Tampilkan postingan dengan label Sukuk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sukuk. Tampilkan semua postingan
Dubai salah satu negara bagian Uni Emirat Arab (UEA) telah bermetamorfosis menjadi negara terindah di dunia. Dubai yang semula hanyalah dataran kering kerontang dengan padang pasir yang luas kini telah disulap menjadi kota metropolitan Timur Tengah yang telah menarik perhatian dunia, sekitar 15 juta pengunjung tiap tahunnya yang datang untuk menyaksikan keindahan dan pesona negeri minyak itu.

Konon, katanya, obsesi raja atau penguasa menjadikan Dubai sebagai negara terindah dan termegah di dunia itu akibat cadangan minyak yang telah menjadikan negara tersebut kaya raya kian surut. Untuk itu, lalu diantisipasi dengan pembangunan sektor industri yang serbawah, sehingga dolar tetap mengalir ke negeri itu.

Dubai, kini, telah memiliki sejumlah landmark bertaraf internasional yang sebaligus mengantarnya menjadi negara tercantik di dunia, sebutlah misalnya; The Dubai Mall yang merupakan salah satu Mall/Plaza terbaik di dunia. Lalu Burj Dubai, gedung tertinggi di dunia, yang memiliki ketinggian sekitar 800 meter. Karya penomenal dan spektakuler lainnya adalah Pulau Palm buatan yang didirikan di daerah lepas pantai, serta Al Burj Al Arab, hotel berbintang tujuh pertama di dunia setinggi menara Eifel. Selain itu, juga ada Falconcity of Wonders (FCW), megaproyek kawasan kota dengan konsep dunia mini yang dibawa ke dalam Kota Dubai. Obsesinya supaya Dubai menjadi satu tujuan utama pariwisata dunia.

Namun, negeri berpenduduk 1,6 juta jiwa itu kini sedang meradang akibat tumpukan utang yang tak sanggup untuk dilunasinya ( default ). Ambisi menjadi kota terbaik di dunia ternyata didanai dari tumpukan utang yang melebihi kapasitas kemampuan bayarnya. Rasio utang Dubai terhadap PDB 103 persen dan sebagian utangnya dicatat secara off-balance sheet yang berjumlah besar.

Pengumuman gagal bayar oleh Dubai World, semacam BUMN milik keemiratan Dubai sempat mengguncang pasar dunia dan dikhawatirkan akan memperlambat proses recovery ekonomi dunia pascakrisis keuangan di Amerika Serikat. Bahkan, sebagian ekonom memperkirakan jika tidak terjadi antispasi yang tepat maka krisis utang ini akan memicu lahirnya krisis morgage jilid kedua.

Akibat pengumuman gagal bayar itu memberikan gelombang shock di pasar global. Masalah Dubai memicu naiknya risiko harga surat berharga dan investor mulai menolak masuk di obligasi pemerintah. Harga saham di Eropa dan Asia anjlok, sementara pasar Amerika Serikat terlindungi karena tutup liburan Thanksgiving Day. Krisis ini juga berdampak pada penurunan harga komoditas termasuk melemahnya harga minyak hingga lima persen. Mimpi menjadi kota terindah dunia kini mulai berubah menjadi mimpi yang menakutkan akibat gagal bayar utang yang bisa memicu efek domino terhadap perekonomian kawasan bahkan dunia.

Dubai World
Dubai World merupkan perusahaan pelat merah milik Pemerintah Dubai yang bergerak dalam berbagai bidang infrastruktur. Melalui perusahaan ini dan anak perusahaannya, Dubai mengandalkan utang untuk membangun berbagai megaproyek menara gading. Hanya dalam kurun empat tahun, Dubai telah mencetak utang sebesar 80 miliar dolar untuk membiayai ambisi pariwisatanya.

Akhir pekan lalu, Pemerintah Dubai mengajukan permintaan penundaan pembayaran utangnya sekitar 60 miliar dolar yang jatuh tempo pada Desember 2009 dan diperkirakan akan mengalami gagal bayar (default). Kejadian inilah yang memicu rontoknya pasar keuangan di berbagai belahan dunia.Salah satu anak perusahaan Dubai World yang bergerak dalam bidang infrastruktur adalah Nakheel. Proyek properti Nakheel termegah adalah The Palm Island, konsep perumahan megah yang terletak di tengah laut berbentuk kurma.

Sebagian skema pembiayaan Nakheel adalah berbentuk sukuk. Nilai sukuk yang ditunda pembayaran pokoknya sebesar 3,52 miliar dolar dengan jatuh tempo pada 14 Desember 2009, diusulkan ditunda hinggal 30 Mei 2010. Penundaan ini tentunya memberikan dampak negatif bagi pemegang sukuk yang membutuhkan likuiditas. Kejadian ini juga berdampak pada penurunan harga sukuk Nakheel hingga -31,11 persen.

Sukuk default ini tentunya akan memberikan dampak negatif terhadap citra sistem keuangan Islam yang tahan krisis dan tidak berbasiskan pada transaksi ribawi. Namun, cerita gagal bayar sukuk Nakheel bukanlah yang pertama kali terjadi dalam sistem pembiayaan keuangan Islam global. Investment Dar, perusahaan investasi yang berbasis di Kuwait, adalah perusahaan yang pertama kali gagal memenuhi kewajibannya atas sukuk yang diterbitkannya sebesar 100 juta dolar AS. Sukuk default juga pernah dialami oleh ECP (East Cameron Partners), perusahaan eksplorasi minyak dan gas yang terletak di Texas dengan jumlah sukuk sekita 170 juta dolar AS.

Dampak
Krisis keuangan Dubai tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri, mengingat fundamental ekonomi Indonesia cukup baik, rasio utang terhadap PDB sebesar 30 persen, serta nilai rupiah cukup stabil, bahkan kredit rating Indonesia baru saja mengalami kenaikan.

Mungkin yang akan kena imbas akibat gagal bayar obligasi oleh Dubai World adalah prospek pembiayaan pemerintah lewat sukuk atau SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), karena Dubai World adalah penerbit sukuk terbesar di Dunia. Sementara itu, target SUN dan sukuk tahun 2010 mencapai Rp 104 triliun. Selain itu, kondisi gagal bayar ini akan berdampak kepada semakin mahalnya biaya penerbitan surat utang negara-negara berkembang (emerging market) sebab perhitungan premi risiko pada harga surat utang semakin tinggi.

Namun, kondisi krisis Dubai ini bisa saja justru menjadi keuntungan buat Indonesia jika dana-dana yang akan meninggalkan Dubai itu justru akan mengalir masuk ke Indonesia khususnya pada instrumen investasi sukuk yang akan diterbitkan pemerintah pada tahun depan. Sehingga, peluang indonesia sebagai penghubung keuangan Islam Asia Tenggara bisa tercapai. Wallahu a'lam bis-sawab.

Oleh Ali Rama (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta)
Republika Online

Selengkapnya....
Investment Dar, perusahaan investasi yang berbasis di Kuwait, pemilik separuh saham Aston Martin Lagonda, merupakan perusahaan yang pertama kali gagal memenuhi kewajibannya sebesar 100 juta dolar AS atas sukuk yang diterbitkannya. Nilai itu adalah kewajiban periodik dari sukuknya yang akan jatuh tempo pada 2010. Nakheel, pemilik megaproyek pulau buatan manusia berbentuk pohon kurma, juga diperkirakan terpaksa melakukan restrukturisasi sukuknya senilai 3,5 miliar dolar AS yang akan jatuh tempo pada Desember ini.

Di sisi lain, sukuk masih terus diminati pasar. Indonesia mulai masuk ke pasar internasional dengan menawarkan sukuk senilai 650 juta dolar AS. Bahrain juga menawarkan sukuk senilai 500 juta dolar AS. Meskipun secara keseluruhan pasar sukuk mengalami penurunan sebesar 56 persen pada 2008, setelah mencapai rekor tertinggi senilai 30,8 miliar dolar AS pada 2007.

Keuangan syariah yang selama ini dipercaya kokoh dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis ekonomi, mulai dipertanyakan keabsahannya. Paling tidak karena tiga indikasi yang sekarang ini mulai tampak di luar negeri. Pertama, munculnya penerbit sukuk yang gagal bayar. Kedua, menurunnya nilai aset perusahaan keuangan syariah karena turunnya nilai pasar surat berharga yang dimilikinya. Ketiga, mulai meningkatnya pembiayaan bermasalah.

Mari kita bahas satu per satu. Gagal bayar sukuk tentu dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah struktur sukuk itu sendiri. Secara umum, sukuk yang ada saat ini dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, sukuk yang berbasis aset riil (asset-based sukuk). Kedua, sukuk yang melekat pada aset riil ( asset-backed sukuk). Untuk asset-based sukuk, aset riil hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan untuk asset-backed sukuk, aset riil dipisahkan kepemilikannya kepada SPV.

Perbedaan ini secara teoretis memberikan tingkat risiko yang berbeda.
Dilihat dari sisi risiko, investor pada asset-based sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan utang tanpa jaminan ( unsecured ). Sedangkan investor pada asset-backed sukuk mempunyai hak tagih atas aset riil yang telah dipisahkan kepemilikannya, walaupun di beberapa negara hak tagih atas aset riil ini bukan berarti hak atas aset riil itu sendiri.

Secara lebih spesifik, struktur sukuk dengan akad ijarah mausufah bi dzimmah , yaitu akad sewa di mana barang yang akan disewakan belum wujud tentu mengandung risiko yang lebih besar daripada sukuk dengan akad ijarah, yaitu akad sewa yang barangnya telah wujud.

Secara syariah kedua jenis sukuk ijarah ini sama-sama memenuhi prinsip syariah, namun secara risiko berbeda. Dalam sukuk ijarah yang barangnya masih akan diwujudkan tentu ada tambahan risiko, yaitu gagal-serah atau gagal-pakai barang yang menjadi objek sukuk. Bila dalam kontraknya risiko ini tidak diantisipasi dan dilindungi, maka risiko investor sebenarnya sama dengan utang tanpa jaminan ( unsecured ).

Sedangkan dalam sukuk yang barangnya telah wujud, risiko ini tidak ada. Di sinilah peran penting regulator dan lembaga fatwa dalam menerbitkan aturan main. Tidak saja diperlukan pemenuhan aspek syariah secara formal-prosedural, namun jauh lebih penting lagi diperlukan kearifbijaksanaan dalam menyusun regulasi dan fatwa bagi industri keuangan syariah.

Produk keuangan syariah yang sophisticated hanya layak dijual kepada investor yang sophisticated pula. Hanya produk keuangan syariah yang sederhana boleh dijual kepada investor yang sederhana pula. Sehingga, diperlukan aturan yang mendefinisikan siapa investor yang sophisticated dan siapa investor yang sederhana, juga apa yang dimaksud produk yang sophisticated dan produk yang sederhana.

Logikanya, definisi ini akan berbeda dari satu negara ke negara lain karena perbedaan tingkat pemahaman dan perkembangan industrinya. Itu sebabnya pula ide untuk saling mengakui ( mutual recognition ) regulasi dan fatwa tanpa penyesuaian kondisi masing-masing negara, tidak memenuhi kriteria kearifbijaksanaan.

Dalam ilmu fikih, misalnya, ketika terjadi jual beli kacang tanah yang belum dipanen juga membedakan antara transaksi di antara orang yang mempunyai keahlian dengan transaksi di antara orang awam. Secara umum, bila transaksinya antara orang awam, fikih melarang jual beli kacang tanah ini karena kuantitas dan kualitasnya tidak diketahui. Sehingga, dikhawatirkan jual beli semacam ini akan menimbulkan gharar (ketidakpastian), oleh karenanya transaksi ini dilarang. Mereka inilah yang disebut pedagang sederhana.

Namun, bila transaksinya dilakukan di antara orang yang mempunyai keahlian dalam menaksir kualitas dan kuantitas kacang tanah, transaksi ini dibolehkan. Biasanya si pembeli diberi kesempatan untuk mengambil contoh kacang tanah di beberapa tempat di lahan yang akan dipanen, kemudian mereka mulai melakukan tawar-menawar. Kacang tetap segar di dalam tanah, transaksi dapat dilakukan. Mereka inilah yang disebut sophisticated traders .

Fikih yang dikembangkan ratusan tahun oleh sekian banyak ulama yang berusaha memberikan kearifbijaksanaan lokal dalam menafsirkan ketentuan syariah, merupakan warisan yang tidak ternilai bagi kita yang hidup di zaman ini. Selalu terasa ruh dalam fatwa-fatwa mereka. Ruh kearifbijaksanaan, ruh maqasid syariah, ruh kebenaran hakiki.

Tanpa ruh ini, keuangan syariah akan terasa hambar bagaikan masakan tanpa garam. Formal-prosedural memang memenuhi prinsip syariah, namun kesyariahannya tidak dirasakan oleh masyarakat. Indonesia merupakan harapan besar dunia untuk menampilkan keuangan syariah yang benar-benar terasa ruhnya.

Selama ini, Indonesia lebih memilih mazhab berhati-hati daripada mazhab pertumbuhan. Mengecilkan peran ulama, apalagi mengerdilkan peran ulama dalam membangun industri keuangan dan perbankan syariah hanya akan menghasilkan industri keuangan dan perbankan syariah tanpa ruh.

Oleh Adiwarman A Karim
Sumber: Republika Online
Selengkapnya....
Pemerintah akan menerbitkan sukuk negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 6 triliun hingga akhir tahun 2009. Untuk mencapai angka tersebut, pemerintah akan melakukan lelang SBSN empat kali, yaitu masing-masing dua kali pada bulan Oktober dan November 2009. Di dua kali lelang SBSN yang sudah dilakukan pada bulan Oktober, pemerintah hanya berhasil meraup dana sebesar Rp 200 miliar. Padahal, target indikatif pada setiap kali lelang cukup besar, yaitu Rp 1,5 triliun. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga dana yang diraup pemerintah melalui lelang SBSN hanya Rp 200 miliar?

Kondisi umum pasar SBSN domestik relatif belum berkembang. Hal tersebut ditandai oleh terbatasnya suplai, rendahnya likuiditas pasar, dan kurangnya partisipasi pelaku pasar, khususnya lembaga keuangan syariah. Sejak kali pertama diperkenalkannya SBSN pada April 2009, total SBSN yang beredar sampai dengan Oktober 2009 adalah Rp 13,142 triliun yang terdiri atas SBSN tradeable sebesar Rp 10,456 triliun dan SBSN nontradeable (kepemilikan Depag) sebesar Rp 2,686 triliun. Porsi kepemilikan bank adalah 11,6 persen dari total SBSN tradeable atau sebesar Rp 1,216 triliun dan porsi kepemilikan bank syariah hanya Rp 314 miliar.

Kecilnya porsi kepemilikan SBSN oleh bank syariah mengindikasikan bahwa kondisi likuiditas bank syariah cukup ketat pada periode tersebut karena harus bersaing dengan bank konvensional untuk meraup dana dari masyarakat.

Penawaran SBSN melalui open auction ditanggapi positif oleh investor. Pasar cukup bergairah. Hal ini terbukti dari jumlah incoming bids lelang SBSN pada 12 dan 27 Oktober 2009 masing-masing sebesar Rp 5,1 triliun dan Rp 4,1 triliun. Angka incoming bids tersebut merefleksikan likuiditas masih cukup besar meskipun pelaksanaan lelang dilakukan pada akhir tahun. Partisipasi investor pada kedua lelang tersebut masih didominasi oleh investor nonsyariah. Di lelang kedua pada 27 Oktober 2009, partisipasi investor lembaga syariah meningkat, namun masih sangat rendah, yaitu hanya 15,7 persen atau Rp 655 miliar dari total incoming bids Rp 4,1 triliun. Selanjutnya, di lelang ketiga pada 10 November 2009, incoming bids turun menjadi Rp 2,2 triliun. Namun, pemenang lelang mencapai Rp 1,08 triliun dan sekitar 75 persen dimenangkan oleh lembaga keuangan syariah.

Diperhatikan dari sisi time horizon investasinya, bank lebih banyak menyampaikan penawaran pada SBSN dengan tenor pendek 4-6 tahun. Sedangkan, asuransi dan dana pensiun menawar SBSN dengan tenor yang lebih panjang.

Penerbitan SBSN di pasar domestik secara regular dilakukan melalui book building dan private placement. Namun, sejak Oktober 2009, penerbitan SBSN di pasar domestik dilakukan secara reguler dengan fixed calendar of auction. Penerbitan SBSN secara lelang memberikan banyak manfaat, antara lain efisiensi waktu, meningkatkan transparansi, memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan SBSN, memberikan kepastian bagi investor, dan mendorong pengembangan pasar sekunder SBSN.

Bagi investor, sistem apa pun yang diterapkan tidak masalah sepanjang memberikan imbal hasil/return yang terbaik. Investor tetap menerapkan prinsip higher return-higher risk. Bila investor mengharapkan yield tertinggi, bagaimana dan berapa sebenarnya owner estimate yield? Akibat perbedaan persepsi investor estimate yield dengan owner estimate yield, akhirnya pemerintah hanya menyerap Rp 200 miliar dari dua kali pelaksanaan lelang pada bulan Oktober. Itu pun terjadi pada lelang kedua setelah lelang pertama tidak ada yang dimenangkan oleh pemerintah. Di lelang ketiga, persepsi dan ekspektasi yield sudah mulai sama sehingga incoming bids lebih rasional dan akhirnya pemerintah memenangkan penawaran SBSN sebesar Rp 1.08 triliun.

Peserta lelang terbesar SBSN adalah pengelola dana pensiun dan bank. Persepsi yield bank sebagai investor adalah mengoptimalkan idle fund yang belum tersalurkan ke pembiayaan.

Benchmarkyang akan digunakan oleh bank syariah untuk mengelola idle fund jelas mengacu kepada tingkat imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan FASBIS. Berbeda dengan bank syariah, persepsi yield dana pensiun sebagai investor adalah mengacu kepada imbal hasil portofolio yang ditempatkan pada instrumen deposito. Dengan persepsi ini, semestinya imbal hasil yang ditawarkan oleh investor menjadi lebih rasional. Angka yield yang ditawarkan oleh investor seharusnya mengacu kepada imbal hasil instrumen yang sama, dalam hal ini adalah Surat Utang Negara (SUN).

Ekspektasi yield investor di lelang pertama ternyata masih di atas rata-rata yield SUN, yaitu berkisar yield SUN plus 1-2 persen.

Akibatnya, di lelang pertama pada 12 Oktober 2009, tidak ada satu pun penawaran yang dimenangkan pemerintah. Selanjutnya, di lelang kedua pada 27 Oktober 2009, SBSN yang menang hanya seri IFR0003 (jangka waktu enam tahun) sebesar Rp 200 miliar. Imbal hasil rata-rata SBSN seri IFR0003 yang dimenangkan oleh owner adalah 9,59933 persen. Besar imbal hasil SBSN yang dimenangkan relatif hampir sama dengan yield SUN tenor enam tahun, yaitu 9,5535 persen.

Berdasarkan dua kali hasil lelang sebelumnya, persepsi owner estimate yield berbeda dengan persepsi imbal hasil investor. Pemerintah menganggap, seharusnya tidak ada perbedaan persepsi owner dengan persepsi investor. Imbal hasil SBSN seharusnya sama dengan surat utang lain yang dikeluarkan oleh negara ,yaitu sama-sama risk free instrument. Selain punya parameter sendiri, pemerintah mengacu pada imbal hasil obligasi konvensional bertenor sama yang beredar di pasar sekunder. Obligasi berdurasi enam tahun per 12 Oktober 2009, misalnya, memiliki imbal hasil 9,24 persen. Imbal hasil obligasi berdurasi enam tahun tersebut per 26 Oktober meningkat menjadi 9,5535 persen. Angka ini tidak jauh berbeda dengan imbal hasil SBSN yang dimenangkan pemerintah untuk tenor yang sama.

Namun, itu terkesan bahwa investor masih melakukan trial and error dengan menyampaikan penawaran yield yang relatif tinggi dengan pertimbangan: (1) investor menghendaki ekstra premium karena instrumen SBSN relatif baru dan pasar sekunder SBSN belum likuid; (2) investor mengacu pada imbal hasil SBSN di pasar sekunder yang tidak likuid dan abnormal, serta (3) investor menguji konsistensi kebijakan pemerintah terkait pricing SBSN vis-a-vis SUN.

Hal yang menarik terjadi di lelang ketiga, selain pemerintah memenangkan penawaran SBSN sebesar Rp 1,08 triliun, seri SBSN yang dimenangkan pemerintah semuanya mempunyai tenor jangka pendek, yaitu seri IFR0003 (tenor enam tahun) sebesar Rp 527 miliar dan IFR0004 (tenor empat tahun). Terlihat bahwa di lelang ketiga sudah mulai ada persepsi yang sama terhadap imbal hasil. Rata-rata, imbal hasil tenor enam tahun yang dimenangkan pemerintah adalah 9,68149 persen. Untuk tenor empat tahun, rata-rata imbal hasil adalah 9,04881 persen.

Imbal hasil tersebut mulai bergerak menuju angka imbal hasil SUN per 9 November, yaitu 9,5315 persen dan 9,1895 persen, masing-masing untuk tenor enam dan empat tahun. Rata-rata, imbal hasil yang dimenangkan pemerintah adalah 9,68149 persen (enam tahun) dan 9,40881 persen. Investor mendapat tambahan premium sekitar 0,15 sampai 0,22 persen.

Hadi Purnomo (Praktisi dan Pengamat Bank Syariah)
Sumber: Republika Online

Selengkapnya....
Oleh: Iggi H Achsien, Staff Pengajar Jurusan Manajemen FEUI

Terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan institusi keuangan syariah. Begitu juga dengan instrumentasi-instrumentasi keuangannya. Satu institusi akan membutuhkan institusi dan instrumen-instrumen lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan mendesak untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksadana syariah dimunculkan, perlu instrumen-instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya Reksadana syariah memerlukan bank syariah, membutuhkan saham halal, dan memunculkan juga kemungkinan peluang obligasi syariah.

Pengembangan institusi dan instrumen keuangan berdasarkan syariah merupakan bagian penting dari upaya pengembangan Islamic finance. Adalah suatu upaya pembumian ajaran langit. Upaya ini tidak lain merupakan kelanjutan pengembangan konsep dan teorinya supaya tidak berhenti hanya pada tataran normatif saja.


Pendekatan yang dapat dilakukan ada dua macam. Pertama, dispilin yang memajukan alternatif-alternatif baru terhadap keuangan komersial konvensional. Di sini dilakukan upaya kreatif penafsiran ajaran agama untuk memajukan alternatif baru yang diyakini dapat memberikan kemanfaatan lebih besar dengan tingkat mudharat yang minimum. Pendekatan yang kedua adalah melakukan reevaluasi konsep dan praktek keuangan konvensional yang ada dengan hukum Islam (fiqh). Dengan mempertanyakan dan menilai apakah konsep dan praktek yang ada tersebut sejalan dengan syariah.

Penilaiannya akan jatuh pada penetapan halal, makruh, mubah, sunnah, atau haram.
Adalah menarik untuk mempertanyakan obligasi dan options dari perspektif syariah misalnya. Tampaknya sampai sejauh ini, yang nampak lebih dominan adalah pendekatan kedua, meskipun pendekatan pertama juga tidak berhenti dilakukan. Pendirian institusi bank bagi-hasil sebenarnya dapat digolongkan sebagai hasil dari pendekatan pertama. Dalam hal menilai obligasi syariah, kedua pendekatan ini semestinya bisa digunakan.

Apakah Obligasi Syariah?

Obligasi syariah tentunya berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak terdapat konvergensi pendapat bahwa bunga (interest rate) adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini akan minggir dari daftar investasi halal. Karenanya, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.

Obligasi syariah dikenal juga sebagai muqarada bond, diajukan sebagai alternatif pengganti interest-bearing bonds. Muqarada adalah sinonim dengan qirad yang juga sama dengan mudharaba. Terjemahan sederhanaya adalah pinjaman bagi hasil atau profit-loss sharing. Instrumen keuangan ini sudah mendapatkan pengesahan dari IOC Academy. Artinya sudah dapat cap halal secara internasional.

Muqarada bond dikeluarkan oleh perusahaan (sebagai mudarib, pengelola) kepada investor (sebagai rabb al mal, pemilik dana) dengan tujuan pendanaan proyek tertentu yang dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik berdasarkan persentase tertentu yang telah disepakati. Analoginya seperti kupon obligasi biasa yang dibagikan secara periodik. Tapi kupon ini tidak ditentulkan persentasenya dari depan (fixed pre-determined). Persentasenya merupakan rasio pembagian keuntungan, sehingga meggunakan basis profit-loss sharing. Kontrak seperti ini juga menyediakan pembayaran bond pada saat maturity atau jatuh temponya. Kontrak seperti ini sesungguhnya sama dengan mudharaba. Dan sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Jordania dan Turki. Serupa dengan prinsip Islamic bonds adalah instrumen seperti Islamic certificate of deposits yang dipertimbangkan sebagai medium-term instruments.

Pasar Sekunder untuk Obligasi Syariah
Perdagangan obligasi di pasar sekunder mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Sebenarnya, hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo atau maturity-nya. Trading tetap terjadi, tapi hanya pada IPO dan saat jatuh tempo dengan harga pada par, sama dengan nominal yang tertera pada sertifikat obligasi (shahdah al-dayn).

Kalaupun terjadi jual beli tidak pada saat jatuh tempo, maka kontrak yang dilakukan adalah bai al-dayn. Bai al dayn didefinisikan sebagai "the sale of a payable right that normally raises from a transaction, services, loan, to the debtor himself, or to any third party" [Rosly dan Moustapha (1999)]. Kebanyakan ulama memfatwakan transaksi ini haram dengan merujuk pada hadits yang diriwayatkan Daruqutni. Hadits yang dimaksud adalah bahwa Ibn Umar berkata, "Nabi saw melarang penjualan hutang dengan hutang yang jumlah pembayarannya berbeda pada waktu yang lain". Karenanya jual beli hutang dipandang sebagai transaksi yang besar unsur riba-nya. Pendapat ini diterima luas, karenanya peluang untuk pasar sekunder obligasi Islami menjadi sangat kecil.

Tetapi terdapat pasar sekunder Islamic bonds di Malaysia. Penerbitan bonds sebagai sertifikat obligasi-nya melalui proses sekuritisasi asset berdasarkan prinsip murabahah bi thaman ajil. Merupakan kontrak penjualan dengan basis penangguhan pembayaran (deffered payment) dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark-up profit. Karena obyek penjualan dalam hukum Islam adalah komoditi yang mempunyai nilai tertentu. Karenanya, sekuritisasi dilakukan untuk membuat surat hutang ini sebagai klaim atas asset yang dijaminkan. Kemudian surat obligasi ini dikeluarkan melalui initial public offering melalui mekanisme lelang atau bidding process (bai al muzayadah) dengan diskon. Penjelasan sahnya mekanisme yang demikian ini diberikan oleh Ngadimon [1999].

Proses ini berbeda dengan muqaradah bonds yang tampaknya tidak bermasalah, juga karena tidak ada pasar sekundernya. Islamic bonds di Malaysia mengundang kontroversi yang besar. Karena pada prinsipnya, pendapatan yang diperoleh dari jual beli hutang adalah riba. Karena hutang tetap hutang, meskipun ditunjang dengan underlying asset-nya. Demikian pendapat sebagian besar ulama. Sami Hasan Houmoud (dalam pointer diskusi menanggapi paper Rosly dan Moustapha [1999], "Bay'an Dayn and Islamic Bonds Issues in Malaysia", pada International Conference Islamic Economics in the 21st century, Kuala Lumpur, 1999) dari IDB mengatakan untuk kasus Malaysia, "It is obvious that what was practiced under the name of Islamic Bonds were not Islamic."
Memang harus terdapat kehati-hatian dalam mengembangkan produk-produk dengan menggunakan label syariah. Karena terbuka peluang dalam prakteknya malah melenceng dari substansi syariah. Dalam simposium ekonomi syariah minggu lalu (3/04/2000), Prof. M.A Manan, ekonom konsultan IDB, memesankan bahwa kalau sebuah lembaga keuangan syariah malah membawa kemudharatan, sebaiknya malah tidak usah membawa-bawa nama syariah. Karena masyarakat akan bisa menilai mana yang sekedar label dan mana yang memang betul-betul Islami. Sesuatu yang bergeser dari kesejahteraan menjadi kesengsaraan tidak ada sangkut pautnya dengan syariah. Yang betul-betul Islami malah bisa saja tidak membawa-bawa label syariah-nya, tetapi pada substansinya tetap berlandaskan syariah.

Suksesnya sebuah pasar keuangan, baik Islami maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut. Sebuah framework pengaturan dapat saja didisain untuk mempengaruhi faktor-faktor tersebut.
Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih boleh dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya. Kecil kemungkinan akan adanya pasar sekunder obligasi ini memang bisa menjadi kendala perkembangan, karena investor tetap akan menghendaki likuiditas.
Alternatifnya, pasar sekunder tetap bisa ada dengan trading pada par. Atau memperluas jangkauan investor dengan holding period yang sesuai dengan jatuh tempo obligasinya. Sekali lagi, kesuksesannya tetap tergantung pada faktor kepercayaan investor.

Sumber: Tazkia Online
Selengkapnya....