Tampilkan postingan dengan label Bank Syariah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bank Syariah. Tampilkan semua postingan
Pada tahun 2009 pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan syariah di Indonesia berjalan secara organik. Pertumbuhan perbankan syariah hanya sebesar 26,5 persen, dengan angka Rp 59,7 triliun (posisi oktober 2009). Diperkirakan akhir Desember mencapai Rp 62 triliun. Angka pertumbuhan 26,5 ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah perbankan syariah di Indonesia. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan perbankan konvensional yang hanya tumbuh 12,5 persen angka 26,5 masih relatif tinggi. Tetapi market share perbankan syariah terhadap bank konvensional masih 2,4 persen.

Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh tantangan dalam sistem keuangan, baik global maupun domestik. Krisis finansial yang bermula tahun 2008 telah mengganggu stabilitas sistem keuangan dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun alhamdulillah, industri perbakan syaroah dapat mempertahankan tingkat pertumbuhannya secara wajar, yang ditunjukkan dengan perrtumbuhan pembiyaan dan dana pihak ketiga. Hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas dan capaian operasional perbankan syariah secara umum berada dalam kondisi yang baik, kecuali Non Performing Financing (NPL) yang perlu mendapat perhatian, 5.5 %. (okt 2009).

Dari sisi kelembagaan, pada tahun 2009 telah hadir bank umum syariah baru, yaitu Bank Panin Syariah. Ditambah dua Unit Usaha Syariah, yaitu OCBC NISP dan Bank Sinar Mas Syariah. Dengan demikian, Bank Umum Syariah menjadi enam bank, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank BRI Syariah, Bank Bukopin Syariah dan Bank Panin Syariah. Selain itu, tumbuh pula 7 BPR Syariah baru. (Data BI oktober 2009) Dari sisi institusional ini penyebaran jaringan kantor perbankan syariah pun mengalami pertumbuhan pesat. Pada tahun 2009, outlet pelayanan mengalami penambahan sebanyak 148 kantor. Dengan demikian, kini bank syariah telah memiliki sekitar 3012 jaringan, dengan rincian 6 kantor Pusat Bank Umum Syariah, 25 kantor UUS (Unit Usaha Syariah), 1101 Kantor Cabang, 1742 office channeling (layanan bank syariah di bank konvensional) dan 138 BPRS (Data BI oktober 2009). Ini belum termasuk jaringan kantor POS yang menjadi channeling tabungan syar-e Bank Muamalat Indoensia.

Penghimpunan dan Penyaluran dana
Pada tahun 2009, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.45,2 triliun, hanya tumbuh 18,16 persen. Angkah ini lebih rendah dibanding perrumbuhan tahun 2008 yang lalu, 42.9 persen. Hal ini dikarenakan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional Sementara itu pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan syariah 26,5 % (yoy), yaitu 46,5 Triliun. FDR (Financing to Deposit Rasio sebesar 97.5 persen. Selama tahun 2009, ROA perbankan syariah mencapai 1,2 % dan ROE mencapai 30,

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri perbankan syariah masih tumbuh secara normal Dengan kinerja pertumbuhan industri yang tetap fantantis tersebut boleh membuat para pegiat tersenyum, namun harus diingat bank-bank syariah harus ditetap dikawal, dan didesak untuk senantiasa istiqamah dalam penerapan manajemen resiko, syariah compliance dan menerapkan Good Syariah Governance. GCG Syariah yang baru diatur oleh Bank Indonesia, hendaknya benar-benar bisa diterapkan. Dewan Pengawas Syariah tidak perlu takut dengan Peraturan Bank Indonesia tersebut.

Para pengawas Syariah harus bekerja secara optimal, serta berperan aktif dan produktif, tidak boleh sungkan untuk menegur setiap penyimpangan syariah dari manajemen bank . Jika bank syariah dinilai menyimpang, akan berakibat pada resiko reputasi yang pada giliranya akan mengakibatkan risiko likuiditas.

Outlook 2010 dan Skenario Pertumbuhan
Pada tahun 2010, bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh sejalan dengan makin pulihnya krisis keuangan global. Proyeksi untuk tahun 2010 diyakini masih sejalan dengan yang telah diformulakan dalam Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah 2008. Dalam rancangan ini, Bank Indonesia telah menetapkan visi 2010 pengembangan pasar perbankan syariah di Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN. Pada tahun 2010, implementasi Grand Strategy Public Education perbankan syariah akan dilaksanakan secara optimal .oleh Bank Indonesia dan komponen asisiai ekonomi syariah, seperti IAEI, MES, FOSSEI, ASBISINDO, PKES dan lain-lain. Karena itu bank syariah akan mengalami tetap tumbuh secara signiikan.

Skenario Pertumbuhan
Bank Indonesia telah menproyeksikan pertumbuhan perbankan syariah nasional pada tahun 2010 menjadi 3 skenario pertumbuhan, yaitu skenerio pesimis, moderat dan optimis. Namun skenerio ini perlu dianalisis secara realistis dan faktual, sehingga ditemukan angka yang paling mendekati realita.

Pertama, Skenario Proyeksi Pesimis
Menurut skrenerio ini, pertumbuhan berlangsung secara organic yang diproyeksikan sebesar 26% dengan total asset 72 triliun. Proyeksi ini didasarkan pada beberapa indikator, seperti recovery ekonomi domestik dan global. Pemulihan makroekonomi ini, diasumsikan akan mendorong pertumbuhan perbankan syariah. Indikator lainnya adalah semakin massifnya keberhasilan edukasi publik dan promosi perbankan yang dilakukan baik oleh Bank Indoensia sendiri, bank-bank syariah dan organisasi assosiasi seperti IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) yang memiliki jaringan luas di seluruh Perguruan Tinggi Indonesia dan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Pada tahun lalu, Bank Indonesia membuat skenerio pesimis di mana targetnya hanya 57 triliun. Alhamdulillah ternyata, target ini terlampaui, karena asset bank syariah pada akhir 2009 lebih dari 60 triliun. Untuk tahun 2010 diproyeksikan, skenerio pesimis sebesar 72 triliun, juga akan terlampaui.

Kedua, Skenario Proyeksi Moderat
Menurut skenerio ini pertumbuhan bank syariah diproyeksikan mencapai 43 %, dengan total asset Rp 97 triliun. Proyeksi moderat ini didasarkan pada beberapa indikator, yaitu indikator pada skenerio pertama di atas, juga indikator masuknya investor baru melalui pendirian bank Islam baru, atau membeli dan menyuntikkan modal di bank-bank Islam yang ada. Pada tahun 2010 akan berdiri Bank Umum Syariah yang baru seperti BCA Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, BNI Syariah dan Bank Victoria Syariah. Kelahiran bank umum ini dipastikan akan mendongkrak pertumbuhan bank syariah secara signifikan.

Dengan semakin besarnya asset perbankan syariah, maka biaya program promosi bank syariah makin besar, sehingga pengetahuan masyarakat makin meningkat yang pada gilirannya mereka akan memilih bank syariah dalam transaksi perbankan.

UU No 42/2009 yang menghapus Pajak Pertambahan Nilai Murabahah akan mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui peran investor asing.

Upgrade HR persyaratan baik kuantitas dan kualitas. Semakin banyak Perguruan Tinggi yang melahirkan sarjana Ekonomi Islam yang berkualitas, dan semakin banyak dosen ekonomi Islam yang menyebarkan ekonomi Islam.

Selain itu, sejumlah ulama muda yang memahami ekonomi Islam melalui pendidikan S2 dan S3 akan semakin banyak. Mereka adalah alumni Universitas Timur Tengah yang kuliah S2 dan S3 ekonomi Islam, Mereka akan menjadi daĆ¢€™i-dai yang cerdas tentang ilmu ekonomi dan perbankan Islam. Kehadiran mereka diperkirakan akan menggeser pandangan sempit masyarakat dan tokoh agama yang sering menyamakan bank syariah dengan bank konvensional. Ghirah dan semangat juang mereka demikan tinggi, karena mereka telah memahami secara ilmiah dan empiris betapa riba, gharar dan maysir menjadi punca kehancuran ekonomi dunia dan Indoneaia.

Skenario Proyeksi Optimis
Menurut skenerio ketiga, pertumbuhan bank syariah diproyeksikan mencapai 81 %, dengan total asset Rp 124 triliun. Indikatornya ialah, semua skenario asumsi moderat di atas. Indikator berikutnya ialah insentif kebijakan dan peraturan moneter dan fiskal oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. terkait dengan industri perbankan Islam. Indikator lainnya penegmbangan perbankan dan keuangan Islam menjadi program pemerintah, seperti pengelolaan dana haji oleh bank-bank Islam, konversi bank milik Negara menjadi syariah dan penempatan dana daerah di bank milik daerah yang sudah memiliki UUS syariah, Proyeksi ketiga ini sangat sulit tercapai dan masih jauh dari harapan, karena kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi bank BUMN menjadi syariah masih jauh api dari panggang. Demikian pula penempatan seluruh dana haji di bank syariah. Kesulitan ini, karena pemerintah belum serius dalam mengupayakan terciptanya ekonomi berkeadilan ini, disebabkan alasan duniawi sempit dan ketidakfahaman mereka tentang economics yang sophisticated ini.

Dari tiga skenerio yang dikemukakan di atas, skenerio yang paling mungkin dicapai adalah skenario pesimis, yaitu sebesar Rp 72 triliun. Namun saya memprediksikan, asset bank syariah akan melampaui angka tersebut, dikarenakan kehadiran empat bank umum syariah baru. Kehadiran bank umum syariah baru ini dipredikasikan akan mendongkrak pertumbuhan asset sebesar Rp 8 sampai 9 triliun. Seandainya bank syariah tumbuh sebesar 20 persen saja (secara organic), tidak termasuk asset 4 bank umum syariah yang alan hadir, diperkiraan asset bank syariah sudah mencapai 72 triliun. Berdasarkan perkiraan itu, maka saya memperkirakan asset bank syariah hanya akan tumbuh menjadi 81 triliun di akhir Desember 2010 mendatang. Dengan demikian, skenerio moderat yang dibuat Bank Indonesia, yaitu 97 triliun masih jauh, apalagi skenerio optimis, tentu makin jauh panggang dari api.

Bank Syariah Mandiri juga membuat tiga skenerio perrtumbuhan bank syariah, Pertama skenerio affordable yaitu sebesar 85 triliun, Kedua skenerio moderat, 89 triliun dan ketiga skenerio aggressif sebesar 95 triliun. Dari tiga skenerio tersebut yang paling mungkin terjangkau (affordable) ialah skenerio pertama, di mana asset bank syariah bertengger di angka Rp 85 triliun, Namun menurut saya angka inipun tidak akan tercapai, karena persentase pertumbuhan bank syariah diperkirakan 30-35 % saja. Sedangkan, jika asset bank syariah 85 triliun, itu berarti pertumbuhan bank syariah lebih dari 40 %.

Pilar-Pilar Pengembangan Prioritas
Dalam tulisan Agustianto (2007), disebutkan setidaknya ada 10 pilar pengembangan perbankan syariah. Sepuluh pilar ini tidak diuraikan di sini, karena keterbatasan ruang. Maka, yang disajikan hanya 5 prioritas / utama :

Peningkatan Kualitas SDM. Untuk menjadi bank syariah yang terkemuka di ASEAN, SDM bank syariah harus memiliki kompetensi yang unggul dan profesional. Pelayanan yang memuaskan masih masih menjadi unsur utama dalam penmgembangan perbankan syariah. Untuk itu bank syariah seharusnya mempriotaskan pembinaan SDM ini dan mengalokasikan dana yang sesuai.

Penguatan Modal; Pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun 2010 khususnya Dana Pihak Ketiga (DPK) harus diikuti peningkatan modal sehingga CAR-nya dalam posisi yang kuat yang pada gilirannya membuat perbankan syariah memiliki daya dukung keuangan capital yang memadai. Modal yang kuat akan memungkinkan bank syariah meluaskan sarana jaringan bank syariah. Keluasan jaringan kantor akan secara signifikan mendongkrak p[ertumbuhan.

Peningkatan Efisiensi; Mempertahankan dan meningkatkan kinerja dan daya saing perbankan syariah melalui peningkatan efisiensi yang ditempuh dengan jalan financial deepening dengan memperkaya variasi poduk dan jasa dan tetap menjaga kepatuhan pada prinsip syariah, termasuk instrumen pasar uang syariah.

Peningkatan Kualitas Sistem Pengawasan; Tantangan yang dihadapi oleh perbankan syariah dalam aspek operasional (kehati-hatian) membutuhkan peningkatan baik kualitas pengawasan maupun infrastruktur pengawasan. Di sini dibutuhkan pengawas yang memiliki integritas tinggi, agar sistem pengawasan ala Bank Century tidak terjadi pada pengawasan bank syariah.

Peningkatan Pengawasan Perbankan Syariah; Untuk mengoptimalkan pengawasan syariah dalam rangka memastikan tegaknya syariah compliance dalam operasi perbankan, maka PBI baru No 11/2009 tentang Good Corporate Governance (GCG) Perbankan Syariah, harus benar-benar diterapkan secara konsisten. Bank Indonesia harus tegas dan berani. Seorang tokoh yang mengawasi 4 atau 3 bank syariah besar, harus ditinjau kembali. Personil Dewan Pengawas Syariah jangan hanya beredar di kalangan Anggota DSN saja. Harus melibatkan pakar-pakar syariah yang memahami perbankan dan aspek fiqh secara mendalam, meskipun mereka di luar lingkaran DSN. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mendukung pertumbuhan industri perbankan syariah yang kompetitif dan efisiensi dengan tetap menjalankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan pada prinsip syariah.

Aspek teknologi sengaja tidak dimasukkan dalam pilar ini, karena sebagian bank syariah telah sama kualitas teknologinya dengan bank-bank konvensional, seperti bank BNI Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, Bank CIMB Niaga, Bank Muamalat dan Bank Meda syariah dan lain-lain.

Oleh : Agustianto
Penulis : Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjaa UI
Selengkapnya....
Kategori: 0 komentar |
Bicara industri perbankan syariah, mau tidak mau kita harus membahas tentang size dan market share. Sebab, tanpa size dan pangsa pasar yang signifikan, sulit bagi perbankan syariah untuk memainkan peran yang menentukan dalam perekonomian nasional.

Nyatanya, hingga saat ini--lebih 17 tahun sejak bank syariah pertama di Indonesia didirikan--size bank-bank syariah yang ada masih relatif kecil dan market share perbankan syariah masih berkutat di angka sekitar dua persen. Bank Indonesia telah mematok market share lima persen, namun tampaknya hal itu masih sangat sulit direalisasikan.

Meskipun secara grafik pertumbuhan industri perbankan syariah tumbuh mengesankan, namun harus diingat bahwa hal itu merupakan sifat alamiah sebuah industri yang baru berkembang. Walaupun persentase pertumbuhannya relatif tinggi, angka riilnya (aset, omzet, maupun laba) relatif rendah. Dan jangan lupa, industri perbankan konvensional tidak diam di tempat. Mereka pun terus tumbuh, sehingga diperlukan lompatan bagi industri perbankan syariah untuk meningkatkan market share tadi, misalnya menjadi lima persen.

Dari mana kita harus memulai? Bicara mengenai upaya mendongkrak market share perbankan syariah harus diawali dengan menelisik kembali posisi apa yang diberikan oleh para stakeholders kepada bank syariah: sebagai alternatif atau solusi. Kalau sebagai alternatif, pendekatannya adalah market driven (business driven). Sedangkan kalau bank syariah akan dijadikan sebagai solusi, pendekatannya adalah mission driven.

Yang masih terjadi sampai saat ini adalah bank syariah lebih dipandang sebagai alternatif, dan karena itu pendekatan yang dipilih adalah market driven, artinya diserahkan kepada mekanisme pasar. Industri perbankan syariah yang masih bayi (infant industry) disuruh bertempur dengan perbankan konvensional yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Selama pendekatan ini yang kita pakai, maka kita tidak akan bisa mencapai pangsa pasar bank syariah yang signifikan.

Secara sederhana kita dapat menjelaskan melalui Pendekatan Ekuitas: Total Ekuitas lima Bank Umum Syariah (BUS)--yang ada saat ini--hanya sekitar Rp 2,5 triliun. Bandingkan dengan total ekuitas perbankan konvensional yang mencapai di atas Rp 200 triliun. Jadi, dari segi ekuitas, perbankan syariah itu hanya 2,5/200. Jumlah tersebut adalah sekitar satu persen--tidak persis satu persen, dibandingkan total ekuitas perbankan konvensional.

Jadi, kemungkinan pertumbuhan bank syariah itu adalah satu per 100 dibandingkan pertumbuhan perbankan nasional. Bagaimana mungkin kita mau mengejar market share lima persen? Tiga persen saja ajaib, apalagi lima persen!

Sementara kita tahu bahwa pertumbuhan bank ditentukan oleh CAR (rasio kecukupan modal)-nya. Taruhlah kita berandai tahun depan Ekuitas BUS (Bank Umum Syariah) adalah Rp 5 triliun, maka dengan CAR minimal delapan persen, maksimal aset yang dapat dicapai BUS adalah Rp 60 triliun. Sedangkan bank konvensional, dengan modal di atas Rp 200 triliun (dengan Ekuitas/CAR yang memungkinkan untuk terus bertambah akibat laba yang ditahan), maka maksimal aset adalah Rp 2.400 triliun. Demikian pula, akumulasi laba bank konvensional lebih Rp 30 triliun per tahun, sedangkan akumulasi laba bank syariah kurang dari Rp 1 triliun per tahun.

Seperti disebutkan di atas, ketika bank-bank syariah tumbuh, bank-bank konvensional juga tumbuh. Ini yang sering kita lupakan. Kita hanya menyebut pembilang (BUS) dan melupakan penyebut (perbankan nasional yang didominasi bank-bank konvensional). Padahal, bank konvensional itu tumbuh jauh lebih besar daripada bank syariah. Ibarat berkendara, industri perbankan syariah harus melewati jalanan biasa yang sering diwarnai kemacetan, sedangkan industri perbankan konvensional melewati jalan tol yang bebas hambatan.

Jadi, kalau pendekatannya adalah market driven, mustahil bank syariah bisa mengejar target pangsa pasar lima persen! Karena itu, pendekatan yang ditempuh pemerintah sebaiknya--dan memang wajar saja-- adalah mission driven. Setidaknya, ada empat alasan mengapa pemerintah harus menjadikan bank syariah sebagai solusi. Pertama, aspek religius atau emosional. Ketiga agama langit--Islam, Yahudi, dan Nasrani--mengharamkan riba. Indonesia adalah negara religius dengan dominasi Muslim.

Kedua, aspek rasional. Plato, Cicero, Thomas Jefferson, dan ahli-ahli lain mengatakan bahwa interest (bunga) adalah alat eksploitasi. Ketiga, aspek nasionalisme. Kalau kita perhatikan, Islamic finance (system keuangan syariah) sesuai dengan cita-cita para founding fathers (pendiri Republik Indonesia) akan ekonomi berdasarkan kekeluargaan.

Kalau bank syariah sebagai solusi, tantangan kita adalah menjadikan ekonomi syariah sebagai mainstream. Harusnya kita bicara ini proyek negara, yang didukung penuh oleh pemerintah, sejak dari presiden hingga para pembantunya.

Keempat, aspek actual. Dari kenyataan praktis, orang-orang kecewa terhadap jahat dan rentannya ekonomi konvensional. Karena itu, tak heran kalau pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Benedictus; Menteri Keuangan Prancis, Christian Lagard; maupun Negara-negara BRIC (Brazil, Rusia, Cina dan India) mengecam sistem ekonomi yang ada sekarang dan mem-propose sistem ekonomi baru yang lebih adil (dan yang kita inginkan tentunya adalah system ekonomi Islam). Saya sering mengatakan dengan nada guyon, ''Kalau Sarkozy (presiden Prancis) mendorong penggunaan sistem ekonomi Islam atau syariah, masak Zarkasih (orang, tokoh atau pejabat Indonesia dan Muslim pula) tidak tergerak hatinya untuk menjadikan sistem ekonomi Islam sebagai solusi? Masak sih Zarkasih kalah sama Sarkozy?''

Lalu, bagaimana pendekatan atau langkah yang harus diambil? Ada dua kemungkinan yang bisa ditempuh, yakni, pertama: New Asset Approach, yaitu menciptakan aset-aset baru melalui perluasan/pendirian UUS (Unit Usaha Syariah) dan BUS yang baru. Tentu saja, kita ketahui bahwa pendirian BUS baru membutuhkan modal, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit. Kemungkinan kedua adalah: Asset Conversion Approach. Yaitu, by design melalukan konversi aset-aset bank konvensional secara bertahap ataupun secara sekaligus (total konversi sebuah bank konvensional menjadi syariah).

Untuk itu, jalan yang lebih cepat dan realistis adalah meminta bank-bank BUMN untuk menyiapkan sebuah ACP (Asset Conversion Plan) untuk rentang waktu lima tahun ke depan. Di mana, stakeholders perbankan syariah --Menko Perekonomian, Gubernur BI, Menneg BUMN, dan dirut bank-bank BUMN maupun DSN-MUI--perlu duduk bersama untuk merumuskan formula yang terbaik, terutama menyangkut pola maupun kerangka waktunya sekaligus insentifnya.

Pertanyaannya, untuk eksekusi ACP tadi, mana yang lebih mudah: a) melalui BUS yang sudah ada (misalnya Bank Mandiri ke Bank Syariah Mandiri); b) mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS) baru (misalnya Bank Mandiri mendirikan UUS baru dengan nama Unit Syariah Mandiri, lalu aset Bank Mandiri dikonversi ke Unit Syariah Mandiri secara bertahap, misalnya tiap tahun sebesar 20 persen, sehingga dalam waktu lima tahun seluruh aset tersebut sudah disyariahkan); atau c) menggunakan UUS yang sudah ada (misalnya Bank BTN menggunakan Bank BTN Syariah)?

Menurut hemat saya, lebih mudah menggunakan UUS (baru ataupun yang sudah ada). Sebab, UUS itu masih satu entitas dengan bank induknya. Ibaratnya, uang keluar kantong kiri masuk kantong kanan. Aset disyariahkan, tapi tidak terjadi penggembosan. Sedangkan kalau menggunakan BUS yang sudah ada, aset bank induknya berpindah. Terjadi penggembosan aset di bank konvensional tadi, yang tentunya berisiko banyaknya kendala psikologis.

Bila ACP dilakukan, akan membesarkan size bank syariah, baik secara individu (yakni, hadirnya bank-bank syariah yang mempunyai modal dan aset besar, sehingga menjadi pemain besar) maupun industri perbankan syariah secara nasional. Hal itu akan membuat gairah dan ghirah para pelaku industri perbankan syariah makin terpacu untuk maju dan memberikan kiprah terbaik kepada umat. Dan yang paling penting, Stabilisasi Sistem Keuangan Indonesia.

Dr. A. Riawan Amin, Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo)
Republika Online

Selengkapnya....
Kategori: 1 komentar |
Pada akhir tahun 2008 lalu, banyak pemerhati ekonomi syariah kecewa dengan kegagalan bank syariah mencapai target 5 persen pangsa aset perbankan nasional. Nampaknya kekecewaan itu akan berlanjut tahun ini karena hingga akhir bulan Agustus lalu aset perbankan syariah masih 2,4 persen dari aset perbankan nasional.

Walau pangsa aset gagal mencapai target, namun dari sisi pertumbuhan aset bank syariah sebenarnya menunjukkan prestasi sangat baik tahun lalu, yakni mencapai 50 persen. Kenaikan aset ini jauh lebih tinggi daripada tahun 2007 yang hanya tumbuh 23,6 persen. Rata-rata pertumbuhan aset bank syariah yang sekitar 30 persen juga masih dua kali lipat dari pertumbuhan aset bank konvensional.

Namun angka menggembirakan ini tidak cukup memuaskan jika tujuannya adalah agar bank syariah bisa sejajar dengan bank konvensional sesegera mungkin. Jika rata-rata pertumbuhan aset bank syariah bertahan sekitar 30 persen, dan bank konvensional sekitar 15 persen, maka butuh waktu 32 tahun agar aset bank syariah bisa menyamai bank konvensional.

Dapatkah kita bersabar selama itu sekedar untuk menyamai bank konvensional, belum mendominasinya? Satu-satunya cara memangkas waktu adalah dengan mempercepat pertumbuhan bank syariah. Hambatan-hambatan perlu disingkirkan dan perlu langkah-langkah terobosan agar bank syariah bisa melaju lebih cepat

Hambatan
Ada beberapa dugaan sebab kelambanan pertumbuhan bank syariah ini. Pertama, masyarakat yang sadar syariah sebenarnya berjumlah banyak dan sebagian besar masih belum tergabung dalam bank syariah manapun. Akan tetapi, mereka kecewa pada bank syariah yang tidak memenuhi harapan atau standar kesyariahan mereka. Kelompok masyarakat ini tidak bersedia pindah dari bank konvensional ke bank syariah karena menganggap tidak ada bedanya menabung dan meminjam di bank konvensional atau bank syariah.

Hambatan juga terjadi dari kebijakan industri keuangan. Hingga awal 2008 lalu, bank syariah tidak memiliki instrumen investasi yang likuid sebagaimana bank konvensional. Terpaksa bank syariah menaruh seluruh DPK di pembiayaan yang berisiko dan tidak likuid. Risiko pembiayaan dan risiko likuiditas yang tinggi membuat bank syariah menerapkan marjin laba lebih tinggi daripada bank konvensional. Hal ini menyebabkan bank syariah sulit bersaing dengan bank konvensional baik pada sisi pendanaan maupun pembiayaan.

Aspek kekeliruan kebijakan lainnya adalah penerapan aturan kehati-hatian (prudential) pada bank syariah yang sama dengan yang diterapkan pada perbankan konvensional. Padahal, bank syariah pada prinsipnya harus mau menanggung risiko pembiayaan yang tinggi karena mengandalkan akad bagi hasil. Dipaksa oleh aturan kehati-hatian yang ketat, bank syariah pada praktiknya lebih banyak menggunakan akad jual-beli yang mirip dengan kredit konvensional. Kemiripan ini menimbulkan masalah kedua di atas, di mana masyarakat yang peduli syariah menjadi tidak peduli terhadap bank syariah.

Kemungkinan terakhir, bank syariah sulit tumbuh cepat karena mayoritas bank syariah saat ini merupakan cabang atau anak perusahaan bank konvensional. Tentunya bank konvensional sebagai induk hanya akan merestui perkembangan anaknya selama tidak mengganggu dirinya. Begitu bank konvensional merasa terusik oleh bank syariah anaknya, ia akan menghambat perkembangan si anak tanpa harus mematikannya.

Mengatasi hambatan
Kelambatan pertumbuhan bank syariah bisa disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari berbagai kemungkinan sebab di atas. Bank syariah dapat kembali tumbuh cepat jika hambatan-hambatan tersebut diatasi.

Dari sisi bank syariah sendiri, mereka harus merombak desain produk dan cara kerja agar masyarakat dapat dengan jelas melihat perbedaan mereka dengan bank konvensional. Perbedaan yang paling jelas dapat dilihat adalah jika bank syariah menggunakan akad bagi hasil dalam pembiayaan produktif mereka.

Akad jual beli hanya digunakan untuk pembiayaan konsumtif, namun praktiknya harus diperbaiki sehingga bank syariah berlaku sebagaimana penjual, bukan kreditor. Sebagai penjual, bank syariah harus bisa menyebutkan barang apa yang ia jual dan melakukan sendiri pembelian barang dagangnya, bukan diwakilkan lagi ke pembeli sehingga kelihatan menyiasati akad untuk mensyariahkan praktik kredit konvensional.

Kondisi likuiditas bank syariah kini sudah membaik karena sejak pertengahan 2008 tersedia SBI Syariah dan Sukuk Negara sebagai instrumen investasi yang likuid. Di sisi lain, persoalan aturan kehati-hatian nampaknya belum akan diperbaiki dalam waktu dekat. Karenanya, bank syariah masih terdorong untuk lebih mengembangkan pembiayaan jual beli yang berisiko lebih kecil daripada pembiayaan bagi hasil.

Sejak 2008, beberapa unit usaha syariah sudah dilepaskan (spin off) menjadi bank umum syariah. Pelepasan ini sudah merupakan langkah maju karena bank syariah tersebut akan lebih bebas mengelola dan bersaing dengan bank induknya. Namun sebagaimana telah disampaikan, kepemilikan bank induk ke bank syariah baru hasil pelepasan ini berpotensi tetap menyisakan kendali dari bank induk, sehingga perkembangan bank syariah baru ini tidak bisa maksimal. Walau demikian kita masih bisa berharap banyak karena sudah ada contoh sebelumnya di mana bank umum syariah hasil pelepasan bisa berkembang pesat, jauh melebihi cabang-cabang syariah bank konvensional.

Terobosan
Setelah hambatan hilang, bank syariah bisa tumbuh lebih cepat, namun mungkin belum cukup cepat. Perlu langkah-langkah terobosan yang bisa semakin mempercepat pertumbuhan bank syariah. Pertama, pemain baru perlu didatangkan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kedua, bank konvensional bisa dikonversi seutuhnya menjadi bank syariah.

Bank syariah baru yang tidak lahir dari induk konvensional berpotensi untuk tumbuh lebih cepat dan lebih progresif dalam menerapkan prinsip-prinsip syariah pada produk perbankan. Pemerintah perlu melonggarkan syarat pendirian bank syariah dan membuka peluang lebar-lebar bagi investor domestik maupun asing yang berniat mendirikan bank syariah.

Pemerintah juga bisa intervensi langsung dengan mendirikan BUMN bank syariah. Langkah ini tidak tabu diambil pemerintah, walau nampak bertentangan dengan arus privatisasi. Perkembangan industri keuangan di negara berkembang seringkali harus diinisiasi oleh pemerintah. Faktanya, sebagian besar bank konvensional besar saat ini pada awalnya merupakan BUMN yang kemudian diprivatisasi. Bank syariah bentukan pemerintah inipun suatu saat bisa diprivatisasi, jika perlu.

Skala intervensi yang lebih besar dapat dilakukan pemerintah dengan mengharuskan bank konvensional untuk beralih sepenuhnya menjadi bank syariah. Intervensi besar ini bukan sebuah langkah gegabah, namun dilandasi untuk menjaga kepentingan publik.

Perbankan konvensional mengandung risiko besar terkena krisis. Negara dan masyarakat mengeluarkan biaya besar untuk mencegah terjadinya krisis ini, yakni dengan melakukan penjaminan simpanan. Biaya jauh lebih besar akan ditanggung masyarakat jika krisis benar-benar terjadi. Pengalaman krisis perbankan tahun 1997 telah menelan biaya ratusan triliun.

Mengkonversi sepenuhnya perbankan konvensional menjadi perbankan syariah meniadakan kebutuhan biaya tersebut. Penyesuaian otomatis sisi kewajiban terhadap sisi aset membuat bank syariah terhindar dari risiko gagal bayar (default) pada penabung.

Sudah menjadi sifat industri keuangan bahwa bentuk dan perkembangannya sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Bentuk industri keuangan saat ini adalah buah dari kebijakan di masa lalu yang dipertahankan hingga sekarang. Maka bukanlah sebuah keanehan jika pemerintah menata ulang kebijakan dan bentuk industri keuangan demi kepentingan masyarakat.

Muhamad Said Fathurrohman (Departemen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga)
majalah SHARING edisi November 2009

Selengkapnya....
Kategori: 1 komentar |
Merosotnya nilai tukar dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia, tak pelak menyita perhatian pembuat kebijakan ekonomi, pelaku bisnis dan pengamat ekonomi. Kendati melemahnya dolar AS ini telah berlangsung hampir dua tahun, terutama terhadap mata uang kuat dunia lainnya, namun signifikansi melemahnya USD terhadap rupiah baru terasa pekan-pekan terakhir ini. Bahkan nilai tukar rupiah berhasil mencapai angka sekitar Rp 8.200 per dolar AS. Apa implikasi penguatan rupiah terhadap usaha bank syariah, yang tidak menjadikan uang sebagai komoditas dan bunga sebagai instrumen transaksinya?

Tren suku bunga
Bila tekanan terhadap dolar AS terus berlangsung, tentu Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter semakin yakin perlunya suku bunga diturunkan. Para pemegang dolar AS akan merasa semakin tidak aman -- walaupun belum tentu akan terjadi panic selling karena khawatir akan mengalami kerugian bila tidak segera melepas dolar AS.

Bila pada saat dolar AS mengalami penguatan ditenggarai terjadi capital outflow maka beralasan bila muncul prediksi bahwa dengan kemerosotan nilai dolar AS, maka hal yang sama akan terjadi, namun dengan arah yang berlawanan (capital inflow). Apalagi real return di negara-negara lain tidak menarik lagi. Sebagai contoh di Jepang malah sudah negatif. Demikian pula di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, suku bunga nominal berkisar pada angka satu persen.

Jika pada saat dolar AS menguat bunga dikerek tinggi-tinggi untuk menahan laju capital out flow, kini tiba momentum bagi suku bunga untuk bergerak turun. Rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 bulan hasil lelang tanggal 4 Juni 2003 telah mencapai angka 10,27 persen (sebelumnya 10,44 persen). Sementara itu, rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 3 bulan hasil lelang pada tanggal yang sama adalah sebesar 10,18 persen (sebelumnya 10,88 persen).

Implikasi
Suku bunga SBI yang cenderung turun akan mempengaruhi pilihan kalangan perbankan dalam menyalurkan dananya. Selama ini, karena bunga SBI cukup tinggi banyak bank yang menempatkan dananya dalam SBI. Mereka menggantungkan pada spread antara bunga yang diberikan kepada deposan (cost of fund) dengan bunga SBI. Hal ini logis mengingat penempatan dana dalam SBI praktis tanpa risiko.

Namun, tidak demikian halnya dengan bank syariah. Beternak uang melalui SBI tidak mungkin dilakukan oleh bank syariah, karena instrumen bunga yang digunakannya. Instrumen bagi bank syariah yang kurang lebih sepadan dengan SBI ialah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Namun, bagi hasil (sebagai pengganti bunga dalam SBI) yang diperoleh oleh bank syariah di SWBI kecil, berkisar antara lima-enam persen. Karenanya, bank syariah harus dapat menyalurkan dana yang tersedia dalam pembiayaan yang dapat menghasilkan return jauh lebih tinggi.

Tuntutan ini menjadikan bank syariah tetap ekspansif (walaupun bukan berarti mengendorkan tingkat prudensialnya) dalam menyalurkan pembiayaan. Hal ini terlihat dari financing to deposit ratio (FDR) yang mencapai kisaran 110 persen -- jauh di atas rata-rata LDR perbankan nasional yang bertengger di posisi 40 persen.

Kini tantangan bank syariah untuk memasarkan pembiayaannya tidaklah ringan. Dengan menurunnya suku bunga SBI, banyak bank mulai melakukan ekspansi kredit terutama diawali dengan kredit konsumtif. Mereka tidak bisa lagi mengharapkan rezeki dari SBI. Apabila selama ini akses kredit agak sulit, maka kini akan lebih mudah. Harga kreditpun mulai bersaing secara sengit. Semua berpikir sama, dari pada menanam dana dalam SBI yang bunganya hanya berkisar 10 persen lebih baik melempar kredit dengan tingkat bunga rata-rata tujuh hingga 12 persen di atas bunga SBI.

Solusi
Persaingan dalam pengucuran kredit yang didasarkan pada pricing memang dilematis bagi bank syariah. Manajemen likuiditas bank syariah relatif lebih rumit dibanding bank konvensional. Margin/bagi hasil yang tinggi, yang diperoleh dari penyaluran dana secara langsung akan memberikan hasil yang tinggi kepada nasabah dana, begitu pula sebaliknya.
Kondisi bank syariah memang serba sulit, mengingat sebagian besar portofolio penyaluran dana bank syariah berbentuk piutang murabahah (jual beli). Sekali harga ditetapkan, maka kewajiban pembeli (debitor- dalam bank konvensional) kepada bank syariah akan tetap. Akibatnya, bila nanti suku bunga di pasar naik, bank syariah tidak dapat menaikan kewajiban nasabah. Hasil bank syariah akan tetap sehingga bagi hasil bagi nasabah dana juga akan tetap.

Bila suku bunga kembali merangkak naik, maka dapat diduga bunga yang diberikan bank konvensional kepada deposannya juga akan naik. Nasabah rasional di bank syariah akan memindahkan dananya ke bank konvensional yang menawarkan bunga lebih atraktif. Kondisi ini akan mengancam likuiditas bank syariah. Perlu beberapa langkah strategis untuk menyikapi hal ini.

Pertama, bank syariah perlu segera mengembangkan instrumen-instrumen penyaluran dana yang return-nya relatif dapat disesuaikan dengan kondisi pasar. Ijarah (jasa sewa/leasing) merupakan instrumen yang cukup potensial untuk dikembangkan. Dengan skim sewa, maka besar nilai sewa akan dapat dikaji kembali sesuai kesepakatan dengan nasabah.

Kedua, penyaluran dana dengan basis pembiayaan (partnership), hasilnya ditetapkan dengan menggunakan formula bagi hasil juga relatif lebih fleksibel dibanding murabahah (jual beli). Sebagai ilustrasi, bila bunga kredit di pasar perbankan naik, maka para pengusaha (debitor) akan membebankan kenaikan bunga kredit tersebut kepada konsumen dengan cara menaikkan harga barang/jasa yang dijualnya. Akibatnya, harga barang/jasa akan cenderung naik.

Kenaikan harga barang/jasa di pasar tentu akan direspons oleh nasabah pembiayaan bank syariah dengan menaikkan harga jual barangnya. Pendapatan nasabah pembiayaan yang meningkat, sebagai akibat kenaikan harga barang/jasa pada gilirannya akan meningkatkan return bank syariah, karena kinerja usaha nasabah akan berpengaruh secara langsung terhadap kinerja bank syariah melalui mekanisme bagi hasil. Pada akhirnya bagi hasil yang diterima nasabah danapun akan meningkat.

Ketiga, perlu dikembangkan instrumen investasi mudharabah muqayyadah (restricted invesment) sehingga kemungkinan terjadinya mismatch dalam memilih portfolio pembiayaan dapat diminimalkan. Dengan pola ini maka kaidah "pembiayaan jangka panjang harus dibiayai dengan dana jangka panjang" akan dapat terwujud. Risiko likuiditas bank syariahpun dapat dikelola dengan lebih baik.

Keempat, sebagaimana banyak dilakukan bank konvensional, bank syariah dapat berinvestasi dalam bentuk obligasi, namun terbatas pada obligasi syariah. Obligasi syariah yang diterbitkan oleh korporasi hampir dapat dipastikan mampu memberikan yield lebih tinggi dibanding bila ditempatkan dalam bentuk deposito di bank syariah lain, lebih-lebih bila "hanya" ditempatkan dalam SWBI.

Kelima, untuk jangka panjang perlu dipikirkan kemungkinan pembentukan departemen/unit yang khusus menangani penyaluran/penempatan dana sesuai karakteristiknya masing-masing, mengingat beragamnya produk penyaluran dana bank syariah. Bank syariah boleh menyalurkan dana dalam jenis usaha yang selama ini merupakan core business lembaga keuangan bukan bank seperti leasing (ijarah), rahn (gadai) dan berbagai instrumen penyaluran dana lainnya. Akibatnya, mungkin staf bank syariah belum mempunyai keahlian di bisnis baru ini.

Mengacu pada karakteristik/anatomi bisnisnya, pembentukan departemen/unit tersebut dapat didasarkan menurut kategori sifat penyaluran dana seperti pembiayaan dengan basis bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), piutang (murabahah, salam, istishna dan ijarah), invesment banking dan sebagainya.

Sehingga ke depan mungkin akan terdapat departemen pembiayaan bagi hasil, departemen jual beli, departemen sewa guna (leasing), departemen gadai dan sebagainya. Dengan demikian bank syariah akan mempunyai penguasaan yang dalam atas berbagai macam instrumen penyaluran dana. Hal ini akan selaras dengan kategorisasi pembiayaan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah.

Keenam, karena respons bank syariah terhadap fluktuasi suku bunga kredit di pasar harus mempertimbangkan banking habit nasabah dananya, maka diperlukan segmentasi yang lebih tajam dengan mempelajari karakteristik penghuni masing-masing segmen untuk dapat memutuskan segmen mana yang akan dijadikan target pasar.

Bagi bank syariah, pasar dapat dibagi menjadi tiga segmen yaitu: masyarakat yang secara absolut menolak bunga (tidak memanfaatkan jasa bank konvensional), masyarakat yang memanfaatkan baik jasa bank syariah maupun bank konvensional, dan masyarakat yang hanya menggunakan jasa bank konvensional.

Agaknya pasar yang sudah terdefinisikan (kelompok satu dan dua) lebih mudah untuk dijadikan sebagai target pasar (dengan tetap mengupayakan untuk dapat memberikan keuntungan fungsional yang tidak kalah dari bank konvensional). Toh jumlah mereka tidaklah sedikit, sementara jumlah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah belumlah banyak.

Edi Dwi Efendi (Praktisi Perbankan Syariah)
Republika Online

Selengkapnya....
Kategori: 1 komentar |
Di Asia Tenggara, Malaysia dikenal sebagai pioner utama pembangunan sistem perbankan Islam. Hal tersebut tidak lepas dari upaya yang telah dilakukannya sejak akhir dekade 70-an. Saat itu, Bank Negara Malaysia (BNM) selaku bank sentral, meminta kepada satu-satunya institusi keuangan Islam saat itu, yaitu tabung haji, untuk melakukan studi banding ke negara-negara Timur Tengah untuk merintis pendirian bank Islam di negeri tersebut

Setelah memperoleh cukup pengetahuan dan disertai dengan dukungan penuh dari PM saat itu, Mahathir Mohamad, berdirilah Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB). Bank tersebut didirikan 1 Juli 1983 dengan total aset RM 369,8 juta (senilai Rp 1,035 triliun dengan kurs RM 1 = Rp 2.800).

Untuk melihat performance BIMB, pemerintah Malaysia memberi kesempatan pada bank tersebut untuk beroperasi tanpa pesaing. Pemerintah memberikan proteksi penuh pada bank tersebut selama kurang lebih 10 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, BIMB menunjukkan kinerja pertumbuhan aset yang cukup baik. Ini ditunjukkan oleh total aset BIMB pada tahun 1993 yang mencapai sebesar RM 2,009 miliar. Aset BIMB telah meningkat kurang lebih 700 persen.

Pada tahun 1993, otoritas moneter Malaysia memberikan kesempatan pada bank-bank konvensional untuk membuka produk-produk keuangan Islam, dengan skim yang disebut sebagai ''Skim Perbankan Tanpa Faedah'' (SPTF). Kebijakan ini berdampak pada pertumbuhan aset yang sangat cepat. Pada tahun 1994, total aset perbankan Islam telah mencapai angka RM 4,885 miliar. Selama kurun waktu tersebut, produk-produk keuangan Islam telah banyak berkembang. Untuk deposito terdapat lima jenis produk, pembiayaan ritel 18 jenis produk, dan jasa kartu (card service) dua jenis produk. Sedangkan untuk pembiayaan perdagangan terdapat enam jenis produk, pasar uang lima jenis produk, dan jasa perbankan delapan jenis produk. Kesemua jenis produk tersebut menggunakan konsep-konsep berbasis syariah, seperti mudharabah, murabahah, wadiah, dan lain-lain. Dengan jumlah total 44 jenis produk, tidaklah mengherankan apabila pertumbuhan aset perbankan Islam selama satu dekade terakhir terbilang sangat cepat.

Problematika fikih
Meski secara grafik angka pertumbuhan aset perbankan syariah sangat tinggi, dari sudut pandang fikih terdapat beberapa konsep yang sebetulnya tidak diterima oleh mayoritas mazhab fikih yang ada. Salah satunya yang sangat terkenal adalah bai' al-inah.

Secara sederhana, bai' al-inah didefinisikan sebagai suatu bentuk perdagangan di mana financier menjual asetnya kepada pembeli dengan suatu harga tertentu yang akan dibayar oleh pembeli di masa datang. Setelah itu, pembeli langsung menjual kembali aset yang sama kepada financier dengan harga tunai yang lebih rendah dari harga di masa datang yang disepakati sebelumnya.

Sebagai contoh, Hasan membutuhkan uang kas sebanyak Rp 20 juta untuk membiayai kegiatan operasional usahanya. Hasan kemudian meminta bantuan kepada pihak bank syariah. Kemudian bank syariah tersebut akan menjual aset seharga Rp 25 juta pada Hasan dengan pembayaran yang ditangguhkan (installment basis). Setelah itu, Hasan segera membuat perjanjian dengan bank untuk menjual kembali aset tersebut pada pihak bank secara tunai seharga Rp 20 juta (sesuai dengan kebutuhan kegiatan operasional). Dalam hal ini kedua-duanya sama-sama diuntungkan; Hasan memperoleh pinjaman sebanyak Rp 20 juta dan bank mendapatkan keuntungan sebesar Rp5 juta (Rp 25 juta-Rp 20 juta).

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa dua pihak yang terlibat transaksi tersebut tidak menggunakan kontrak penjualan (sales contract) sebagaimana mestinya. Dengan tidak adanya niat untuk menggunakan aset, maka bisa diartikan bahwa mereka melanggar salah satu prinsip kontrak dalam Islam, yaitu tujuan kontrak (maudu'ul aqdi). Lalu bagaimana mazhab-mazhab melihat konsep bai' al-inah ini? Mari kita telaah pendapat-pendapat mereka

Mayoritas menyatakan bahwa bai' al-inah dilarang. Sebab bai' al-inah adalah suatu zari'ah (cara) atau hilah (legal excuse) untuk melegitimasi riba. Opini mayoritas ini berdasarkan pada dialog antara Aisyah dan budak Zaid bin al-Arqam yang menunjukkan larangan bai' al-inah tersebut.

Hanafi berpendapat bahwa bai' al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga, yang berperan sebagai penghubung antara penjual (kreditur) dan pembeli (debitur). Maliki dan Hambali di pihak lain, menolak secara tegas, karena bai' al-inah adalah suatu cara untuk memanipulasi riba. Secara sederhana, ketiga mazhab tersebut lebih mementingkan apa yang menjadi niat customer dan bank, daripada apa yang terungkap secara eksplisit dalam kontrak.

Namun demikian, Syafi'i dan Zahiri berpendapat bai' al-inah diperbolehkan. Mereka berpendapat bahwa kontrak dinilai dari apa yang terungkap, sedangkan niat (intention) diserahkan pada Allah. Dalam hal ini, yang terungkap adalah bahwa mereka menggunakan kontrak penjualan (al-bay). Hal tersebut diperbolehkan karena Alquran sendiri telah secara gamblang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Dalam konteks ini, menarik untuk kita amati pendapat Ibnu Taimiyah tentang penjualan (sales). Ibnu Taimiyah membagi penjualan menjadi tiga kelompok. Pertama, seseorang membeli barang dengan tujuan untuk dikonsumsi. Tentu saja dalam hal ini, Islam menghalalkan dan membolehkannya. Kedua, seseorang membeli barang dalam rangka untuk dijual kembali. Dalam konteks ini pun Islam tidak melarangnya. Ketiga, tujuan untuk membeli barang adalah bukan kelompok pertama maupun kedua, melainkan untuk mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit, maka ia pun harus membeli barang dengan harga yang lebih tinggi (installment basis) kepada pihak financier dan segera setelah itu barang tersebut dijual kembali kepada pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas. Inilah yang disebut sebagai bai-al 'inah yang secara tegas dilarang oleh mayoritas ulama.

Meskipun mayoritas ahli fikih mengharamkannya, Shariah Advisory Council (Dewan Pengawas Syariah) Malaysia tetap berpendapat bahwa bai' al-inah boleh dipergunakan sebagai konsep bagi produk-produk keuangan Islam di Malaysia, dengan merujuk pada pendapat Syafi'i dan Zahiri. Akibatnya, banyak orang kemudian menganggap bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dan bank konvensional. Kemudian, kalangan perbankan Islam di Malaysia pun mengalami kesulitan untuk menarik dana-dana investasi dari Timur Tengah, karena para investor Timteng berpendapat bahwa bai' al-inah tetap dilarang, apapun alasannya. Berkaca pada pengalaman di Malaysia tersebut, kita seharusnya lebih bangga sekaligus percaya diri akan perbankan syariah di Indonesia. Alhamdulilah, Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional MUI masih memegang teguh prinsip bahwa bai'al-inah tidak dapat dilaksanakan dalam praktik perbankan. Yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana kalangan perbankan syariah nasional mampu meningkatkan kinerja, sekaligus mendatangkan investasi, terutama dari Timur Tengah.

Penulis berkeyakinan bahwa direction sistem perbankan syariah kita sudah tepat. Meskipun target aset perbankan syariah adalah 5 persen dari total aset perbankan nasional pada tahun 2011, jauh di bawah Malaysia yang saat ini saja sudah mencapai 8 persen, namun secara syariah perbankan kita lebih baik, karena lebih mendekati konsep Islam yang sebenarnya. Tinggal bagaimana kita sekarang mampu memperbaiki segala kekurangan yang ada, sehingga masyarakat menjadi semakin yakin dan percaya bahwa perbankan syariah adalah solusi dan pilihan terbaik bagi sistem perbankan nasional. Wallahu'alam bi ash-shawab.

Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB & Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia
Raditya Sukmana, Dosen FE UNAIR & Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia
Republika Online

Selengkapnya....
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia pasca UU No.10/ 1998 menunjukan peningkatan yang sangat pesat. Dimulai dengan jumlah aset sebesar Rp460 milliar pada 1993, Rp600 milliar pada 1998 dan menjadi Rp12 trilliun pada September 2004. Pengembangan perbankan syariah sendiri dilakukan sesuai dengan tahapan cetak biru pembangunan perbankan syariah yang ditetapkan untuk 2002-2011 dalam tiga tahapan(2002-2004, 2004-2008, dan 2008-2011).

Di balik perkembangan yang menggembirakan tersebut, ada kekhawatir-an bahwa perkembangan yang pesat perbankan syariah tersebut merupakan rangkaian dari eforia reformasi dan dapat memicu adanya immature booming yang semu tanpa dilandasi kerangka kelembagaan dan pengaturan yang memadai dari aspek best practices.

Dalam rangka membangun industri perbankan syariah masa depan yang tangguh maka pengembangan perbankan syariah juga harus mengikuti langkah-langkah pembangunan kelembagaan dan kegiatan usaha sesuai dengan pilar-pilar pengembangan yang ditetapkan dalam Arsistektur Perbankan Indonesia (API).

Arah perbankan-API
Dalam API telah ditetapkan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh untuk periode waktu 10 tahun mulai 2002. Arah kebijakan perbankan nasional di masa datang dilandasi oleh visi mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna mencapai kestabilan sistem keuangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam API telah ditetapkan 6 sasaran utama yaitu pertama; menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Kedua; menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu kepada standar internasional. Ketiga; menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. Keempat; menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional. Kelima; mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. Keenam; mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan nasabah.

Sejalan dengan itu dalam cetak biru pengembangan perbankan syariah ditetapkan bahwa untuk periode 2004-2008 dilakukan masih berpegang kepada 4 pilar mendasar yaitu: pertama, kepatuhan kepada prinsip syariah. Kedua, pembentukan regulasi kehati-hatian. Ketiga, efisiensi dan daya saing, dan keempat, mendukung stabilitas sistem keuangan dan kemanfaatan terhadap ekonomi.

Dengan memadukan antara arahan cetak biru dan API maka untuk mewujudkan sistem perbankan syariah yang tangguh memerlukan dukungan beberapa faktor fundamental sebagai berikut.

Penguatan Struktur
Dalam struktur perbankan yang menjadi fokus perhatian adalah penyediaan modal yang memadai. Perbankan syariah harus memiliki struktur permodalan yang kuat. Modal yang kuat akan membentuk manajemen yang profesional dan memperkuat daya tahan bank terhadap risiko usaha.

Argumentasi yang muncul terkait dengan risiko usaha adalah mempertanyakan kegiatan usaha bank syariah sebagai pengelola dana yang berbasis bagi hasil. Asumsi yang timbul adalah bank syariah akan meminimalkan risiko yang muncul terhadap bank karena risiko sudah dibagi antara investor atau pemilik dana (shahibul mal) dengan bank sebagai pengelola dana (mudharib).

Kita harus berhati-hati dengan argumentasi ini karena dalam praktik bank syariah masih terdapat risiko lain yang terkait dengan risiko pengelolaan manajemen yang menyimpang. Penyimpangan dapat terjadi, selain karena adanya kelemahan di bidang pengawasan dan good governance, juga karena adanya penempatan manajemen yang kurang profesional dan lemah.

Dengan demikian, struktur permodalan yang kuat tetap diperlukan sebagai bantalan risiko dan juga untuk meningkatkan kemampuan bank dalam memperoleh manajemen yang memadai. Peraturan Bank Indonesia telah menetapkan modal minimum bagi perbankan syariah, namun demikian tentunya diharapkan perbankan dapat menyedia-kan modal yang lebih dari minimum yang ditetapkan.

Efektivitas Pengaturan
Pengaturan yang diterbitkan dan disempurnakan BI pada dasarnya mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, pasar keuangan, dan dalam rangka pengendalian moneter. Dalam konteks perbankan konvensional kualitas pengaturan yang baik terkait erat dengan penerapan 25 Core Principles for Effective Banking Supervision. Ke-25 core principles tersebut diterbitkan oleh Bank for International Settlements (BIS) yang bermarkas di Basle Swiss. Dalam banyak hal, 25 core principles juga bermanfaat untuk diterapkan pada perbankan syariah karena memiliki prinsip-prinsip pengaturan yang universal seperti pertanggungjawaban dan independensi badan pengawas, perlindungan hukum bagi pengawas, dan menetapkan persyaratan pemberian atau penolakan izin pendirian bank. Di samping menetapkan modal minimum yang merefleksikan risiko dan menyerap kerugian, penerapan manajemen risiko, evaluasi terhadap kebijakan dan prosedur pemberian kredit, pengaturan pencegahan kegiatan pencucian uang, dan standar-standar pengaturan kehati-hatian lainnya.

Dengan demikian, semangat pengaturan 25 Core Principles for Effective Banking Supervision sebenarnya dapat diadopsi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Islam. Terkait dengan pengaturan perbankan Syariah secara internasional dewasa ini Islamic Financial Services Board (IFSB) telah menyiapkan standar pengaturan untuk capital adequacy ratio (CAR), manajemen risiko, dan good governance. Standar pengaturan IFSB akan diberlakukan pada akhir 2005 dan untuk pengaturan lainnya yang belum di akomodir oleh IFSB menjadi kewajiban BI untuk mempersiapkan regulasinya.

Selain memperhatikan berbagai literatur dan referensi yang terkait dengan kegiatan usaha bank syariah di AAOIFI atau IIFM maka 25 Core Principles for Effective Banking Supervision juga merupakan masukan penting bagi pengaturan industri perbankan syariah seperti yang terkait dengan methods of ongoing banking supervision, information requirements, formal powers of supervisors, dan cross border banking.

Pengaturan bank syariah tidak hanya mencakup tran-saksi-transaksi standar dan umum seperti penerimaan investasi tabungan atau deposito mudharabah, melainkan juga menghadapi kebutuhan nasabah yang lebih kompleks yang terkait dengan jasa electronic banking dan transaksi perdagangan internasional.

Fungsi Pengawasan
Pengawasan bank syariah memiliki keunikan dengan adanya aspek syariah yang juga harus diawasi selain kegiatan operasional. Pengawasan keuangan dan operasional dilakukan oleh BI sebagai otoritas perbankan, sedangkan pengawasan aspek kepatuhan syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan Pasal 6 huruf m UU No.10/1998.
Oleh : Dhani Gunawan Idat, Bank Indonesia

Selengkapnya....
Kategori: 2 komentar |
Peningkatan kompetensi pemeriksa jangka pendek dapat dilakukan melalui program magang pada otoritas pengawasan yang lebih maju seperti di Bank Negara Malaysia atau Bahrain Monetary Agency. Sedangkan peningkatan ketrampilan jangka menengah dan panjang dilakukan melalui tahapan sertifikasi yang dilakukan secara disiplin dan terjadwal.

Peningkatan mutu dan kompetensi juga berlaku bagi DPS sebagai pengawas aspek syariah. Pada tahap awal calon anggota DPS yang akan menjadi DPS pada industri perbankan syariah harus melalui fit and proper test yang disesuaikan dengan tugas pengawasan syariah.

Industri perbankan syariah merupakan suatu industri yang terus berkembang sehingga memperhatikan keterbatasan tenaga dan waktu para auditor maka pendekatan pengawasan yang efektif dilakukan adalah melalui pengawasan berbasis risiko (risk based supervision) yang didukung teknologi pengawasan yang memadai.

Penggunaan teknologi informasi dalam pengawasan terus dikembangkan Bank Indonesia melalui sistem laporan bulanan bank umum (LBUS) dan BPR syariah (LBPRS). Dari semua aspek pendukung pengawasan tersebut di atas maka yang terpenting adalah penegakan hukum dan perlindungan terhadap pengawas bank dalam rangka mewujudkan kegiatan pengawasan bank syariah yang independen, integritas, dan kompeten.

Good governance
Pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance) dan manajemen kualitas menjadi persoalan yang penting sejak terjadinya krisis perbankan Indonesia pada periode 1997-2000. Pentingnya implementasi good governance dikemukakan a.l. oleh Michael Camdesus IMF dan Asian Development Bank.

Dalam bank syariah, pelaksanaan good corporate governance (GCG) yang pada dasarnya bertumpukan kepada lima pilar utama yaitu transparency, responsibility, accountability, fairness dan independency merupakan hal yang seharusnya dilakukan sehingga merupakan budaya kerja yang islami, sebagaimana dikemukakan oleh Umer Chapra bahwa stakeholders utama keuangan Islam adalah islami itu sendiri.

Dengan begitu, bank syariah dituntut untuk melakukan kinerja yang baik sebagai cerminan dari kegiatan yang Islami. Dalam Islami, terdapat beberapa konsep yang relevan dengan GCG yaitu idarah (pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), akhlaq (moral), ijabiyah (berfikir positif), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ’adalah (keadilan), tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), raqabah (pengawasan), qira’ah dan ishlah (organisasi yang terus belajar), amanah (pemenuhan kepercayaan), shiddiq (jujur), fathanah (pengembangan diri untuk cerdas), tabligh( keterbukaan), ihsan (profesional) dan wasathan (kewajaran).

Semua nilai syariah tersebut ditransformasikan kedalam tatanan GCG untuk bank syariah sehingga akan terwujud GCG Syariah dengan landasan nilai Islami. Implementasi GCG terutama terhadap komisaris, direksi, DPS, dan aparat pengawasan baik internal maupun eksternal seperti akuntan publik maupun otoritas pengawas. Penerapan standar manajemen internasional atau International Organization for Standardization (ISO 9000/14000) dalam industri perbankan harus mulai dirintis.

Infrastruktur
Dengan menerapkan ISO 9000 atau 14000 maka dari aspek manajemen intern telah dilakukan upaya untuk mengelola atau menyediakan pelayanan jasa keuangan dengan standar yang diakui secara internasional. Penerapan ISO 9000 atau 14000 ini melengkapi penerapan good governance dan standar regulasi global yang diterbitkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB) dan Bank for International Settlement (BIS) sehingga akan membantu percepatan mewujudkan bank syariah dengan kualitas pelayanan yang bermutu.

Adanya pertumbuhan bank syariah yang dikelola manajemen yang profesional tidak menjadi jaminan akan mendukung industri perbankan yang sehat tanpa didukung oleh lembaga pendukung seperti biro kredit dan lembaga pemeringkat. Biro kredit merupakan lembaga penyedia data nasabah penerima fasilitas dana dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Dengan adanya lembaga data nasabah tersebut membantu bank syariah dalam pengambilan keputusan pemberian pembiayaan sehingga meminimalkan risiko penyaluran dana rangkap kepada suatu nasabah tertentu.

Adanya lembaga penyedia data nasabah ini sejalan dengan nilai syariah tabligh (keterbukaan atau transparansi) bahwa bank syariah hadir adalah mengelola dana masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, keterbukaan merupakan hak bagi masyarakat sebagai pemilik dana dan pengguna dana.

Keterbukaan ini berarti bank syariah harus menyampaikan informasi yang transparan sepanjang tidak bertentangan dengan UU dan informasi tersebut adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan lembaga pemeringkat sangat bermanfaat dalam akses informasi obligasi atau surat berharga komersial yang diterbitkan oleh suatu bank atau lembaga keuangan tertentu yang akan dibeli oleh bank syariah sebagai bagian dari portofolio penempatan dana. Lembaga pemeringkat harus benar-benar memiliki penilaian yang objektif dan dipertanggungjawabkan.

Perlindungan nasabah
Memperhatikan bank syariah sebagai amanah masyarakat maka Bank syariah kedepan harus secara riil menyediakan sarana yang memadai dalam upaya menjamin perlindungan terhadap hak-hak nasabah.

Perlindungan nasabah sebagai perwujudan bank syariah yang ijabiyah (berfikir positif), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab) dan ’adalah (keadilan). Untuk itu, bank syariah harus membentuk unit pelayanan pengaduan nasabah yang bersedia untuk menerima pengadian nasabah dan menyelesaikan pengaduan atau klaim nasabah secara jujur, adil dan profesional.

Apabila nasabah tidak puas dengan penyelesaian bank syariah, nasabah tersebut dapat mengadukan kepada lembaga mediasi yang dibentuk BI sebagai otoritas pengawasan. Lembaga mediasi ini merupakan tim terpadu yang akan menyelesaikan sengketa antara bank dan nasabah dengan melandaskan kepada prinsip objektifitas (shiddiq) dan keadilan (’adalah). Apabila nasabah belum juga merasa puas dengan keputusan mediasi maka dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase atau pengadilan yang tentunya akan menghabiskan biaya yang lebih besar oleh nasabah maupun bank.

Dalam penyelasain pengaduan atau klaim nasabah ini pada dasarnya para pihak harus mengutamakan adanya itikad baik dan membawa kepada kebaikan (tabligh) sebagai perilaku islami yang menjadi landasan bank syariah maupun nasabah. Dengan adanya itikad baik, penyelesaian klaim nasabah akan cepat dilakukan dan bank syariah pun tidak akan terbebani dengan pengurusan klaim nasabah yang banyak memakan waktu dan biaya.

Untuk mengurangi arus klaim atau pengaduan nasabah kepada bank, penting sekali adanya upaya pendidikan masyarakat dalam bentuk pemberian informasi dan transparansi yang sebaik-baiknya kepada nasabah terkait dengan produk atau jasa yang ditawarkan bank.

Untuk itu, disamping transparansi produk dan jasa bank, BI juga mendukung dengan menerbitkan standar akad dan standar minimum untuk melaksanakan transparansi produk dan jada bank syariah. Transparansi minimum ini pada intinya mengharuskan bank memberikan informasi secara lengkap dan memadai tentang hak dan kewajiban kedua pihak termasuk informasi mengenai risiko pada produk atau jasa bank syariah yang digunakan. Artinya, tidak ada marketing trick atau hidden information yang dapat merugikan nasabah di kemudian hari.

Oleh : Dhani Gunawan Idat, Peneliti Bank Indonesia
Selengkapnya....
Kategori: 1 komentar |
Industri perbankan di Indonesia segera memasuki fase baru dalam perkembangannya. Tiga belas tahun merupakan sebuah angka yang cukup matang untuk melihat dan melakukan evaluasi terhadap keberadaan dan kinerja perbankan syariah selama ini. Menurut data Bank Indonesia 2005, saat ini telah berdiri tiga bank umum syariah (BUS), 17 unit usaha syariah (UUS), dan 90 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Perbankan syariah telah menjadi potensi tersendiri di masa datang, walau asetnya masih sekitar 1,35 persen dari total aset perbankan nasional. Tentu banyak hal yang harus dibenahi untuk menguatkan posisi perbankan syariah secara nasional, seiring pelaksanaan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Peran dan fungsi perbankan syariah harus lebih strategis terhadap perbankan nasional dan perekonomian bangsa ke depan.

Catatan
Ada beberapa catatan kritis untuk pembenahan, sehingga perbankan syariah bisa tumbuh dan berkembang dalam menghadapi persaingan global. Dan yang pasti, terpenuhinya kepatuhan terhadap pelaksanaan nilai-nilai syariah dalam sistem operasional perbankan syariah.

Pertama, belum adanya Undang-undang (UU) Perbankan Syariah (legal formal), adalah titik kritis pertama yang paling mendesak dalam perkembangan industri perbankan syariah sejak berdirinya Bank Muammalat pada 1992. Melihat perkembangan dan antusiasme masyarakat dalam menyambut keberadaan perbankan syariah, rasanya payung hukum itu sudah sangat mendesak.

Banyak hal yang bisa terselesaikan dengan adanya UU Perbankan Syariah. Misalnya perizinan, pengembangan, posisi perbankan syariah dalam arsitektur perbankan nasional, persoalan merger, fungsi pengawasan, dan lain-lain. Sekarang, tanggung jawab ini ada ditangan para anggota legislatif (terutama fraksi berbasis Islam) untuk memperjuangkan agar RUU Perbankan Syariah segera disahkan.

Kedua, masalah ekuitas pembiayaan (equity financing). Sampai saat ini, persoalan tersebut --dalam hal skim mudharabah dan musyarakah-- masih terus dihadapi oleh perbankan syariah. Besarnya angka skim murabahah (debt financing) di mana data BI terakhir menyebutkan mencapai angka 63,16 persen (posisi Agustus 2005, BI), membuat peran dan fungsi perbankan syariah belum begitu dirasakan masyarakat.

Perbankan syariah perlu mencari terobosan terbaru untuk mengembangkan equity financing, terutama skim mudharabah dan musyarakah, di mana angka BI terakhir menyebutkan berada pada kisaran sekitar 31,86 persen. Di samping itu, penyaluran dana ke sektor riil belum optimal. Hal ini tecermin dari besarnya dana perbankan syariah di BI yang mencapai Rp 1,3 triliun, atau 28 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).

Dengan demikian, ke depan diharapkan peran dan fungsi perbankan syariah menggerakkan sektor riil untuk membangun basis sosial ekonomi masyarakat. Dan sudah seharusnya BI melahirkan sebuah standardisasi dalam bentuk benchmark mengenai indikator-indikator pencapaian yang ideal dari perbankan syariah untuk menuju perbankan syariah yang berbasis equity financing (sektor riil).

Ketiga, masalah duplikasi produk. Munculnya persoalan itu ke permukaan karena paradigma pengembangan perbankan syariah di Indonesia selama ini masih terjebak pakem perbankan konvensional. Selama ini, model yang berkembang dalam perbankan konvensional adalah tidak adanya hubungan (relationship) yang kuat antara debitor dan kreditor. Pola yang terbangun hanya hak dan kewajiban tanpa ada komunikasi intens kedua belah pihak. Tanpa disadari, pola ini juga terjadi dalam setiap transaksi pembiayaan perbankan syariah (synthetic loan).

Perbankan syariah harus mampu mengubah paradigma yang selama ini digunakan perbankan konvensional menjadi pola kemitraan (partnership) yang lebih komunikatif dan memberikan pelayanan yang lebih optimal (full advise). Pemilik modal (rabbul maal) --dalam hal ini pihak bank atau nasabah lainnya-- lebih proaktif mengawasi dan memberikan saran kepada pihak yang menjalankan usaha (mudharib)

Keempat, tidak terpenuhinya kondisi dan persyaratan dari skim murabahah. Besarnya skim pembiayaan murabahah telah memberi kesan perbankan syariah tidak terlalu mengambil risiko dalam menjalankan usahanya. Dalam kaidah fikih, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memberikan pembiayaan dalam bentuk murabahah. Di antaranya objek barang yang akan di jual harus ada pada waktu transaksi, barang yang akan dijual harus sudah dimiliki oleh si penjual, dan objek atau barang yang dijual tersebut harus ada secara fisik pada saat di jual.

Di satu sisi bisa dipahami, sebagai industri yang masih baru berkembang, perbankan syariah tentu cenderung bertahan sebagai pemain yang aman (safety player). Karena revenue atau profit yang akan dihasilkan dari skim pembiayaan murabahah ini lebih pasti, dengan risiko minim. Tapi kenyataanya, sering terjadi di lapangan perbankan syariah hanya mengambil sisi profit oriented saja, tanpa memperhatikan kaidah fikih dari syarat-syarat berlakunya skim murabahah.

Kelima, tidak adanya perbedaan secara ekonomi antara skim murabahah dan bunga pinjaman. Tidak bisa dipungkiri sistem penghitungan antara skim murabahan dengan bunga pinjaman (interest loan) tidak terlalu jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sama.

Secara konvensional penghitungan interest loan merujuk kepada persamaan: D = L (I+rt), di mana D = Debt (hutang), L = Loan (pinjaman), rt = rate of interest period (periode tingkat suku bunga). Sementara itu, skim murabahah menggunakan model penghitungan, Pm = Pc (I+rt), di mana Pm = Price of murabahah (harga dari murabahah), Pc = Price of cost, dan rt = rate of revenue period.

Dilihat dari metode penghitungannya, yang menjadi titik kritis perbedaan keduanya adalah cara pandang terhadap rt. Bagi konvensional, rt didefinisikan sebagai tingkat bunga yang sudah ditetapkan oleh pihak bank diawal, untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga pokok dengan pembayaran cicilan (instalment), dan juga disebabkan karena berlakunya teori time value of money. Sementara bank syariah mendefinisikan rt sebagai fee yang diperoleh oleh pihak bank atas jasa yang sudah diberikan. Tapi kadang pemenuhan akan diakuinya transaksi murabahah dalam ushul fikihnya sering tidak diperhatikan.

Keenam, Arbitrase Muamalah. Belum disahkannya UU Perbankan Syariah akan membuat instrumen-instrumen pendukung perbankan syariah belum bisa dijalankan karena akan terkendala dengan payung hukum. Salah satu yang paling mendesak adalah keberadaan lembaga yang akan memfasilitasi setiap masalah yang timbul dalam setiap sengketa yang ada. Diharapkan nantinya UU perbankan syariah bisa memfasilitasi pembentukan instrumen khusus ini. Karena semakin pesat perkembangan perbankan syariah, akan semakin banyak persoalan dan masalah menyangkut hubungan antarinstitusi dan individu.

Kepatuhan syariah
Walau aset perbankan syariah baru 1,3 persen dari total aset perbankan nasional, tapi trennya menunjukkan peningkatan. Diharapkan di masa depan perbankan syariah mampu memberikan benefit yang besar bagi perkembangan ekonomi nasional, khususnya pelaku-pelaku ekonomi kecil dan menengah (UKM). Semuanya hanya bisa dicapai ketika perbankan syariah menjadikan equity financing (mudharabah dan musyarakah ) sebagai ujung tombaknya.

Industri keuangan Islam, khusunya perbankan syariah, harus mampu memberikan benefit yang besar buat pembangunan sosio-ekonomi masyarakat, sehingga kesan bank syariah yang eksklusif bisa hilang. Dengan melihat persentase jenis usaha yang berkembang saat ini, di mana lebih dari 80 persen berada pada sektor UKM, perbankan syariah berpeluang menjadi pemain utama (leading sector) dalam pembiayaan skim-skim yang berpihak kepada masyarakat UKM.

Selama ini, yang baru diuntungkan adalah pihak yang terlibat langsung: (tripartite structure) yaitu pemilik modal (stakeholder), manajemen (bank), nasabah (client). Ke depan, tentu aspek sosio ekonomi yang harus lebih diperhatikan, sehingga keberadaan perbankan syariah mampu berperan signifikan terhadap perekonomian nasional.

Yang juga menjadi perhatian utama dalam menghadapi tantangan ke depan adalah kepatuhan terhadap syariah. Aspek yang paling membedakan sistem konvensional dan syariah adalah pemenuhan kepatuhan terhadap nilai-nilai syariah (shariah compliance). Aspek inilah yang menjadikan perbankan syariah memiliki kelebihan dari operasional perbankan konvensional, sebab menjamin penerapan nilai-nilai keadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi, dan tentu saja terpenuhinya nilai-nilai syariah yang lebih utuh.

Tantangan inilah yang seharusnya bisa dijawab oleh semua instrumen dalam operasional sebuah perbankan, terutama pihak regulator (BI), kontroler (syariah advisor) yang ada di Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS); dan manajemen operasional perbankan sendiri. Sinergi semua instrumen tersebut akan menghasilkan sebuah sistem yang memberikan nilai terhadap sistim perbankan nasional, bahkan ekonomi nasional di kemudian hari. Dan pada saatnya akan berdampak kepada terwujudnya keadilan ekonomi dan masyarakat yang sejahtera.

Handi Risza Idris, Dosen Syariah Economic Banking Institute (SEBI), Peneliti Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID)
Selengkapnya....
Kategori: 2 komentar |
Booming perbankan syariah selama tahun 2007 bisa dibilang sebagai momentum kebangkitan ekonomi syariah. Dalam sebuah kesempatan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan menyatakan, situasi tersebut sangat baik dijadikan momentum untuk menggerakkan sektor riil yang saat ini belum bergerak lewat perbankan syariah. Rupanya, MUI gerah dengan kondisi perbankan konvensional yang mengendapkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan dengan baik. Realita ini, sebutnya, tidak terjadi di Bank syariah.

Tidak heran, pertumbuhan perbankan syariah sejak diperkenalkan beberapa tahun lalu, melaju begitu cepat. Tentu semua itu tidak lepas dari peran semua pihak yang melakukan sosialisasi untuk mempercepat bergeraknya ekonomi syariah dan sektor riil. Melihat potensi dan realita yang terjadi saat ini, ekonomi syariah dapat tumbuh besar di Indonesia. Selain karena sebagian besar masyarakat negeri ini berpenduduk Muslim, juga sistem perbankan syariah dengan konsep bagi hasilnya, sebenarnya sudah dikenal lama oleh masyarakat Indonesia.

Hanya saja, untuk mengembangkan ekonomi syariah, perlu strategi sosialisasi dan komunikasi yang terprogram, terintegrasi, dan berkelanjutan. Selain itu, untuk menumbuhkan awareness masyarakat terhadap ekonomi syariah, perlu juga dikampanyekan nilai tambah dari sistem ekonomi syariah dibandingkan sistem ekonomi yang ada pada saat ini. Apalagi, produk-produk perbankan syariah kini sudah sangat beragam. Mulai dari asuransi syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, reksadana syariah, pasar modal syariah, perguruan tinggi, jasa umrah dan haji, konsultan manajemen, produk halal, UKM, dan sektor-sektor bisnis lainnya.

Satu hal yang menarik adalah dampak yang timbul dari peningkatan persentase pembiayaan melalui pola mudarabah dan musyarakah. Pertama, akan menggairahkan sektor riil. Investasi akan meningkat, yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru. Akibatnya tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah.

Prospek Cerah
Adalah sebuah kenyataan bahwa perbankan syariah semakin unjuk gigi dan meneguhkan eksistensinya dalam percaturan ekonomi dewasa ini. Bahkan perbankan syariah semakin menunjukkan performance yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator, yaitu antara lain meningkatnya jumlah nasabah yang menitipkan dananya pada bank syariah, bertambahnya jumlah kantor cabang bank syariah yang berdampak pada peningkatan daya serap tenaga kerja yang dibutuhkan. Bahkan, pasca fatwa haramnya hukum bunga bank yang dikeluarkan MUI akhir 2003 lalu, sebuah majalah ekonomi sempat mengungkapkan kalau kalangan perbankan syariah sempat mengalami over likuiditas hingga mencapai 300 miliar rupiah.

Indikator lainnya adalah tingkat bagi hasil bank syariah yang nilainya lebih besar daripada tingkat suku bunga yang berlaku. Tentu saja hal ini menunjukkan performance bank syariah yang lebih baik. Tinggal bagaimana sekarang kalangan perbankan syariah meningkatkan kualitas kinerjanya dengan tetap memperhatikan berbagai kelemahan yang harus segera diperbaiki.

Di samping berbagai kemajuan yang telah diperoleh, kalangan perbankan syariah juga perlu memperhatikan berbagai kelemahan yang timbul. Salah satu kelemahan bank syariah adalah masih terbatasnya pola pembiayaan yang mengarah kepada investasi di sektor riil. Padahal pengembangan sektor riil akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Kita membutuhkan pembukaan lapangan kerja untuk menyerap pengangguran yang mayoritasnya adalah umat Islam. Kita membutuhkan didirikannya industri-industri dan pabrik-pabrik baru yang memungkinkan adanya peningkatan produktivitas barang dan jasa yang dihasilkan. Geliat sektor riil ini harus menjadi perhatian dan concern kita bersama. Kini, sudah saatnya kalangan perbankan syariah memberikan perhatian lebih pada pola pembiayaan selain murabahah, yaitu dengan meningkatkan persentase pembiayaan melalui skema mudarabah dan musyarakah.

Perbankan syariah membutuhkan suatu investment modes yang berdasarkan pada risk-return modes. Untuk menghindari kerugian, maka bank syariah perlu melakukan beberapa langkah, yaitu: diversifikasi portofolio; evaluasi mendalam dan hati-hati terhadap proyek yang akan dibiayai; dan menelusuri dan menganalisis latar belakang klien yang akan mendapatkan pembiayaan.

Meski begitu, hingga saat ini, dengan menggunakan pola, konsep di atas, belum ada satu bank Islam pun yang mengalami pailit dan kebangkrutan. Berbeda dengan bank konvensional yang banyak mengalami kegagalan dan kebangkrutan dalam perjalanannya.

Ada beberapa efek yang timbul dari peningkatan persentase pembiayaan melalui pola mudarabah dan musyarakah. Pertama, akan menggairahkan sektor riil. Investasi akan meningkat, yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru. Akibatnya tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah.

Kemudian yang kedua, ditinjau dari sisi nasabah. Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensional. Nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected rate of return yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, di mana selama ini fakta telah membuktikan, bahwa ternyata rate of return bank syariah lebih tinggi bila dibandingkan dengan interest rate yang berlaku pada bank konvensional. Dengan demikian, akan menjadi faktor pendorong meningkatnya jumlah nasabah. Dampak yang ketiga adalah akan mendorong tumbuhnya pengusaha/investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya berbagai inovasi baru, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing bangsa ini.

Inovasi adalah kata kunci di dalam memenangkan persaingan global. Dampak selanjutnya adalah dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan. Hal ini dikarenakan bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis aset (asset-based). Artinya, bank syariah adalah institusi yang berbasis produksi (production-based). Bank syariah bertransaksi berdasarkan aset riil dan bukan mengandalkan pada kertas kerja semata. Sementara di sisi lain, bank konvensional hanya bertransaksi berdasarkan paper work dan dokumen semata, kemudian membebankan bunga dengan persentase tertentu kepada calon investor.

Pola pembiayaan mudarabah dan musyarakah adalah pola pembiayaan yang berbasis pada produksi. Krisis keuangan pun dapat diminimalisir karena balance sheet perusahaan relatif stabil. Hal ini dikarenakan posisinya sebagai mudarib, di mana perusahaan tidak menanggung kerugian yang ada, apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kondisi luar biasa yang tidak diprediksikan sebelumnya, misalnya diakibatkan oleh bencana alam. Maksudnya, keadaan tersebut terjadi secara tidak sengaja dan diluar batas kemampuan. Dengan demikian, semua beban kerugian akan ditanggung oleh bank syariah sebagai rabbul maal. Selanjutnya, pola mudarabah dan musyarakah dapat menjadi solusi alternatif atas problem overlikuiditas yang saat ini terjadi.

Kondisi overlikuiditas ini harus disiasati dengan menyalurkannya pada sektor usaha riil. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa bank syariah perlu menggarap sektor riil secara lebih serius melalui pembiayaan berdasarkan skema mudarabah dan musyarakah. Dengan demikian, insya Allah, perbankan syariah dapat berperan lebih signifikan di dalam upaya pengembangan perekonomian nasional di masa yang akan datang.

Oleh Sunarti Sain, Wartawan Harian Fajar
Selengkapnya....
Kategori: 5 komentar |
Akhirnya, atas undangan resmi Pemerintah RI, Muhammad Yunus, pendiri dan sekaligus Managing Director Grameen Bank dari Bangladesh sampai juga di Indonesia. Grameen Bank yang tidak bisa dilepaskan dari sosok M Yunus, memang sudah sangat terkenal. Selain sudah cukup lama berdiri (sekitar 24 tahun), bank ini dikenal dengan segala keunikannya yang kadang-kadang 'berbeda' diametral dengan industri perbankan pada umumnya.

Salah satu puncak pencapaian Grameen Bank adalah ketika sang pendiri dan pemimpin tertingginya, M Yunus mendapat anugerah Nobel pada tahun 2006 yang lalu. Ini semua membuat nama Grameen Bank semakin menjulang, baik di Barat maupun di Timur. Makin banyak ia dirujuk, dicontoh, dan diteladani. Setidaknya makin sering sang pendiri dan manajer puncaknya diundang untuk berceramah menceritakan keberhasilannya di berbagai kota di dunia. Uniknya lagi, timbul juga persepsi bahwa Grameen Bank adalah bank yang lebih 'Islami' dibandingkan bank syariah, sebuah ungkapan yang dilontarkan oleh seorang tokoh perbankan syariah nasional belum lama ini ketika beliau berkunjung ke International Islamic University, Malaysia.

Kita tentu sangat menghargai segala pencapaian Grameen Bank tersebut. Namun, semestinya tidak pula boleh silau dengan segala prestasi tersebut. Mengapa? Karena, di balik 'keberhasilan' Grameen Bank, ada beberapa catatan penting yang harus juga diketahui siapapun, sehingga dapat melihat bank tersebut secara lebih berimbang, dan tidak terjebak pada proses pencontohan taqlid (buta), yang kemudian tidak memberikan hasil apapun.

Terus terang, tulisan ini diilhami oleh dan merujuk pada dua makalah berbeda. Pertama, karya Prof MA Mannan, Alternative Credit Models in Bangladesh: A Comparative Analysis Between Grameen Bank and Social Investment Ltd: Myths and Realities. Makalah ini dipresentasikan dalam First International Islamic Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development pada 17-19 April 2007 yang lalu di Brunei Darussalam. Kedua, presentasi Prof Rodney Wilson, yang bertajuk Making Development Assistance Sustainable through Islamic Microfinance dalam IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, 23-25 April 2007 di Kuala Lumpur.

Catatan penting
Di antara hal-hal penting dari sisi lain Grameen Bank yang perlu, namun tak banyak diketahui adalah sebagai berikut. Pertama, Grameen Bank sama sekali tidak beroperasi berdasarkan hukum syariah Islam. Ini berarti bunga yang diakui oleh banyak ulama modern dunia sebagai sesuatu yang diharamkan (riba), tetap menjadi instrumen penting bagi operasi Grameen bank.
Tidak hanya hanya itu, menurut Prof Mannan, tingkat bunga pinjaman di Grameen Bank adalah 54 persen. Sebuah angka yang sesungguhnya luar biasa mencekik. Lebih parah lagi, bila hidden costs (biaya-biaya tersembunyi, seperti biaya keanggotaan, dokumentasi, kewajiban provisi atas jumlah dana yang diblok dan lain sebagainya) diperhitungkan. Maka sesungguhnya tingkat bunganya mencapai 86 persen, sebuah angka yang sangat jauh dibandingkan bank konvensional pada umumnya, dan tentunya sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bank syariah sama sekali.

Kedua, model kredit mikro Grameen Bank merupakan versi baru dari ekonomi feodal dalam konteks hubungan peminjam dan pemberi pinjaman. Ketiga, model operasi kredit mikro Grameen Bank didasari asumsi implisit konflik kelompok dan paradigma neoklasik ortodoks Barat tentang ekonomi bebas nilai, yang cenderung pada upaya pemberdayaan wanita [saja], karena 95 persen nasabahnya adalah wanita. Konsekuensinya, seperti juga ditegaskan Rodney Wilson, banyak keluarga (nasabah) yang berantakan akibat perceraian.

Keempat, Grameen Bank berdiri atas landasan hukum yang berbeda dibandingkan usaha perbankan pada umumnya. Mungkin karena faktor ini, atau faktor lainnya, bank ini terbebas dari proses audit, baik oleh bank sentral, maupun audit eksternal lainnya. Tanpa bermaksud berprasangka negatif, ini tentunya mempunyai konsekuensi signifikan akan laporan pencapaian prestasinya. Setidaknya transparansi laporannya tidak memenuhi syarat standar good corporate governance.

Kelima, boleh jadi terkait ataupun tidak dengan faktor keempat, ternyata Grameen Bank juga mendapat fasilitas bebas pajak sama sekali. Ini merupakan hak istimewa luar biasa yang dimiliki Grameen Bank, di balik kemajuan pesat dan tentunya laba besar yang didapatkan dari tingginya tingkat bunga yang diterapkan kepada para nasabahnya.

Adalah menarik juga mengutip sebagian data dari tulisan Prof Mannan yang disarikan dari sebuah harian Bengali bernama Shomokal, yang terbit pada 19 Februari 2007. Harian ini menceritakan kondisi sebuah desa bernama Hillary Palli yang selalu menjadi desa kebanggaan (show-piece village) Grameen Bank. Dilaporkan bahwa kondisi desa ini memburuk, sehingga masyarakatnya tidak bisa keluar dari lilitan utang kepada Grameen Bank setelah 12 tahun. Banyak dari penduduk desa ini yang kemudian 'terpaksa' menjual tanah mereka, sehingga mereka menjadi orang yang tak punya tanah dalam arti sesungguhnya.

Apa yang disajikan ini, bila dibandingkan dengan filosofi dan orientasi bank syariah pada umumnya tentu sangat berbeda, untuk tidak mengatakan bertolak belakang sama sekali. Oleh karena itu, bila saja sejumlah bank atau usaha kredit mikro di Indonesia (khususnya yang berasas syariah) selama ini kagum pada Grameen Bank dan ingin mencontoh 'keberhasilannya', seyogianya (bank tersebut melakukannya) bukan tanpa reserve. Beberapa persoalan yang dibahas di awal tulisan ini haruslah menjadi perhatian semua pihak, agar tidak terjadi proses salah contoh, sehingga semakin menjauhkan bank syariah dari asasnya. Begitu pula, para pakar perlu lebih berhati-hati dalam memberikan ulasan, sehingga tidak terjadi proses 'memuji' yang salah, dan 'mencibir' yang benar, betapapun yang disebut terakhir mungkin belum sempurna dalam proses dan atau pencapaian tujuan-tujuannya.

Oleh :Muhammad Akhyar Adnan, Dosen UII Yogyakarta, Associate Professor di International Islamic University, Malaysia.
Sumber: Republika Online
Selengkapnya....
Dalam pekan-pekan ini Laporan Keuangan perbankan mulai ramai dipublikasikan. Ada beberapa hal menarik dari perkembangan kinerja perbankan syariah. Pertama, terjadinya pertumbuhan non-organik yang fenomenal dengan munculnya pemain-pemain baru di tahun 2004 ini, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Syariah Mega Indonesia, BPD Kalsel Syariah, dan Bank Niaga Syariah. Tiga bank lagi telah mengantongi izin prinsip yaitu Bank Sumut Syariah, Bank Aceh Syariah, dan Bank Permata Syariah. Satu lainnya, BTN Syariah menargetkan untuk operasional akhir tahun ini.


Kedua, pertumbuhan organik masing-masing bank yang tak kalah mencengangkan. Bank Syariah Mandiri menembus angka empat triliun rupiah, Bank Muamalat melewati angka tiga triliun rupiah. Unit Usaha Syariah Bank BNI merupakan UUS pertama yang menembus angka satu triliun rupiah. Demikian pula dengan penambahan kantor yang dalam kurun delapan bulan saja tercatat 110 kantor baru. Padahal selama dua belas tahun, kurun 1998-2003, hanya tercatat 264 kantor. Bank Syariah Mandiri tercatat yang paling banyak menambah kantor cabang dan cabang pembantu (22 kantor), diikuti BNI Syariah (8 kantor), BRI Syariah (6 kantor), dan Niaga Syariah (5 kantor). Sedangkan Bank Muamalat lebih memilih untuk menambah kantor kas dan gerainya (38 titik layanan).

Ketiga, tingkat profitabilitas perbankan syariah di atas rata-rata perbankan konvensional. BNI Syariah, Bukopin Syariah, dan Bank Muamalat merupakan tiga bank dengan ROA tertinggi, bahkan ada yang melampaui 3 persen. Dalam industri perbankan, sebenarnya ROA 1,5 persen saja telah menunjukkan kinerja yang baik. Tingkat efisiensi operasi juga menunjukkan perbaikan yang sangat signifikan. Dengan umur yang relatif masih seumur jagung, Bukopin Syariah dan BNI Syariah berhasil menekan rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi di bawah 80 persen, bahkan mendekati 60 persen. Bagi industri perbankan sebenarnya angka 80 persen saja telah dipandang baik.

Keempat, fungsi intermediasi berjalan baik. Bank Jabar Syariah, Bukopin Syariah, dan BRI Syariah mempunyai rasio FDR (financing to deposit ratio) tertinggi, bahkan ada yang mendekati 200 persen. Hal ini bukan saja menunjukkan berjalannya fungsi intermediasi, namun juga menunjukkan adanya dukungan penuh dari kantor pusat bank-bank tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk pembiayaan syariah.

Kelima, strategi penghimpunan dan penyaluran dana tampak semakin cerdas. BII Syariah, BRI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri mengalami pertumbuhan dana tertinggi. Sedangkan di sisi aset, BRI Syariah, BII Syariah, dan Bank Jabar Syariah tercatat yang paling agresif laju pertumbuhannya.

Keenam, BI pun berpacu mengeluarkan peraturan untuk mengantisipasi perkembangan yang demikian cepat. Dua PBI untuk bank umum syariah, tiga PBI untuk BPR Syariah, dan satu SEBI untuk BPR Syariah telah dikeluarkan di tahun 2004 ini. DSN MUI berbenah dengan menggelar Ijtima' Sanawi (Pertemuan Tahunan) Dewan Pengawas Syariah seluruh lembaga keuangan syariah yang ada, untuk pertama kalinya. Bagaimana dengan tahun 2005? Akankah pertumbuhan yang tinggi ini berlanjut? Riset yang dilakukan Karim Business Consulting menunjukkan bahwa tahun 2005 bahkan akan lebih tinggi lagi pertumbuhannya.

Pertama, diperkirakan akan ada 5 bank swasta nasional dan 14 bank daerah yang berminat untuk membuka Unit Usaha Syariah. Ini akan menjadikan tahun 2005 sebagai the highest ever un-organic growth.

Kedua, hampir semua bank syariah yang memulai operasinya pada semester pertama tahun 2004, akan mencapai titik impas pada tahun 2005. Ini berarti, pertumbuhan organik masing-masing bank akan semakin ekspansif.

Ketiga, masing-masing bank semakin jeli menentukan business positioning sehingga tidak perlu berkompetisi secara tidak sehat di antara sesama bank. BII Platinum Syariah dan BNI Syariah Prima tampaknya akan melanjutkan mengembangkan segmen pasar premiumnya. Bank Niaga dan Bank Permata tampaknya akan akan mempertahankan jati dirinya sebagai bank yang menawarkan life style. Bank Muamalat membangun integrasi vertikal: ke bawah dengan BPRS dan Pegadaian, mungkin juga ke atas. Bank Syariah Mandiri mengembangkan kerja sama horizontal dengan cabang, sinergi dengan Bank Mandiri. Bank Danamon memosisikan cabangnya dekat pasar tradisional. Bank-bank daerah menggarap captive market Pemda.

Dalam perkembangan yang demikian hebatnya, sepatutnyalah Bank Indonesia, DSN, Ditjen Pajak, dan otoritas terkait lainnya mempersiapkan lingkungan bisnis yang kondusif. Perbankan syariah tidak perlu dimanjakan karena akan membuatnya lemah, namun jangan pula dibebani hal yang berlebihan sebagai sebuah lembaga bank yang beroperasi secara sah menurut UU No 10 tahun 1998.

Kita perlu berbagai PBI baru untuk mengawal pertumbuhannya, juga konsistensi internal antara satu PBI dengan PBI lainnya, di samping konsistensi eksternal dengan berbagai peraturan perundagan yang ada. Kita perlu DSN yang kuat dan tangguh agar tidak sekadar menjadi lembaga yang dipandang sebelah mata; dianggap tidak mengerti bank. Kita perlu surat Dirjen Pajak setelah keluarnya surat S-243 dan S-1071 tahun 2003 untuk mengembalikan perlakukan PPN atas bank syariah sebagaimana suatu jasa bidang perbankan.

Kita tidak ingin seperti Sudan yang terlalu bersemangat dengan pembiayaan bagi hasil mudarabah/musyarakah tanpa persiapan memadai, kemudian menimbulkan pembiayaan bermasalah. Kita pun tidak ingin seperti Malaysia yang seakan terbelenggu dengan murabahah dan bai bitsaman ajil saja.Kita tidak ingin seperti di Timur Tengah yang otoritas fatwanya terdesentralisasi pada Dewan Pengawas Syariah masing-masing bank. Kita juga tidak ingin seperti di Malaysia yang otoritas fatwanya disentralisasi pada ahli syariah di bank sentral Malaysia.

Kita ingin peran strategis DSN MUI semakin mengemuka di tahun 2005. Kita ingin perbankan syariah Indonesia dijadikan bench-mark oleh dunia. Islamic Banking Award bagi perbankan syariah Indonesia merupakan yang pertama di dunia. Ini adalah tahun kedua yang akan digelar di Bali akhir November bersamaan dengan Islamic Banking Outlook.

Adiwarman Karim
Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: 1 komentar |
Dibandingkan bank sentral lain, produktivitas Bank Indonesia menghasilkan regulasi perbankan syariah patut diacungi jempol. Namun sebagaimana juga dialami bank sentral lain, tidak dapat dihindari munculnya kegamangan dalam penyusunan regulasi tersebut. Di satu pihak regulasi tersebut berusaha mengakomodasi prinsip-prinsip syariah yang hampir selalu mengacu pada transaksi sektor riil, dan di lain pihak regulasi tersebut tidak boleh keluar dari definisi jenis usaha perbankan yang mengacu pada transaksi sektor finansial.


Kita mulai saja dengan membandingkan antara definisi dalam UU No 10/1998 tentang Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan Kredit. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Nah, menurut UU No 10/1998 definisi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sama persis dengan definisi kredit, kecuali untuk kata-kata yang berhuruf miring.

Kata "kredit" diganti dengan kata "pembiayaan berdasarkan prinsip syariah", kata "pinjam-meminjam" dihilangkan, kata "peminjam untuk melunasi utangnya" diganti dengan "pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut", dan akhirnya kata "bunga" diganti dengan "imbalan atau bagi hasil". Selebihnya sama persis titik komanya. Bagaimana dengan bagi hasil (mudharabah), jual beli (murabahah), dan nama-nama akad fikih lain yang selama ini menjadi kosakata yang akrab digunakan oleh perbankan syariah? Nah, di sini muncul kegamangannya, apakah akad-akad fikih tersebut merupakan "prinsip" atau "jenis perjanjian bank syariah"?

Menurut UU No 10/1998 dan UU No 23/1999 akad-akad fikih tersebut adalah "prinsip", bukan jenis transaksi atau jenis perjanjian bank syariah. Kedudukannya sebagai "prinsip" dijabarkan dalam SK Dir BI No 32/34/1999, khususnya pasal 28 dan 30 yang menyatakan dengan tegas bahwa akad-akad fikih tersebut adalah "prinsip". Dalam paradigma ini, bank syariah menyediakan uang atau tagihan, bukan menjual atau menyewakan barang. Akad jual beli atau sewa menyewa hanyalah prinsip yang mendasarinya.

Dengan demikian transaksi pembiayaan bank syariah tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana yang diatur dalam UU No 18/2000, PP 143 dan 144 tahun 2000. Ironisnya di regulasi lain, akad-akad fikih tersebut dikategorikan sebagai "jenis perjanjian/akad bank syariah", bukan sekadar prinsip. Pernyataan Standar Akuntasi Keuangan Syariah (PSAK) 59/2002 dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) 2003 menyebutnya sebagai "akad" atau "perjanjian". Dalam paradigma ini bank syariah menjual atau menyewakan barang, bukan lagi menyediakan uang atau tagihan. Dengan demikian transaksi murabahah (jual beli), ijarah (sewa) yang dilakukan bank syariah terkena PPN.

Lebih dari itu, bank syariah telah keluar dari definisi pembiayaan yang diatur UU. Peraturan BI (PBI) bersikap mendua, kadangkala menggunakan paradigma "akad fikih adalah prinsip", di kala lain menggunakan paradigma "akad fikih adalah jenis perjanjian". Sampai dengan tahun 2000 BI masih konsisten menggunakan paradigma "prinsip" yaitu dalam PBI 2/7/2000 dan PBI 2/8/2000. Namun di tahun 2003 muncul kegamangan. BI kadang menggunakan paradigma "prinsip" yaitu pada PBI 5/7/2003 dan PBI 5/9/2003 pada pasal 1 angka 5,6,7. Di kala lain BI menggunakan paradigma "jenis perjanjian" yaitu PBI 5/3/2003, PBI 5/7/2003 dan PBI 5/9/2003 pasal 1 angka 8,9,10,11,12.

Gamang? Masih dalam batas kewajaran. Memang tidak mudah mengangkat akad-akad fikih yang lazimnya dilakukan di sektor riil ke dalam regulasi sektor perbankan. Diperlukan kecermatan dan ketelitian untuk menjaga konsistensi regulasi yang disusun. Dalam regulasi tata cara pembukuan juga ditemui kegamangan. Klasifikasi piutang dalam PSAK 59 berbeda dengan yang diatur dalam PAPSI, bahkan berbeda pula dengan diatur dalam Pedoman Laporan Bulanan Bank Umum Syariah (LBUS). Bahkan kegamangan dalam cara membukukan transaksi Ijarah Mumtahiya bit Tamlik (sewa dengan perpindahan hak kepemilikan di akhir masa sewa/IMBT).

Misalnya seorang nasabah membutuhkan sebuah gedung perkantoran untuk disewa selama 10 tahun dan pada akhir masa sewa ia ingin memiliki gedung tersebut. Secara fikih, tentu bank akan membeli gedung tersebut, menyewakan kepada nasabah, kemudian akhirnya mentransfer kepemilikannya. Secara fikih itulah langkah-langkah yang ditempuh. Nah, PAPSI yang menganut paradigma "jenis perjanjian" mengikuti satu per satu langkah tersebut. Gedung yang dibeli bank dicatat sebagai aktiva IMBT kemudian disusutkan, persis cara membukukan di sektor riil. Bank kemudian akan mencatat pendapatan sewa setiap kali nasabah membayar.

Aktiva IMBT tentu tidak dapat menggambarkan kualitas aktiva produktif bank karena selama ia disusutkan kolektibilitasnya akan selalu lancar. Piutang IMBT-lah yang dapat menggambarkannya. Sayangnya PAPSI tidak mengatur adanya piutang IMBT. Gamang memang. Sudah saatnya kita membedakan tataran berpikir fikih dengan tataran berpikir hukum positif. Bukan sebagai wujud sekularisasi hukum, sebaliknya sebagai upaya mewarnai hukum positif dengan nilai-nilai syariah. Memahami sistematika berpikir hukum positif akan memberikan banyak celah untuk memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai syariah.

Untuk saat ini paradigma "prinsip" memberikan banyak keleluasaan untuk mewarnai perbankan syariah dengan berbagai akad fikih. Menghidupkan kembali prinsip syariah dalam berbagai transaksi perbankan. Sebaliknya, kecerobohan mengambil begitu saja akad-akad fikih untuk dijadikan hukum positif tanpa mempertimbangkan secara komprehensif seluruh bangunan hukum yang ada, dapat berakibat menghambat perkembangan perbankan syariah itu sendiri.

Ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan peraturan tentu akan membuat gamang pelaku perbankan syariah untuk melangkah. Syukurlah BI sejak dini telah mengantisipasi hal ini dengan terus mengkaji dan menyempurnakan peraturan perbankan syariah yang ada. Kerja keras, kecermatan, dan kerendahhatian semua pihak dalam bekerja sama, bahu membahu di jalan Allah akan mengundang datangnya pertolongan Allah. Nothing is perfect in this life; but without moving towards perfection, what is life.

Adiwarman Karim, Direktur KBC
Republika Online
Selengkapnya....
Kategori: 2 komentar |