Setelah sistem sosialis tumbang, sistem kapitalis diperkirakan bakal menyusut. Tanda-tanda di amabang ajalnya sistem kapitalis itu bisa dilihat dari meningkaknya kredit derivatif dari Rp. 500 triliun pada 1998, menjadi Rp. 24.000 triliun pada akhir Desember 2002. Belum lagi jumlah obligasi yang default mencapai Rp. 1.650 triliun, jumlah yang jauh lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya. Siap runtuh bersama sistem ini atau mencari sistem alternatif?
Selengkapnya....
Tampilkan postingan dengan label Kapitalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kapitalisme. Tampilkan semua postingan
Kegagalan ekonomi kapitalis tak bisa lagi ditutup-tutupi. Sistem ekonomi kapitalis ini memang telah berhasil menciptakan masyarakat modern seperti saat ini. Sayangnya, jumlah manusia yang mampu diangkatnya hanya sebagian kecil masyarakat, bukan seluruhnya. Sebanyak 40 persen dari penduduk sampai saat ini masih berada dalam keadaan berpendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari. Maka itu, Millennium Development Goals (MDG) PBB mencoba mengatasinya dengan target pengurangan angka kemiskinan 50 persen dalam tempo 15 tahun. Sejauh ini, target itu belum tercapai. Bahkan, pada tahun ini, justru dunia menambah jumlah kemiskinan hampir 100 juta.
Selengkapnya....
Bencana keuangan tengah melanda negara super power Amerika Serikat. Beberapa bank raksasa kelas dunia yang telah menggurita ke berbagai penjuru dunia rontok. Dimulai dari bangkrutnya bank raksasa Lehman Brothers dan perusahaan finansial raksasa Bear Stearns. Beberapa saat sebelumnya, pemerintah Amerika terpaksa mengambil alih perusahaan mortgage terbesar di Amerika; Freddie Mac dan Fannie Mae Sementara Merrill Lynch mengalami kondisi tak jauh beda hingga harus diakuisisi oleh Bank of America. Terakhir perusahaan asuransi terbesar AIG (American International Group) menunjukkan gejala kritis yang sama.
Untuk mengatasi badai krisis yang hebat itu dan menyelamatkan bank-bank raksasa yang terpuruk, pemerintah Amerika Serikat terpaksa melakukan bailout sebesar 700 milyar dolar sampai 1 triliun US dolar. Intervensi negara Amerika terhadap sektor keuangan di negeri Paman Sam itu merupakan kebijakan yang bertentangan dengan faham pasar bebas (kapitalisme) yang dianut Amerika Serikat. Nyatanya dana suntikan yang mirip dengan BLBI itu toh, tak signifikan membendung terpaan badai krisis yang demikian besar. Kebijakan bailout ini, tidak saja dilakukan pemerintah Amerika, tetapi juga bank sentral Eropa dan Asia turun tangan menyuntikkan dana untuk mendorong likuiditas perekonomian, sehingga diharapkan dapat mencegah efek domino dari ambruknya bank-bank investasi kelas dunia tersebut.
Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa bank besar yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di Amerika Serikat segera memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.
Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bursa saham di mana-mana terjun bebas ke jurang yang dalam. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%.
Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS, bursa saham Wall Street terus melorot. Dow Jones sebagai episentrum pasar modal dunia jatuh. Angka indeks Dow Jones menunjukkan angka terburuknya dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah angka 10.000.
Dalam rangka ,mengantispasi krisis keuangan tersebut, tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada) memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar.
Berdasarkan fakta dan reliata yang terjadi saat ini, jelas sekali bahwa drama krisis keuangan memasuki tingkat keterpurukan yang amat dalam,dank arena itu dapat dikatakan bahwa krisis financial Amerika saat ini, jauh lebih parah dari pada krisis Asia di tahun 1997-1998 yang lalu. Dampak krisis saat ini demikian terasa mengenaskan keuangan global. Lagi pula, sewaktu krismon Asia, setidaknya ada 'surga aman' atau 'safe heaven' bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, tetapi kini, semua pasar modal rontok. Semua investor panic.
Karena itu, seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa Guncangan ekonomi akibat badai keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930. Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah sejak era 1930-an. Hal itu diperkirakan akan menggerus pertumbuhan ekonomi dunia melambat menjadi 3% pada tahun 2009, atau 0,9% poin lebih rendah dari proyeksi World Economic Outlook pada Juli 2009.
Dari paparan di atas, terlihat dengan nyata, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang menganut laize faire dan berbasis riba kembali tergugat. Faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan. Pemikiran Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun adalah suatu ijtihad yang benar dan adil untuk mewujudkan kemaslahatan ekonomi masyarakat.
Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end of history “ (Magazine National Interest ,1989). Tesis Fukuyama sudah usang dan nasakh (tidak berlaku), karena sistem ekonomi kapitalisme telah gagal menciptakan tata ekonomi yang berkeadilan dan stabil.
Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Crisis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain : Choices for the Third World.
Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negara-negara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju.
Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.
Karena itu, kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar dan komprehensif.
Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali.
Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa "Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving the World Economy").
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”. Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).
Rekonstruksi Ekonomi Syariah Sebuah Keharusan
Oleh karena kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik, .dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma konsep dan teori yang destrutktif, filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, krisis demi krisis pasti terus terjadi, ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis.
Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa krisis finansial, (stabilitas ekonomi), tapa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya terhadap negara miskin.
Agustianto, Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Dalam sebuah simposium tentang Pemikiran Nurcholish Madjid di Universitas Paramadina (18/3), Bahtiar Effendy menyatakan bahwa Cak Nur, lebih tepat disebut sebagai seorang 'kapitalis religius' daripada 'sosialis religius.' Pandangan Bachtiar yang lugas itu saya kira benar belaka. Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pemikir liberal muslim dalam hal politik-keagamaan yang juga bersikap liberal dalam masalah-masalah ekonomi. Meski tak banyak berbicara tentang pemikiran ekonomi karena memang bukan bidangnya, pandangan-pandangan keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat kepada liberalisme ketimbang sosialisme.
Saya lebih senang menggunakan kata 'liberal' daripada 'kapitalis' dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih 'netral' dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.
Pemikiran ekonomi adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana 'islamisasi ekonomi' yang lebih bersifat ideologi ketimbang ilmu.
Saya menganggap pernyataan seperti yang diungkapkan Bahtiar Effendy di atas penting untuk menyadarkan kita semua bahwa pemahaman ekonomi dalam pemikiran Islam di Indonesia sangat beragam. Tidak seperti yang disangka banyak orang, sikap kaum Muslim terhadap isu ekonomi tak hanya satu, yakni sikap ekonomi yang sosialistis.
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan sosialisme. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme. Atau malah juga terkait erat dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang memang sangat didominasi oleh pemikiran kiri (baca; sosialis).
Citra bahwa Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisah telah disemai sejak Tjokroaminoto, bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto adalah intelektual Islam pendukung sosialisme.
Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang 'sosialis religius'. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Simaklah tulisan-tulisan para intelektual semacam Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Amien Rais, dan Kuntowijoyo.
Dalam konteks ini, Cak Nur adalah pengecualian. Tidak seperti para intelektual Islam yang disebut di atas, ia bersikap liberal baik dalam pemikiran politik-keagamaan maupun dalam hal pemikiran ekonomi. Yang saya maksud dengan liberal di sini adalah sikap dasar dalam memberikan toleransi yang besar kepada mekanisme pasar dan independensi masyarakat dari negara.
'Sekularisasi' ekonomi. Jika kita mengamati tulisan-tulisan Cak Nur yang berkaitan dengan isu Islam dan ekonomi, sangat jelas sekali pesan yang ingin disampaikannya, yakni bahwa Islam tidak mengurusi hal-hal detil tentang ekonomi. Sebetulnya, ini adalah perluasan dari sikap dasar dia dalam hal politik-keagamaan, yakni bahwa Islam tak mengurusi hal-hal detil tentang politik.
Sikap dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan mengapa Rektor Paramadina itu, misalnya, menolak gagasan 'ekonomi Islam'. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Dawam Rahardjo, yang jelas-jelas mendukung ekonomi Islam. Bahkan Dawam mendukung ekonomi Islam versi yang sangat ideologis, yakni ekonomi Islam yang dikembangkan oleh IIIT (International Institute of Islamic Thought), lembaga Islam yang banyak didanai Arab Saudi, dan dikenal dengan proyek islamisasi ilmunya. Dawam adalah Direktur IIIT cabang Indonesia.
Sikap dasar di atas sangat penting untuk melihat bagaimana penyikapan terhadap hubungan agama dan negara berpengaruh dan memiliki korelasi positif terhadap hubungan ekonomi dan negara. Intelektual seperti Cak Nur adalah orang yang memiliki sikap tegas tentang hubungan agama dan negara. Sejak lama ia dikenal sebagai penganjur sekularisasi atau pemisahan agama dari negara.
Buat dia, agama sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan-urusan negara, dan begitu juga sebaliknya, negara sebaiknya jangan mencampuri urusan agama. Jika diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, kaidah ini berarti bahwa harus ada pemisahan antara negara dan pasar atau negara dan ekonomi masyarakat. Negara tidak berhak mengatur bagaimana pasar bekerja, sebagaimana pasar juga tidak semestinya 'meminta pertolongan' dari negara untuk diatur.
Penting untuk dicatat di sini bahwa intelektual yang memiliki sikap tegas terhadap sekularisasi politik (pemisahan negara dan agama) juga memiliki sikap yang tegas dalam 'sekularisasi' ekonomi (pemisahan negara dan pasar). Cak Nur dikenal sebagai pendukung setia sekularisasi politik, dan karenanya, dalam masalah ekonomi, juga tak memiliki beban untuk menerapkan prinsip sekularisasi itu. Sementara para intelektual yang menolak atau minimal ragu-ragu dalam mendukung tesis sekularisasi politik, juga akan mengalami persoalan (baca; penolakan) ketika berbicara tentang 'sekularisasi' ekonomi.
Dalam beberapa tulisannya dan juga wawancara saya dengannya, Dawam menolak ide sekularisasi dan menolak gagasan pemisahan agama dari negara. Menurutnya, negara harus menjadi pelindung dan pengayom agama. Tanpa negara, ajaran-ajaran agama tak akan bisa berjalan dengan baik. Sikap pro-negara seperti itu, tidak kita temukan pada Cak Nur yang sepenuhnya mendukung gagasan sekularisasi. Buat dia, peran negara bukanlah sebagai pengatur dan penentu arah jalannya ekonomi. Pasar harus dibiarkan bebas, dan kompetisi harus dijunjung tinggi sebagai elemen positif dalam pembangunan ekonomi.
Dalam buku terbarunya, Indonesia Kita, yang banyak membahas persoalan politik dan kenegaraan, Cak Nur menguraikan tentang pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi. (Indonesia Kita, hlm 131).
Tanpa perlu dikatakan, Cak Nur selalu menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai cita-cita politik Islam. Hanya saja, berbeda dari para pendukung 'ekonomi sosialis' atau 'ekonomi kerakyatan,' keadilan dan kesejahteraan ini harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang fair dan bebas. Kalaupun ia harus diterjemahkan menjadi negara kesejahteraan (welfare state), maka hal itu haruslah dibangun di atas landasan ekonomi liberal, seperti negara-negara kesejahteraan di Eropa melakukannya.
Oleh Luthfi Assyaukanie
Media Indonesia, Kamis, 7 April 2005