaan dan pengelolaan dana ekonomi umat yang cukup besar. Jika pengelolaan dana umat bisa dilakukan secara terpadu antarinstitusi keuangan syariah, maka hal tersebut akan menjadi sumber kekuatan yang sangat besar.

Sebagai contoh, jika terjalin sinergi yang konstruktif antarlembaga pengelola zakat, infak, dan shadaqah (ZIS), maka dana ZIS yang terkumpul akan mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tentu saja dengan catatan bahwa program-program yang dilakukan memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Namun yang harus diingat adalah besarnya potensi tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa diiringi perbaikan dan inovasi dari semua elemen yang terkait di dalamnya, baik pada aspek kelembagaan, pendanaan, maupun pelayanan. Ketiga aspek tersebut, menurut penulis, memegang peranan kunci, sehingga perlu penguatan.

Dari aspek kelembagaan, terdapat dua hal yang mendesak untuk dilakukan, yaitu pengakuan dan apresiasi terhadap keberadaan dan peran LKMS untuk mengemban amanah dana umat secara profesional, dan penguatan serta perlindungan bagi LKMS dan nasabahnya. Salah satu bentuk apresiasi ini adalah melalui pemberian kejelasan status dan posisi legal-formal bagi LKMS. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua LKMS beroperasi dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Diharapkan, ke depan, akan muncul lembaga yang sehat, mampu menawarkan solusi keuangan, dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Sehingga dampaknya akan dirasakan langsung oleh umat. Dari aspek pendanaan, terdapat beberapa hal yang juga perlu dilakukan. Antara lain peningkatan aksesibilitas LKMS pada sumber dana sekunder seperti perbankan syariah, mobilisasi dana lokal dan dana luar negeri, serta peningkatan kerja sama antar-LKMS --termasuk di dalamnya peningkatan transparansi pengelolaan dana dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan. Sedangkan dari aspek pelayanan, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, seperti pemberian pelatihan, konsultasi, dan pendampingan bagi LKMS dalam menjalankan fungsinya.

Yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana menjadikan LKMS sebagai penasihat usaha bagi nasabahnya, dengan memberikan prinsip-prinsip pengelolaan usaha dan perilaku usaha yang sesuai syariah. Sehingga diharapkan akan lahir generasi baru dengan karakter Utsman bin ‘Affan, Abu Bakar Siddik, maupun Abdurrahman bin Auf. Mereka tangguh sebagai usahawan, sekaligus kokoh menjaga akidah dan memegang prinsip.

Sumber pertolongan
Memperkuat sektor usaha kecil dan menengah sesungguhnya merupakan dasar bagi kita dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, membangun usaha mikro merupakan sumber turunnya pertolongan dan rezeki dari Allah SWT, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: ''kalian akan ditolong dan diberi rezeki dengan sebab kaum dhuafa di antara kalian'' (HR Daelami).

Yang dimaksud hadits tersebut adalah rahmat Allah akan turun ketika kita menunjukkan keberpihakan kita terhadap masyarakat kecil dan termarjinalkan --termasuk UKM-- agar mereka dapat terberdayakan. Bahkan dalam QS 28: 5 ditegaskan bahwa masyarakat yang dianggap lemah pun memiliki potensi dan bisa menjadi sumber kekuatan. Artinya, menyepelekan mereka, apalagi kemudian mengkhianatinya, hanya akan menyebabkan hilangnya potensi yang dimiliki suatu masyarakat, bangsa, dan negara.

Sehingga, bagi kita, membangun perekonomian nasional yang kuat, hanya dapat dilakukan manakala institusi ekonomi mikro negeri ini mendapatkan perhatian dan dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, DPR, maupun masyarakat lain secara keseluruhan. Inilah paradigma yang harus dibangun dan ditanamkan, agar problematika kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di Tanah Air tercinta ini dapat diatasi. Wallahu a'lam.

Irfan Syauqi Beik, Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB
Handi Risza Idris, Dosen STIE SEBI dan Alumnus IIU Malaysia
Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: , 44 komentar |
Latar Belakang
Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perennya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan modal. Asset di negara berkembang tidak mampu menjadi modal kerja karena asset tersebut tersandung masalah kepemilikan (property right). Sedangkan pinjaman untuk keperluan penambahan modal diperlukan ketegasan kepemilikan.


Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT dapat ‘dihadirkan’ di daerah perdesaan.

Konsep BMT desa merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa. Dari data dilapangan harus diakui bahwa konsep BRI Unit Desa sudah mampu ‘menjangkau’ komunitas perdesaan-terutama untuk pelayanan penabungan (saving). Kampanye pemerintah agar rakyat menabung efektif dilaksanakan masyarakat perdesaan hampir dua dekade (1970-80’an). Namun kelemahan dari konsep pembangunan masa lalu adalah adalah terserapnya ‘tabungan masyarakat’ perdesaan ke ‘kota’ dan hanya sekitar sepertiga dana tabungan yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaaan.

Konsep BRI Unit Desa ini sebenarnya sudah bisa dijadikan semacam acuan untuk pengembangan daerah (desa), namun apakah BRI Unit Desa sudah dapat mengakses kelompok yang paling miskin di akar rumput? Mungkin secara teknis dan di atas kertas bisa saja. Namun jika dilihat dari karakteristik bisnis perbankan dan karakteristik peminjam, jawabannya tidak bisa! Maka dengan kekosongan pada pasar lembaga keuangan untuk tingkat paling miskin ini, institusi yang paling cocok adalah konsep baitul maal wat tamwil (BMT).

Kembali Ke Konsep Asal
Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ (untuk tidak mengatakan mengurangi) permasalahan kemiskinan. Namun dalam beberapa hal konsep ini kadang ‘direduksi’ oleh pengurus BMT itu sendiri. Konsep yang paling utama dari BMT adalah jaminan/proteksi sosial melalui pengelolaan dana baitul maal. Proteksi sosial menurut Amartya Sen (2000) adalah jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan. Jaminan sosial ini dapat berupa insentif ekonomi (subsidi kepada kaum dhuafa-dalam konsep Islam berupa dana Zakat, Infaq, Shodaqoh-ZIS) ataupun berupa insentif sosial (kebersamaan melalui ikatan kelompok simpan pinjam ataupun kelompok ynag berorientasi sosial seperti majelis ta’lim). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Sehingga terjadi komunikasi antara dua kelas yang berbeda.

Dalam konsep Islam yang dioperasionalkan di tingkat desa melalui kegiatan BMT pengelolaan dana sosial (ZIS) ini akan memberikan dampak pada kehidupan sosial ekonomi komunitas. Bagian lain dari BMT adalah Baitul Tamwil (bagian pembiayaan). Dalam konsep baitul tamwil pembiayaan dilakukan dengan konsep syariah (bagi hasil). Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi terutama di perdesaan.
Kelebihan konsep bagi hasil ini adalah adanya profit and loss sharing (bagi hasil/rugi) jika dana yang diserahkan ke pengelola BMT digunakan untuk investasi ekonomi. Konsep ini menyebabkan kedua pihak (pengelola BMT dan peminjam saling melakukan kontrol). Dan pengelola dituntut untuk menghasilkan profit bagi penabung dan pemodal.

Dalam hubungannya dengan mengatasi masalah kemiskinan BMT memiliki kelebihan konsep pinjaman kebijakan (qardhul hasan) yang diambil dari dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin. Karena sesuai dengan konsep pemberdayaan maka aktivitas sosial (non profit oriented) seperti pengorganisasian dan penguatan kelompok di tingkat komunitas (jamaah) menjadi langkah awal sebelum masuk pada aktivitas yang mendatangkan profit (seperti pinjaman/pembiayaan).

Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuanya.

Pengakaran Jaringan BMT: BMT Desa
Atas dasar pemikiran diatas maka pembentukan jaringan dan penguatan BMT yang ada harus menjadi prioritas kegaitan PINBUK Kota/Kabupaten. Sedangkan untuk BMT-BMT yang telah kuat bisa membuat semacam ‘kantor kas’ di setiap desa. Pentahapan yang harus dilakukan bisa seperti berikut: Tahap Pertama dengan mengembangkan kantor kas BMT. Tahap Kedua dengan dengan mengembangkan Kantor Kas BMT menjadi BMT Unit Desa (bisa dengan musyawarah jamaah masjid). Tahap Ketiga mengembangkan BMT Unit Desa menjadi BMT Desa (sudah menjadi milik komunitas ditandai dengan besaran tabungan yang dihimpun dari anggota atau non anggota).

Strategi kedua adalah dengan membentuk langsung BMT Desa dengan menggunakan jamaah masjid. Strategi ketiga dengan mengkonversi Lembaga Keuangan Mikro hasil ‘bentukan’ proyek pemerintah menjadi Koperasi berdasarkan Bagi Hasil (syariah). Strategi ini membutuhkan pewacanaan di tingkat komunitas tentang keuntungan-keuntungan konsep bagi hasil dibandingkan dengan konsep riba.

Modal Manusia Dalam Pengembangan BMT
Dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi daerah dan lembaga keuangan mikro (seperti BMT) maka hal yang paling penting adalah investasi pada bidang modal manusia. Pentingnya modal manusia ini disebabkan pada dasarnya hampir semua kegagalan dalam konsep pembagunan disebabkan mismanajemen dan korupsi. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas SDM Indonesia terutama kualitas spiritualnya!
Kelemahan lain adalah kondisi yang tidak kondusif dalam menciptakan iklim kewirausahaan. Iklim usaha yang tidak sehat dan tidak adanya usaha untuk menciptakan level yang sama untuk seluruh pemain (dalam regulasi dan penegakannya ataupun aksesibilitas) menyebabkan tingginya exit rate di kalangan pengusaha di berbagai sektor ekonomi. Masalah lain adalah kemampuan kewirausahaan secara individu (berkaitan dengan kemampuan menciptakan, mereplikasi atau inovasi teknologi)-yang masih merupakan bagian dari modal manusia dan jejaring (modal sosial).

Dalam hubungannya dengan penciptaan modal finansial dan modal manusia ini. Maka Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) telah menginisiasi sebuah lembaga kader untuk pengembangan masyarakat yang berorientasi menguatkan lembaga intermediari sektor keuangan melalui BMT untuk mengatasi masalah diatas.

Program ini diberi nama Community Leaders Program (CLP). CLP ini menerapkan sistem kuliah lapang dengan metode pembelajaran partisipatif. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang yang luas bagi anak didik untuk berkreasi. (karena selama ini akar dari ketidakmampuan untuk melihat peluang, mencipta dan bekerjasama disebabkan pola pembelajaran yang diterapkan tidak mengahadirkan ruang tersebut di sekolah).

Tujuan utama dari CLP ini sendiri adalah menjawab tantangan keterbelakangan yang dialami masyarakat (terutama) perdesaan. Dengan membentuk kader yang mampu menggerakkan ekonomi perdesaan. Dengan entry point BMT sebagai awal untuk menciptakan akses pembiayaan. Hal lain yang menjadi ‘desain’ dari CLP ini adalah perbaikan akhlak dan perilaku kader di dalam bermuamalah. Mengingat permasalahan spiritual ini juga ikut membangkrutkan bangsa. Dengan adanya investasi di bidang SDM (human capital) ini diharapkan pembangunan wilayah dapat bertumpu pada kemampuan sumberdaya lokal. Dan sekali lagi peranan jama’ah sangat diharapkan dalam penciptaan kondisi yang lebih baik untuk kondisi ummat/generasi yang akan datang.

Oleh : Baihaqi Abdul Madjid
Tazkia Online.com
Selengkapnya....
Kategori: 5 komentar |
Realitas yang terjadi dalam sistem kredit dana P2KP yang diberikan pemerintah berupa dana pinjaman produktif yang mengharuskan adanya pengembalian yang disertai dengan bunga. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sistem yang digunakan pada hampir setiap penerima dana P2KP dalam transaksi kreditnya adalah sistem bunga. Hal ini dilakukan karena ketentuan JUKLAK dari P2KP pusat yang mengatur demikian. Dalam JUKLAK ini telah ditentukan bahwa penyediaan pinjaman untuk kegiatan pengembangan usaha mikro (usaha kecil dan menengah) yang ada pada wilayah di mana BKM berada, mengharuskan pengembalian dengan bunga.

Sistem bunga dalam khazanah fiqh baik klasik maupun modern masih menjamdi perdebatan panjang di antara para pakar. Banyak pakar hukum Islam yang mengharamkan bunga dengan alasan bunga sama dengan riba yang diharamkan oleh Allah. Namun ada juga beberapa pakar yang membolehkan bunga dengan alasan bahwa bunga tidak sama dengan riba. Ketidaksamaan bunga dengan riba ini dijelaskan sedemikian rupa sehingga ditemukan rumusan bahwa bunga tidak sama dengan riba. Begitu juga sebaliknya, para pakar yang menyamakan juga menjelaskan kesamaan-kesamaannya.

Sebelum dilakukan analisis berdasarkan hukum Islam terhadap sistem kredit dengan menggunakan bunga ini, perlu kiranya disampaikan terlebih dahulu lata belakang munculnya sistem bunga. Pendeskripsian historisitas sistem bunga ini dirasa pengting guna menemukan pandangan yang komprehensip terhadanya dari sudut pandang hukum Islam.
Sistem bunga pada awalnya bermula dari pedagang emas yang memberikan pinjaman pada masyarakat. Saat terjadi kesulitan perekonomian sekitar abad ke-16 dan ke-17, masyarakat sangat membutuhkan pinjaman dana secara besar-besaran. Oleh sebab itu, hanya pemilik emas lah yang dapat memenuhinya. Secara umum revolusi perdagangan dalam abad ke-16 dan ke-17, akibat perkembangan sistem perdagangan di Amerika Serikat dan lalu lintas laut, telah menjadi sebab bagi timbulnya Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri ini kemudian memberikan suatu dorongan untuk menimbun kekayaan dan mengembangkan per-dagangan dalam dan luar negeri. Hal ini menimbul-kan suatu era baru bagi sistem urusan bank yang menyebabkan timbulnya kesadaran untuk saling bergantung antar negara dalam hal mendapatkan bahan baku dan pasar perdagangan. Bank modern membuka hubungan dengan negara-negara yang terpencil agar saling berhubungan dengan negara-negara lainnya di dunia. Dari sinilah dimuali usaha perbankan dengan sistem bunga (Muslehuddin, 1990: 6).

Pada saat selanjutnya, pedagang dan pemilik emas yang memberikan pinjaman pada pengusaha dan masyarakat luas ini menjadi pelopor lahirnya bank modern di Inggeris. Secara singkat, sejarah mencatat bahwa sewaktu angkatan bersenjata dan simpatisan pemerintah bertempur dalam perang saudara di Inggris, masyarakat umum terpaksa menyimpan barang-barang mereka kepada para tukang emas, yang memiliki peti besi dan sistem keamanan lainnya. Praktik-praktik ini telah menambah jumlah pelanggan mereka, kemudian para saudagar juga banyak memakai jasa tukang emas dalam menyimpan uang mereka dengan memberikan komisi atas jasa tersebut. Akhirnya tukang emas tersebut menggunakan simpanan tersebut untuk kepentingan diskonto jangka pendek yang mendorong lahirnya sistem bank di Inggris sekitar tahun 1642 sampai tahun 1645 (Muslehuddin, 1990: 6-7).

Tukang emas mengeluarkan kuitansi kepada setiap para peminjam. Kuitansi ini digunakan untuk membayar kembali pinjamannya, ini permulaan para pedagang emas meleburkan diri dalam urusan perbankan, kemudian menjadi pengusaha bank yang profesional. Mereka mulai menggunakan buku catatan yang dipegang para peminjam yang diguna-kan untuk mengambil kembali simpanan mereka pada pengusaha bank berdasarkan catatan tersebut. Ini awal penggunaan cek yang berkembang maju sehingga mencapai taraf kesempurnaannya dewasa ini (Muslehuddin, 1990: 8).

Menurut hemat penulis, sistem bunga yang dianut dalam pemberian kredit dana P2KP BKM Kusuma Mandiri Mranggen tidak sama dengan sistem riba yang dilarang dalam hukum Islam. Oleh sebab itu penggunaan sistem semacam ini hukumnya mubah (boleh dilakukan). Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut;

Secara yuridis, ketentuan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia secara umum tidak ada yang melarang penggunaan sistem bunga dalam transaksi pendanaan dan simpanan dana di lembaga keuangan. Melihat hal ini, walaupun BKM tidak seutuhnya lembaga keuangan namun pemberian kredit merupakan transaksi keuangan yang lazim dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya, maka keberadaan BKM juga layak dipandang sebagai lembaga keuangan dalam sisi yang berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. Oleh sebab itu, pemberlakuan sistem bunga dalam pemberian kredit dana P2KP ini tidak menjadi persoalan yang bertentangan dengan ketentuan yuridis perundang-undangan, khususnya di Indonesia. Bahkan sebaliknya, jika dirunut ulang pada ketentuan JUKLAK P2KP yang merupakan ketentuan pemerintah dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah dan juga Keputusan Presiden, yang menentukan bahwa pemberian pinjaman dapat dilakukan dengan sistem bunga yang dibatasi jumlah minimumnya saja. Oleh sebab itu, dari sini sangat jelas bahwa penggunaan sistem bunga ini tidak bertentangan sama sekali dengan ketentuan perundangn-undangan. Bahkan sebaliknya merupakan ketentuan dan telah ditetapkan batas minimunya, yaitu 1,5%.

Secara normatif, sistem bunga tidak selamanya sama dengan sistem riba. Hal ini didukung oleh berbagai pendapat yang membolehkan bunga. Selain itu, berdasarkan kajian penentuan hukum Islam, alasan (illat) dilarangnya riba adalah karena unsur dzulm yang melekat di dalamnya (Zein, 2002: 177). Sedangkan secara riil, sistem bunga yang dianut BKM Kusuma Mandiri Mranggen ini tidak mengandung unsur dzulm sama sekali, bahkan sebaliknya justru mendatangkan manfaat yang besar. Selain itu, riba yang dilarang dalam Islam adalah riba nasyi’ah dan sistem bunga ini tidak selamanya sama dengan riba nasyi’ah (Zein, 2002: 176). Selain itu, sesuai dengan karakteristik hukum Islam yang fleksibel terhadap perubahan dan perkembangan sosio kultural masyarakat di mana hukum Islam itu berlaku, maka adanya hukum Islam yang lebih aplikatif dalam masyarakat mutlak diperlukan (Mahfudh, 2003:xliii). Untuk membangun hal ini, maka pembentukan hukum yang didasarkan pada salah satu basis teori penemuan hukum Islam seperti maqashid as-syari’ah juga menemukan urgensi tersendiri. Salah satu cita-cita yang terkandung dalam maqashid as-syari’ah ini adalah terbangunnya nilai luhur agama Islam yaitu rahmatan li al-alamin. Selain itu, karena konsep ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa tidak mungkin, Tuhan menentukan suatu hukum bagi manusia kecuali ada tujuan tertentu (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 52).

Secara sosiologis, sistem bunga yang umum berlaku di masyarakat tidak semuanya merugikan masyarakat sehingga mereka menolaknya. Sampai saat ini, masyarakat sebagai entitas sosial masih banyak yang menerima diberlakukannya sistem bunga ini. Buktinya adalah masih banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa dan pelayanan bank berbasis bunga (bank konvensional). Selain itu, penggunaan sistem bunga oleh bank yang diikuti masyarakat ini masih mendapatkan posisi karena sistem bunga tidak selalu didasarkan pada pencapaian keuntungan sehingga akan selalu konstan, melainkan bunga juga berubah-ubah yang disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti likuiditas masyarakat, ekspektasi inflasi, besarnya suku bunga luar negeri, dan ekspektasi perubahan nilai tukar dan premi atas resiko (Zein, 2002: 175).

oleh: Imam Muttaqien, BMT Al-Ikhlas Yogyakarta
Selengkapnya....
Kategori: , , 58 komentar |
Kita bersyukur Profesor Muhammad Yunus (66 tahun), penggagas dan pendiri Grameen Bank dianugerahkan Hadiah Nobel oleh Komite Nobel Norwegia. Muhammad Yunus memulai gerakannya dengan memodalkan 27 dolar AS pada 42 nasabah wanita untuk usaha-usaha kecil pembuatan kursi di desa Jobra, Bangladesh. Pada pertengahan 2006, Grameen Bank (GB) telah memiliki debitur 6,61 juta orang, 97 persen di antaranya adalah wanita miskin. GB memiliki 2.226 cabang, melayani 71.731 desa.
Di Indonesia telah banyak lembaga yang mereplikasi sistem Grameen untuk membantu usaha kecil dan fakir miskin. Misalnya, Yayasan Para Sahabat, Ukabima, Yayasan Mitra Usaha, Mitra Dhuafa, dan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk). Yang menarik, ada yang mempraktikkan metodologi GB ini pada BPR-BPR, seperti oleh Yayasan Para Sahabat dan Ukabima. Juga sekarang ini, di NAD, dalam suasana membludaknya keuangan mikro untuk bantuan tsunami dan pascakrisis, BPR-BPR didorong oleh ADB untuk mengikuti pendekatan GB ini.


Pendekatan GB
Kesuksesan GB tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukannya, yang kalau diringkaskan dapat dikemukakan sebagai berikut. Dari tulisan ASM Mohiuddin Wakil Manajer Umum GB, berjudul 'Pendekatan Outreach Grameen Bank dan Potensi Perluasannya di Indonesia untuk Mencapai MDG' dapat kita petik berapa pelajaran. Misi utama GB adalah membantu kaum miskin keluar dari kemiskinan. Masyarakat tidak mendatangi bank, tapi bank yang semestinya mendatangi mereka. Bank juga tidak mengharuskan agunan.
Umumnya pinjaman yang diberikan GB melalui kelompok-kelompok GB terdiri dari 5 orang yang mengadakan pertemuan berkala sepekan sekali. Pinjaman diberikan umumnya untuk satu tahun, atau untuk jumlah bulan yang disepakati di suatu cabang. Pagu umum pinjaman berlaku untuk semua peminjam di suatu cabang. Jadwal pengembalian tetap, besar angsuran seragam. Pinjaman disalurkan sekaligus di suatu waktu. Penyaluran pinjaman dengan metode bertahap 2, 2, 1, ketua mendapat giliran paling belakangan. Diperlakukan sebagai cidera janji jika tidak dapat melunasi pinjaman dalam 52 minggu. Setiap peminjam hanya berhak atas satu saham GB. Jadi, GB dimiliki oleh lebih 5 juta pemegang saham, hampir seluruhnya orang miskin. Simpanan bersama dalam suatu rekening kelompok diaktifkan bersama oleh ketua dan sekretaris kelompok dengan persetujuan semua anggotanya.
Setelah berusia seperempat abad, GB mengembangkan metodologi baru yang disebut sebagai GGS, Grameen Generalized System. GGS dibangun sekeliling satu produk pinjaman utama yang disebut pinjaman dasar: jalur cepat kredit mikro Grameen. Selain itu, ada dua produk pinjaman lain: 1) pinjaman perumahan, dan 2) pinjaman pendidikan tinggi yang seiring dengan pinjaman dasar. Dalam sistem baru ini, besarnya pinjaman, masa pinjam, dan pelunasan mendapat keleluasaan. Di samping itu juga ada tabungan pensiun Grameen.

BMT Kube
Seperti kita ketahui, sejak awal 1990-an di Indonesia telah berkembang baitul maal wat tamwil, dimulai dengan baituttamwil di Masjid Salman ITB. Pinbuk mengembangkan BMT sejak 1995 yang hingga sekarang telah ada 3200 BMT di Indonesia. Berlainan dengan GB, BMT adalah lembaga keuangan mikro yang bersifat unit sistem. GB adalah bank yang memiliki cabang di seluruh Bangladesh. BMT didirikan oleh lebih dari 20 pendiri, mengurunkan modal awal, dan beroperasi umumnya hanya di sekitar tempat pendiriannya. Jadi BMT lebih otonom dalam pengelolaan.
Dengan dibentuk Asosiasi BMT se-Indonesia (Absindo) oleh Kongres Nasional BMT I Desember 2005 yang lalu, diharapkan BMT-BMT akan terjaring dalam suatu jaringan kerja yang lebih produktif. Di samping itu, BMT beroperasi dengan sistem syariah, bagi hasil, sedangkan GB beroperasi dengan sistem bunga.
Sejak 2003, sebagai proyek percontohan, Pinbuk bekerja sama dengan Departemen Sosial RI, telah mengembangkan BMT Kelompok Usaha Bersama (Kube) dengan menerapkan metodologi GB. Jika di GB kelompok diorganisasi dalam kelompok beranggotakan 5 orang, Kube diorganisasi beranggotakan 10 orang. Hal ini dikarenakan Kube telah dikembangkan oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1980-an beranggotakan 10 orang. Hanya, belum diorganisasi menjadi lembaga keuangan mikro seperti BMT.
Proyek percontohan yang dilakukan Pinbuk bersama Depsos ini, dijalankan dengan terlebih dahulu menyosialisasikan konsep Kube dan BMT. Kube dibentuk setelah dilakukan identifikasi keanggotaan oleh pendamping, dan kemudian calon-calon anggota bersepakat mendirikan Kube. Anggota-anggota diharuskan mengikuti pra pelatihan wajib himpunan (PWH), konsultasi antarpendamping dan anggota untuk memantapkan pembentukan Kube. Kemudian, mereka bersepakat untuk mengikuti PWH selama 5 hari.
Setelah PWH, tiga Kube didampingi untuk melakukan pertemuan rumpun dengan pendampingan dan diadakan dalam periode yang disepakati. Lama pertemuan 90 menit, di mana dilakukan selain simpan pinjam, pencatatan, juga ada ikrar anggota, ikrar pendamping, penguatan ruhiyah, dan bertukar pengalaman. Pertemuan tanpa ada suguhan makan minum. Pinjaman dilakukan dengan metode 3-3-3-1, ketua yang terakhir. Setelah rumpun berjalan sekitar 6 bulan, ketua-ketua Kube dengan mengajak para dermawan yang ada di desa itu, mendirikan BMT. Setelah berdiri, BMT melakukan usaha penggalangan dana simpanan dari anggota dan Depsos, menurunkan dana kemitraan yang dititipkan pada BMT Kube yang telah dibentuk itu.

Perkembangan
Dalam tahun anggaran 2004/2005 telah dikembangkan 97 BMT Kube yang mencakup 1.969 Kube, 23.798 kepala keluarga, dengan memanfaatkan dana kemitraan dari Depsos sebesar Rp 31,6 miliar. Sementara itu, dana tabungan masyarakat miskin sendiri sebesar Rp 5.216.349.543 yang terhimpun di BMT-BMT dan dimanfaatkan sebagai dana pinjaman untuk pengembangan usaha para fakir miskin. Mereka juga telah memupuk dana iuran kesejahteraan sosial sebesar Rp 80 juta, sehingga total aset dari 97 BMT Kube menjadi Rp. 37.051.743.962.

Yang menarik adalah memperlakukan dana Depsos sebagai dana kemitraan yang dititip ke BMT, untuk digulirkan sebagai dana pinjaman memperbaiki kondisi usaha para fakir miskin yang tergabung dalam Kube-Kube di BMT-Kube. Dengan demikian, dana Depsos RI itu tidak saja dimanfaatkan sebagai dana pengembangan usaha fakir miskin, tetapi juga terpelihara, malah diperbesar dengan dana tabungan dan iuran dari anggota.
Sebanyak 97 BMT Kube itu tersebar di 19 provinsi. Di Sumatera Utara misalnya, dikembangkan 4 BMT Kube dari 41 Kube mencakup 751 anggota fakir miskin. Dana kemitraan Depsos sebesar Rp 750 juta di 4 BMT di Sumatera Utara itu, telah berkembang menjadi Rp 1.144.524.046 dalam setahun. Tambahannya berasal dari simpanan fakir miskin Rp 359.095.285, dan iruan kesejahteraan sosial sebesar Rp 6.315.241. Jadi, dana kemitraan Depsos tidak habis dikonsumsi seperti BLT.

M Amin Aziz, Ketua Yayasan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
Republika,06 Desember 2006
Selengkapnya....
Kategori: 4 komentar |
Oleh: M Amin Aziz, Ketua Yayasan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk)

Pada awal Agustus ini Profesor Muhammad Yunus (66 tahun) penggagas dan pendiri Grameen Bank (GB) diundang Pemerintah Indonesia untuk memberikan public lectures di beberapa tempat. Muhammad Yunus memulai gerakannya dengan memodalkan 27 dolar AS pada 42 nasabah wanita untuk usaha-usaha kecil pembuatan kursi di desa Jobra, Bangladesh. Pada pertengahan 2006, GB telah memiliki debitur 6,61 juta orang, 97 persen di antaranya adalah wanita miskin. GB memiliki 2.226 cabang, melayani 71.731 desa sebagian besar dari jumlah desa yang ada di Bangladesh. Di Indonesia telah banyak lembaga yang mereplikasi sistem GB untuk membantu usaha kecil dan fakir miskin. Misalnya, Yayasan Para Sahabat, Ukabima, Yayasan Mitra Usaha, Mitra Dhuafa, dan Pibuk. Yang menarik, ada yang mempraktikkan metodologi GB ini pada BPR-BPR, seperti oleh Yayasan Para Sahabat dan Ukabima. Juga sekarang ini, di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dalam suasana membludaknya keuangan mikro untuk bantuan tsunami dan pascakrisis, BPR-BPR didorong oleh ADB untuk mengikuti pendekatan GB ini. IPB dan Universitas Brawidjaya juga telah lama melakukan uji coba penerapan metodologi GB.


Pendekatan GB
Kesuksesan GB tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukannya, yang kalau diringkaskan dapat dikemukakan sebagai berikut. Misi utama GB adalah membantu kaum miskin keluar dari kemiskinan. Masyarakat tidak mendatangi bank, tapi bank yang semestinya mendatangi mereka. Bank juga tidak mengharuskan agunan. Ini berlainan dengan prinsip bank yang diberlakukan di negara kita.

Umumnya, pinjaman yang diberikan GB melalui kelompok-kelompok GB terdiri dari 5 orang yang mengadakan pertemuan berkala spekan sekali. Pinjaman diberikan umumnya untuk satu tahun, atau untuk jumlah bulan yang disepakati di suatu cabang. Batas umum pinjaman berlaku untuk semua peminjam di suatu cabang. Jadwal pengembalian tetap, dan besar angsuran seragam. Pinjaman disalurkan sekaligus di suatu waktu.
Penyaluran pinjaman dengan metode bertahap 2, 2, 1, ketua mendapat giliran paling belakangan. Diperlakukan sebagai cidera janji jika tidak dapat melunasi pinjaman dalam 52 minggu. Setiap peminjam hanya berhak atas satu saham GB. Jadi, GB dimiliki oleh lebih 5 juta pemegang saham, hampir seluruhnya orang miskin. Simpanan bersama dalam suatu rekening kelompok (dana kelompok) diaktifkan bersama oleh ketua dan sekretaris kelompok dengan persetujuan semua anggotanya.

Setelah berumur seperempat abad, GB mengembangkan metodologi baru yang disebut sebagai Grameen Generalised System (GGS). GGS dibangun sekeliling satu produk pinjaman utama yang disebut pinjaman dasar: jalur cepat kredit mikro Grameen. Selain itu, ada dua produk pinjaman lain: 1) pinjaman perumahan, dan 2) pinjaman pendidikan tinggi yang seiring dengan pinjaman pendidikan dasar. Dalam sistem baru ini, besarnya pinjaman, masa pinjam dan pelunasan mendapat keleluasaan. Di samping itu juga ada tabungan pensiun Grameen.

Seperti kita ketahui, sejak awal 1990-an di Indonesia telah berkembang Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Sejak tahun 2003, sebagai proyek percontohan, Pinbuk bekerja sama dengan Departemen Sosial RI, telah mengembangkan BMT Kelompok Usaha Bersama (Kube) dengan menerapkan metodologi GB. Jika di GB kelompok diorganisasi beranggotakan lima orang, Kube memilki anggota 10 orang.

Kube dibentuk setelah dilakukan identifikasi keanggotaan oleh pendamping, dan kemudian calon-calon anggota bersepakat mendirikan Kube, termasuk menyepakati siapa yang akan menjadi anggotanya. Anggota-anggota diharuskan mengikuti Pra Pelatihan Wajib Himpunan (Pra PWH), serta konsultasi antarpendamping dan anggota untuk memantapkan pembentukan Kube. Kemudian, mereka bersepakat untuk mengikuti Pelatihan Wajib Himpunan (PWH)

Setelah PWH, tiga Kube didampingi untuk membuat rembug himpunan (Rumpun). Rumpun dengan pendamping diadakan tiap dua pekan sekali, tergantung kesepakatan. Pinjaman dilakukan dengan metode 3-3-3-1, ketua yang terakhir. Setelah Rumpun berjalan selama sekitar 6 bulan, ketua-ketua dari 20-30 Kube, dengan mengajak aghnia-aghnia yang ada di desa itu, mendirikan BMT.

Di tahun anggaran 2004 dan 2005 telah dikembangkan 97 BMT Kube yang mencakup 1.969 Kube, 23.798 keluarga, dengan memanfaatkan dana kemitraan dari Departemen Sosial sebesar Rp 31,6 miliar. Sementara itu, dana tabungan masyarakat miskin sendiri sekitar Rp 5,2 miliar yang terhimpun di BMT-BMT dan dimanfaatkan sebagai dana pinjaman untuk pengembangan usaha fakir miskin itu. Mereka juga telah memupuk dana iuran kesejahteraan sosial sebesar Rp 80.000.367.

Yang menarik adalah memperlakukan dana Departemen Sosial RI sebagai dana kemitraan yang dititip ke BMT, untuk digulirkan sebagai dana pinjaman memperbaiki kondisi usaha para fakir miskin yang tergabung dalam Kube-Kubedi BMT-Kube masing-masing. Dengan demikian, dana Departemen Sosial RI itu tidak saja dimanfaatkan sebagai dana pengembangan usaha fakir miskin, tetapi juga terpelihara, malah diperbesar dengan dana tabungan dan IKS dari anggota sendiri.

Sembilan puluh tujuh BMT Kube itu tersebar di 19 provinsi. Di Sumatera Utara misalnya, dikembangkan 4 BMT Kube dari 41 Kube mencakup 751 anggota fakir miskin. Dana kemitraan Depsos sebesar Rp 750 juta di 4 BMT di Sumatera Utara itu, telah berkembang menjadi Rp 1.144.524.046 dalam waktu setahun, yang tambahannya terdiri dari simpanan fakir miskin Rp 359.095.285, dan iruan kesejahteraan sosial sebesar Rp 6315.241. Jadi, dana kemitraan Departemen Sosial RI tidak habis dikonsumsi seperti BLT, tetapi justru berkembang dengan simpanan fakir miskin sendiri, di samping dana tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk memperbaiki kualitas usaha mereka. Di samping itu, pertemuan-pertemuan Rumpun model GB itu, telah membuat saudara kita yang fakir miskin ini semakin sadar bahwa mereka sendirilah yang mampu mengubah nasibnya.

Sumber: Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |