Tampilkan postingan dengan label UMKM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UMKM. Tampilkan semua postingan
Lemahnya posisi tawar ekonomi umat Islam di Indonesia dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada, telah menyebabkan posisi umat sangat lemah, dan seringkali menjadi kambing hitam serta terpinggirkan dalam proses pembangunan. Membangun sumberdaya ekonomi adalah sebuah keharusan, sebagai upaya untuk merancang masa depan perekonomian umat.


Fakta menunjukkan bahwa hampir 90 persen pelaku usaha ekonomi berskala kecil adalah umat Islam. Namun ironisnya, dari keseluruhan usaha mikro yang ada, dapat dikatakan umat Islam masih belum memiliki institusi yang kuat, mapan, dan bebas dari intervensi pihak manapun. Untuk itu, pengembangan usaha mikro umat pun harus mendapat perhatian kita semua.

Sesungguhnya, ide pemunculan pembiayaan mikro syariah, atau yang dikenal sebagai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), haruslah ditopang konsep dan mekanisme yang jelas, sehingga kontribusinya dapat dirasakan umat (SA Roosly, 2002).

Saat ini, terjadi ketimpangan. Fokus dan perhatian prospek pengembangan ekonomi umat hanya bergantung pada sektor perbankan dan institusi finansial lainnya --yang skalanya lebih bersifat menengah ke atas-- dibandingkan dengan prioritas untuk menggarap sektor kecil dan menengah ke bawah. Akibatnya, arah pengembangan ekonomi yang berbasis keumatan ini menjadi tidak seimbang. Padahal, seharusnya, melalui pengembangan usaha mikro inilah landasan penataan perekonomian masyarakat beserta infrastrukturnya dibangun dan diperkuat.

Perkembangan LKM
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberi pelajaran penting tentang kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Perekonomian negeri ini ternyata dikuasai sektor korporasi atau usaha besar yang dikuasai segelintir orang. Sementara itu, di sisi lain, pilar pembangunan ekonomi lainnya seperti usaha kecil dan menengah (UKM) tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Perannya seringkali tidak berarti dalam perekonomian nasional. Ironisnya, ketika terjadi krisis, terbukti sektor korporasi tidak mampu bertahan dengan baik. Justru UKM, yang tadinya dianggap kurang berperan dalam perekonomian nasional, terbukti lebih mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang mengarah pada krisis multidimensi tersebut.

Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor ini dengan melahirkan paradigma pengembangan sektor UKM secara lebih serius. Sehingga kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan, nantinya, benar-benar mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap sektor ini. Tentu saja, keberadaan UKM tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM).

Di Indonesia, LKM dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu yang bersifat formal dan informal. Lembaga yang bersifat formal ada yang berbentuk bank, ada pula yang berbentuk lembaga non-bank. Sedangkan LKM yang bersifat informal biasanya berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, baitul maal wat tamwil (BMT), serta berbagai bentuk institusi yang pengelolaanya ditangani langsung oleh masyarakat.

Hingga tahun 2002, jumlah LKM dari berbagai jenis yang beroperasi secara aktif di Indonesia mencapai sekitar 53 ribu unit. Namun demikian, dari jumlah tersebut, lembaga yang beroperasi dengan menggunakan prinsip syariah masih sangat kecil. Jumlah nasabah yang dilayani LKM melebihi 17 juta orang, sedangkan jumlah kredit mikro yang telah disalurkan mencapai lebih dari Rp 16 triliun.

Dari sisi jumlah nasabah, LKM jenis unit simpan pinjam memiliki jumlah nasabah terbesar, yaitu 10 juta orang lebih. Sedangkan dari sisi jumlah kredit mikro yang berhasil disalurkan, BRI Unit Desa menyalurkan kredit dalam jumlah terbesar, yaitu sekitar Rp 7,8 triliun (Bank Indonesia, 2002).

Berdasarkan data tersebut, posisi LKMS masih terbilang sangat kecil skalanya --baik ditinjau dari segi jumlah maupun dari segi penguasaan aset. Padahal, sekitar 95 persen dari nasabah yang ada adalah umat Islam. Kita bisa melihat bahwa jaminan aktivitas pembiayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah masih sangat minim keberadaannya. Inilah tantangan besar yang harus dijawab dengan sebuah kerja keras secara kolektif.

Membangun potensi
Dilihat dari potensi dan sumber pendanaan yang sudah berjalan, sebenarnya LKMS memiliki potensi pembiayaan dan pengelolaan dana ekonomi umat yang cukup besar. Jika pengelolaan dana umat bisa dilakukan secara terpadu antarinstitusi keuangan syariah, maka hal tersebut akan menjadi sumber kekuatan yang sangat besar.

Sebagai contoh, jika terjalin sinergi yang konstruktif antarlembaga pengelola zakat, infak, dan shadaqah (ZIS), maka dana ZIS yang terkumpul akan mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tentu saja dengan catatan bahwa program-program yang dilakukan memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Namun yang harus diingat adalah besarnya potensi tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa diiringi perbaikan dan inovasi dari semua elemen yang terkait di dalamnya, baik pada aspek kelembagaan, pendanaan, maupun pelayanan. Ketiga aspek tersebut, menurut penulis, memegang peranan kunci, sehingga perlu penguatan.

Dari aspek kelembagaan, terdapat dua hal yang mendesak untuk dilakukan, yaitu pengakuan dan apresiasi terhadap keberadaan dan peran LKMS untuk mengemban amanah dana umat secara profesional, dan penguatan serta perlindungan bagi LKMS dan nasabahnya. Salah satu bentuk apresiasi ini adalah melalui pemberian kejelasan status dan posisi legal-formal bagi LKMS. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua LKMS beroperasi dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Diharapkan, ke depan, akan muncul lembaga yang sehat, mampu menawarkan solusi keuangan, dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Sehingga dampaknya akan dirasakan langsung oleh umat. Dari aspek pendanaan, terdapat beberapa hal yang juga perlu dilakukan. Antara lain peningkatan aksesibilitas LKMS pada sumber dana sekunder seperti perbankan syariah, mobilisasi dana lokal dan dana luar negeri, serta peningkatan kerja sama antar-LKMS --termasuk di dalamnya peningkatan transparansi pengelolaan dana dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan. Sedangkan dari aspek pelayanan, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, seperti pemberian pelatihan, konsultasi, dan pendampingan bagi LKMS dalam menjalankan fungsinya.

Yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana menjadikan LKMS sebagai penasihat usaha bagi nasabahnya, dengan memberikan prinsip-prinsip pengelolaan usaha dan perilaku usaha yang sesuai syariah. Sehingga diharapkan akan lahir generasi baru dengan karakter Utsman bin ‘Affan, Abu Bakar Siddik, maupun Abdurrahman bin Auf. Mereka tangguh sebagai usahawan, sekaligus kokoh menjaga akidah dan memegang prinsip.

Sumber pertolongan
Memperkuat sektor usaha kecil dan menengah sesungguhnya merupakan dasar bagi kita dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, membangun usaha mikro merupakan sumber turunnya pertolongan dan rezeki dari Allah SWT, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: ''kalian akan ditolong dan diberi rezeki dengan sebab kaum dhuafa di antara kalian'' (HR Daelami).

Yang dimaksud hadits tersebut adalah rahmat Allah akan turun ketika kita menunjukkan keberpihakan kita terhadap masyarakat kecil dan termarjinalkan --termasuk UKM-- agar mereka dapat terberdayakan. Bahkan dalam QS 28: 5 ditegaskan bahwa masyarakat yang dianggap lemah pun memiliki potensi dan bisa menjadi sumber kekuatan. Artinya, menyepelekan mereka, apalagi kemudian mengkhianatinya, hanya akan menyebabkan hilangnya potensi yang dimiliki suatu masyarakat, bangsa, dan negara.

Sehingga, bagi kita, membangun perekonomian nasional yang kuat, hanya dapat dilakukan manakala institusi ekonomi mikro negeri ini mendapatkan perhatian dan dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, DPR, maupun masyarakat lain secara keseluruhan. Inilah paradigma yang harus dibangun dan ditanamkan, agar problematika kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di Tanah Air tercinta ini dapat diatasi. Wallahu a'lam.

Irfan Syauqi Beik, Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB
Handi Risza Idris, Dosen STIE SEBI dan Alumnus IIU Malaysia
Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: , 44 komentar |
Menurut Menteri Perekonomian Aburizal Bakrie, dari potensi pertumbuhan dana perbankan sebesar Rp 106 triliun untuk 2005 akan disalurkan kredit sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp 60,44 triliun sebagaimana tercantum dalam rencana bisnis perbankan 2005.

Selain itu, ada pula pengalokasian dana keuntungan BUMN 1-3% untuk pemberdayaan UMKM. Lalu dana Surat Utang Pemerintah (SUP) Nomor 005 sebesar Rp 1,474 triliun, juga pengalokasian dana kompensasi BBM bagi UMKM sebesar Rp 259 miliar untuk subsidi bunga (Pikiran Rakyat, 12 September 2005).


Jawa Barat saat ini memiliki 7,2 juta UMKM. Hingga akhir 2004, total kredit untuk UMKM mencapai Rp 40,7 triliun atau meningkat 24,5% dibandingkan posisi Desember 2003. Dari jumlah ini, sebesar Rp 32,2 triliun atau 79,4% untuk UMKM, dan Rp 17 triliun di antaranya untuk kredit mikro.

Strategi penguatan finansial UMKM dimulai sejak awal perkembangan Indonesia. Sejalan dengan program subsidi untuk mendongkrak pertumbuhan Indonesia ketika itu, program kredit bersubsidi dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Model pertama adalah KIK/KMKP (tahun 1974) yang diarahkan langsung kepada pengusaha kecil. Model ini dikembangkan secara nasional melalui sekira 55 bank pelaksana dan struktur ke bawahnya. Pola subsidi seperti ini terus dipertahankan hingga awal tahun 90-an dengan adaptasi secara bertahap disesuaikan dengan perkembangan ekonomi secara umum.

Sekalipun banyak sekali lembaga keuangan yang terlibat dalam sistem yang beragam tersebut, persoalan kelangkaan modal UMKM tetap belum terpecahkan. Program-program yang tumpang tindih dan terfragmentasi lebih mencerminkan kepentingan birokrasi daripada tipe kredit yang diberikan atau pangsa pasar yang dilayaninya.

Persyaratan spesifik yang diajukan (agunan, wilayah, status keanggotaan, kelompok, dsb) mengakibatkan UMKM tidak bebas memilih jenis pelayanan yang diinginkannya. Secara umum pelayanan perkreditan masih perlu dibenahi (Syaifudin, 1995).

Komitmen pemerintah untuk mengembangkan UMKM, melalui bantuan modal usaha, memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Hanya, karena setiap kebijakan kurang berpijak pada nilai-nilai dasar yang dianut pelaku UMKM, akhirnya kebijakan yang diambil hanya dapat mengobati sesaat, tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.

Berbagai program peningkatan kemampuan permodalan usaha UMKM dengan sistem pinjaman/kredit berbunga, baik berbentuk kredit program (berbunga rendah), maupun kredit komersial, masih menemui beberapa kelemahan, yaitu : (1) Persyaratan dan proses administrasinya sulit dilakukan oleh pelaku UMKM, (2) Sistem pinjaman berbunga tidak menjamin penanggungan risiko secara adil, (3) Sistem pinjaman berbunga tidak menjamin kreditur terlibat secara penuh ke dalam fungsi-fungsi manajemen unit usaha yang bersangkutan, (4) Sistem pinjaman berbunga sangat peka terhadap naik turunnya suku bunga kredit, dan (5) Sistem pinjaman berbunga tidak berpijak pada nilai-nilai tradisional masyarakat Indonesia yang bersifat universal.

Pelaku UMKM adalah masyarakat asli Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional khas Indonesia. Mereka sangat menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan gotong royong, keadilan, serta berbagi suka dan duka. Nilai tradisional Indonesia yang dapat dikembangkan sebagai konsep dan sistem kelembagaan tradisional yang universal untuk menunjang sistem pembiayaan UMKM adalah pola bagi hasil (loss and profit sharing). Bagi hasil merupakan konsep dan pranata tradisional yang sudah dipergunakan oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum kedatangan bangsa Belanda. Pola bagi hasil memperhatikan asas kesederhanaan, transparan, kebersamaan dan keadilan, murah serta mudah dijangkau.

Pola bagi hasil menghendaki adanya semacam lembaga keuangan mikro (LKM), sebagai lembaga lokal pengelola dana. Lembaga ini harus muncul dan terbentuk atas aspirasi penuh dari bawah (masyarakat), dikelola oleh masyarakat, dan hasilnya untuk masyarakat. Pemerintah (daerah) sifatnya hanya sebagai mobilisator, yang siap membantu berupa subsidi modal awal, dan membinanya dari sisi organisasi dan manajemen.

Sebagaimana menurut Sumodiningrat (2001), LKM adalah sebuah lembaga keuangan yang beroperasi di tingkat desa, berbentuk badan hukum dengan wilayah operasi di tingkat desa. Tugas pokok dari lembaga ini ada tiga. Pertama, lembaga penampung dan penyalur kapital. Kedua, akselerator pembangunan di tingkat desa. Serta ketiga, sebagai centre of excellence, learning, and practice di tingkat desa dalam dua hal pokok, yakni kewirausahaan dan manajemen. Secara umum lembaga keuangan mikro memiliki tugas ganda yakni menggerakkan bisnis dan menyelamatkan yang kritis.

Terbentuknya LKM di suatu tempat dilakukan melalui model "perlombaan". Setiap lokasi (desa/kelurahan) dibiarkan berlomba tanpa perlu difasilitasi pihak luar (pemerintah daerah/pusat) dan tanpa dibatasi waktu, sampai benar-benar terlihat kesiapannya menerima dan mengelola subsidi modal LKM dari pemerintah, untuk dikelola secara bagi hasil. Untuk program seperti ini pemerintah (pusat/daerah) tentunya tidak perlu membayar konsultan, dan tanpa perlu dikejar target waktu.

Hal tersebut tentunya dapat menghemat biaya dan terhindar dari "tender-tenderan" projek yang berujung kolusi dan nepotisme. Sistem target "ala projek" di mana dalam periode waktu tertentu ditargetkan harus terbentuk sejumlah lembaga keuangan mikro dan harus terkucur sejumlah dana bantuan, hanya akan "menyenangkan" oknum pejabat pemerintah, pimpinan projek dan konsultannya, tanpa sedikit pun mencapai sasaran tujuan pemberdayaan masyarakat yang benar. Biarkanlah masyarakat secara alami berlomba mempersiapkan diri untuk dapat menerima dan mengelola dana ini bagi kemajuan di daerahnya masing-masing.

Program (katakanlah Program Pembiayaan Bagi Hasil = PPBH) berlangsung selamanya dalam waktu yang tidak terbatas di bawah mobilisasi dinas terkait (Koperasi dan Pembinaan UMKM) Dinas/instansi ini sifatnya menunggu "bola" dan masyarakat yang menjemput dan menendang "bolanya".

Dalam penerapan sistem pembiayaan pola bagi hasil pada UMKM perlu sosialisasi dan strategi yang relevan. Karena masuknya sistem pinjaman berbunga telah menjadikan nilai-nilai tradisional bagi hasil menjadi "tamu" di negerinya sendiri. Banyak aspek yang perlu mendapat tekanan untuk disosialisasikan dan diimplementasikan pada pelaku UMKM. Aspek tersebut meliputi aspek teknis administrasi pengajuan pembiayaan, pengelolaan dana bergulir, administrasi pembukuan usaha yang memenuhi standar akuntansi syariah, kesanggupan penanggungan risiko dan keuntungan secara adil, aspek moralitas, dan sebagainya.

Pola bagi hasil kini sudah banyak diterapkan oleh bank umum syariah, BPR syariah, BUMN, perusahaan modal ventura, yayasan, koperasi, asuransi, dan sebagainya. Hal tersebut dapat dijadikan referensi guna menerapkan pola bagi hasil pada model pembiayaan UMKM.

Pola bagi hasil dapat menumbuhkembangkan sikap rasa memiliki, rasa senasib sepenanggungan antarsesama anggota masyarakat, dan dapat menjunjung tinggi keadilan. Siapkah masyarakat menjemput dan menendang "bola" dan pemerintah menerimanya ? Kita tunggu.

Oleh: Asep Darmansyah, staf pengajar Universitas Winaya Mukti (Unwim), Jatinangor.
pikiran-rakyat, 26 Nopember 2005
Selengkapnya....
Kategori: , 0 komentar |
Realita UMKM dan Reorientasi Bank Syariah
Sekelompok orang atau individu dengan segala daya upaya miliknya, berusaha di bidang perekonomian dalam skala sangat terbatas, itulah yang disebut dengan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Ada banyak faktor yang membatasi gerak usaha UMKM. Faktor utama yang memengaruhi terbatasnya gerak mereka adalah sulitnya akses terhadap pendidikan, modal, dan teknologi. Namun dalam realitas obyektif, dengan segala keterbatasannya itu, UMKM tetap mampu bertahan di tengah badai krisis ekonomi.

Jika dirunut secara mendalam, ternyata eksistensi UMKM didukung oleh fleksibilitas bidang usaha yang mereka geluti, baik mulai dari modal yang kecil, kesederhanaan teknologi, SDM yang terbatas dalam kualitas dan kuantitas, maupun terbatasnya pasar. Kesemuanya itu juga ditopang dengan semangat hidup yang tinggi untuk mempertahankan harga diri.


Sebagian besar usaha bisnis di Indonesia berbentuk UMKM yang memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan realitas perekonomian Indonesia. Usaha yang mereka jalankan mampu berdiri di atas kaki sendiri dan bersifat mandiri tanpa memiliki grup atau di bawah grup perusahaan lain. Kebanyakan produksinya bukan berupa jasa tetapi barang menggunakan teknologi yang relatif rendah. Orientasinya terfokus pada pasar lokal sehingga lokasinya pun berada di pedesaan atau pinggiran kota. Modal mereka juga terbatas dan yang pasti usahanya pun sangat susah mendapatkan pinjaman kredit atau pembiayaan dari bank, dengan kata lain termasuk kategori unbankable.

Walaupun menempati fondasi struktur ekonomi Indonesia dan menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi, tetapi dukungan modal yang diterima UMKM masih minimal. Dengan keadaan seperti itu, bantuan berupa keuangan, teknologi, dan manajemen untuk pembangunan kemampuan institusi sangat mereka butuhkan. Satu hal yang unik ditemui saat ini pada UMKM adalah komitmen dan kepedulian mereka terhadap moralitas. Di saat para pengusaha besar dan konglomerat ramai-ramai melakukan segala jenis kejahatan bisnis yang melanggar hukum, orang-orang yang bergerak di bidang UMKM tetap berpegang teguh pada etika bisnis dan moralitas. Dengan memandang urgensi dan kontribusi UMKM terhadap pembangunan ekonomi bangsa, maka sudah sewajarnya industri perbankan syariah melakukan reorientasi ke sektor riil dengan memfokuskan pemberdayaan kepada pengusaha UMKM.

Peranan perbankan syariah dalam pengembangan sektor riil dapat dilihat dari skema yang dikembangkan dalam pembiayaan bank syariah, selain dalam kontribusi nyata yang disumbangkan oleh bank syariah melalui tugasnya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Dilihat dari skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah hanya menyalurkan pembiayaannya untuk sektor riil. Dinamika bisnis yang terjadi pada sektor riil akan terefleksi langsung pada kegiatan perbankan syariah. Dalam menyalurkan pembiayaannya, perbankan syariah menggunakan akad-akad yang selalu terkait dengan sektor riil, dan pertumbuhan sektor finansial sekadar mengikuti pertumbuhan sektor riil.

Pembiayaan dengan akad murabahah, salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan bila ada barang atau jasa (sektor riil) yang dibiayai. Bahkan pembiayaan dengan akad musyarakah/mudharabah, bukan saja disalurkan untuk membiayai sektor riil, namun juga terbentuk perfect correlation antara cost of capital dengan return on capital. Hal ini jelas sangat berbeda dengan bank konvensional yang banyak menyalurkan kredit bukan ke sektor riil, yaitu untuk spekulasi di pasar uang. Bank syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana bank konvensional. Sebaliknya, bank syariah adalah real sector based banking.

Sebagian besar dana bank konvensional tidak mempunyai dampak terhadap pertumbuhan sektor riil karena dibelikan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) untuk mendapatkan pendapatan suku bunga tanpa risiko. Yang lebih parah lagi, sejumlah besar kredit bank konvensional digunakan untuk spekulasi di pasar uang, atau paling tidak dapat dikatakan, tidak digunakan untuk mendorong pertumbuhan sektor riil.

Layanan Bank Syariah untuk UMKM
Beberapa hal yang dapat disediakan oleh Bank Syariah untuk UMKM, kaitannya dengan pencapaian target dan visi di atas, antara lain: Pertama, produk alternatif yang luas dengan bagi hasil sebagai produk utama. Produk-produk dengan sistem profit and loss sharing yang berparadigma kemitraan sangat tepat untuk memberdayakan UMKM. Kedua, pengelolaan bisnis berdasarkan moral dan transaksi sesuai dengan prinsip syariah. Keungggulan ini cocok dengan karakteristik orang-orang yang bergerak di bidang UMKM, yang menginginkan tetap berpegang teguh pada etika bisnis dan moralitas. Ketiga, mengelola dan memiliki akses kepada dana-dana di voluntary sector. Hal ini sangat sesuai dengan komitmen Bank Syariah yang peduli dengan pengembangan UMKM sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan melalui instrumen Ekonomi Islam (Zakat, Infak, Shadaqah, Wakaf).

Secara aplikatif, konsep layanan di atas dapat dilaksanakan oleh Bank Syariah melalui program–program strategis sebagai berikut: Pertama, bank syariah memberi prioritas yang utama untuk melayani pembiayaan UMKM. Pembiayaan segmen UMKM ini dapat dieksekusi sendiri langsung oleh kantor-kantor cabang bank syariah atau melakukan channeling atau joint pembiayaan dengan BPRS dan BMT melalui linkage program. Namun sesuai hasil temuan World Bank, pendekatan yang paling tepat untuk UMKM adalah dengan Lembaga Keuangan Mikro sehingga di sini linkage program bank syariah dengan LKMS harus dioptimalkan untuk menjangkau UMKM.

Linkage Program Bank Syariah dengan BMT. Program kerjasama ini merupakan langkah yang paling utama karena kondisi UMKM (skala kecil, agunan terbatas, tidak berbadan hukum, letak jauh, dan administrasi lemah) sangat sulit dijangkau oleh Bank Syariah (biaya tinggi, risiko tinggi, persyaratan legal, sulit menjangkau, dan kesulitan menilai usaha). Keberadaan LKMS seperti BMT sangat diperlukan sebagai mediasi antara sektor UMKM dengan pihak Bank Syariah. Hal ini dikarenakan karakteristik BMT sangat cocok dengan kebutuhan UMKM, yaitu menyediakan layanan tabungan, pembiayaan, pembayaran, deposito; fokus melayani UMKM; menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel; serta berada di tengah-tengah masyarakat kecil atau pedesaan. BMT sebagai kepanjangan tangan Bank Syariah dapat menyalurkan pembiayaan yang telah diamanahkan kepadanya sehingga Bank Syariah sendiri tidak perlu takut menanggung resiko yang sangat besar.

Program kedua, yaitu pilot project pemberdayaan UMKM sekaligus pengembangan skema atau model investasi syariah untuk UMKM. Dengan proyek percontohan ini, akan muncul sebuah teladan yang baik dan membuktikan bahwa skema pembiayaan syariah sangat menguntungkan dan berkeadilan. Bank Syariah juga dapat terjun langsung menangani pembiayaan mudharabah dan musyarakah dengan sistem tanggung renteng. Sebagai langkah awal dari pilot project, Bank Syariah dapat bekerjasama dengan BMT untuk mencanangkan agenda “satu UMKM, satu produk unggulan”. Hal ini dapat meningkatkan daya saing UMKM dan mendorong mereka untuk terus berinovasi. Proyek ini dilakukan dengan melakukan pendampingan dan edukasi, terutama pada aspek manajemen dan paradigma skema syariah dengan sistem bagi hasil.

Selanjutnya, yang Ketiga, yaitu Program Perbankan Syariah Peduli Umat dan Pengembangan Cetak Biru Voluntary Sector Syariah. Melalui kemampuannya mengakses dan mengelola dana-dana sosial, Bank Syariah sudah seharusnya membuat tahapan-tahapan dan langkah strategis untuk mengoptimalkan potensi dana sosial serta lebih mampu memproduktifkannya. Untuk menghimpun dana, misalnya, Bank Syariah dapat mewacanakan isu filantrofi sosial terhadap nasabahnya atau mungkin malah mengimplementasikan CSR (Corporate Social Responsibility). Melalui produk pengembangan qardhul hasan, Bank Syariah dapat mengurangi kesulitan yang dialami UMKM yang mengalami musibah atau terkena bencana alam. Hibah, hadiah, atau bantuan cuma-cuma berupa alat atau insfratruktur usaha dapat dilakukan sebagai perwujudan kepedulian Bank Syariah kepada umat.

Keempat, meningkatkan capacity building UMKM dengan memberikan technical assistance berupa pendampingan manajemen, standarisasi SOP, penggunaan sistem IT, dan pemasaran produk. Usaha peningkatan ini dapat melibatkan departemen terkait yaitu koperasi dan UMKM, perindustrian dan perdagangan, serta BUMN seperti PNM atau bahkan LSM yang bergerak di bidangnya masing-masing.

Penutup
Program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan UMKM yang menjadi salah satu misi bank syariah saat ini tidak akan dengan sendirinya menjadikan masyarakat sejahtera, selama belum ada usaha serentak untuk menghilangkan hambatan yang menjadi sumber persoalan dalam pengembangan usaha kecil dan mikro. Hambatan-hambatan harus dihilangkan dalam pelaksanakan efisiensi, peningkatan kualitas output, pengurangan tingkat pengangguran, peningkatan pendapatan penduduk pedesaan, dan memperkecil kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Untuk itu, Pemerintah harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang tidak merugikan pihak-pihak pelaku usaha mikro dan kecil dalam berusaha. Regulasi yang tidak adil akan menyebabkan berkurangnya output, meningkatnya ketergantungan pada impor, berkurangnya daya saing ekspor, dan menekan penghasilan masyarakat lapisan bawah baik di pedesaan maupun di perkotaan, sehingga perkembangan usaha kecil dan mikro serta kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut sulit terwujud.

Hal klasik yang selalu dipersoalkan mengapa pelaku usaha mikro dan kecil tidak dapat berkembang adalah tidak tersedianya sumber dana (keuangan) sebagai modal guna menjalankan usahanya. Sebenarnya dana saja tidak cukup untuk mengembangkan sebuah usaha. Apabila kita lihat pada periode-periode pemerintahan sebelumnya, berapa banyak program bantuan dana (keuangan) berupa pinjaman yang dikucurkan pemerintah untuk mengembangkan berbagai usaha yang tidak membawa hasil tetapi malah membuat usaha yang telah berjalan menjadi gulung tikar karena tidak mampu bersaing dalam mengembangkan usaha sehingga tidak dapat mengembalikan pinjaman. Penyebab utama dari kegagalan program-program tersebut, adalah tidak berjalan suatu kemitraan yang sejajar antara stakeholders yang terlibat dalam program tersebut, di samping alasan-alasan lainnya.

Untuk itu, Bank Syariah harus dapat mengambil pelajaran dari program-program yang pernah dibuat pada masa lalu. Program-program yang pernah berhasil, dapat diambil manfaatnya oleh Bank syariah dengan mereduksi kelemahan-kelemahan yang menyebabkan berakhirnya programnya tersebut. Semua stakeholders pembangunan perlu menyadari, bahwa saat ini sedang berkembang sebuah sistem ekonomi berbasiskan nilai-nilai Syariah Islam sebagai alternatif dari sistem yang berjalan saat ini. Sistem ekonomi yang berlaku saat ini dirasakan tidak dapat memecahkan masalah-masalah distribusi kesejahteraan yang tidak seimbang dan melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian, dalam membuat program pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, perlu pula dikaji konsep-konsep Ekonomi Syariah sebagai solusi alternatif dari sistem ekonomi yang berlaku selama ini.

Namun demikian, yang terpenting dari segala program di atas adalah adanya kesadaran dari pihak Bank Syariah sendiri untuk menjadi bank yang ramah kepada UMKM. Untuk itu perlu diwujudkan secara konkret, komitmen perbankan syariah dalam pengembangan keuangan mikro, khususnya dengan memastikan alokasi dana yang signifikan dalam business-plan perbankan yang diperuntukkan bagi pengusaha mikro. Sehingga, dapat benar-benar disalurkan melalui lembaga keuangan mikro syariah yang memiliki integritas dan kapabilitas teruji.

Selengkapnya....