Rencana pemerintah untuk melakukan impor beras sebesar 110 ton dari Vietnam pada bulan ini sebagian di antaranya telah masuk di beberapa titik pelabuhan yang ditunjuk pemerintah menuai berbagai permasalah yang pada dasarnya dapat dihindari dari awal. Kontroversi impor beras menjadi permasalahan klise setiap tahun, semenjak swasembada pangan tak mampu kita capai lagi. Ketidakmampuan produksi domestik untuk memenuhi kebutuhan yang ada selalu menjadi alasan pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri.
Kondisi pertanian
Para petani selalu termarginalisasi. Punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar seluruh masyarakat, tetapi kebutuhan dasar mereka sendiri sering pada posisi tidak berkecukupan. Dengan kata lain, menjadi petani bukanlah sebuah profesi yang dapat menopang kehidupan. Menjadi petani hanyalah semata karena tidak ada pilihan lain.
Terlalu jauh membandingkan kondisi petani kita dengan petani di Jepang maupun di Amerika yang hidup sejahtera dan dalam posisi yang dihormati. Dibandingkan dengan petani di Asia tenggara seperti Vietnam saja, pertanian kita didominasi oleh petani gurem yang notabene hanya buruh dengan penguasaan lahan sawah rata-rata hanya 0,3 hektare (rata-rata produksi nasional 45 kuintal per hektare) dan total biaya setiap panen lebih dari 30 persen nilai produksi.
Sehingga dengan lahan yang sempit itu tentu sulit untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi serta memperoleh keuntungan yang layak, karena tidak memenuhi skala usaha ekonomi. Kombinasi tidak adanya insentif dan produktivitas yang rendah ini membuat pertanian menjadi benar-benar terpinggirkan.
Pemerintah berjanji bahwa impor hanya dijadikan sebagai buffer stock. Sehingga dijamin hanya akan dikeluarkan jika produksi lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan atau tingkat harga jual telah melewati ambang atas tertinggi, karena itu tidak akan mengganggu kestabilan harga ditingkat petani. Kemudian, di lapangan harga beras terus menaik melewati ambang batas Rp 3.500 per kilogram dan operasi pasar dengan beras domestik gagal mencegahnya. Sehingga ada kekhawatiran bahwa beras impor mau tidak mau akan digunakan untuk menyeimbangkan kebutuhan pasar.
Tetapi para petani berteriak agar mereka kali ini dibiarkan menikmati tingginya harga jual setelah sekian lama tidak menikmati kondisi ini. Sebagian daerah yang surplus menolak impor, karena pada kenyataannya beras di daerah mereka lebih dari cukup. Mereka justru mengusulkan mengapa tidak melakukan ‘impor lokal’, sehingga yang disubsidi tetaplah petani kita, bukan petani vietnam.
Daerah-daerah tersebut mengatakan beras di tingkat petani dalam kondisi cukup, bahkan lebih. Artinya, tidak ada masalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Tetapi di pasar, ada kecenderungan beras langka, sehingga keseimbangan permintaan dan penawaran beras terganggu di tingkat konsumen. Jelas sekali dalam hal ini ada masalah distribusi. Dan sekali lagi, yang banyak diuntungkan adalah pedagang besar, para spekulan, dan pencari rente. Yang jadi pertanyaan siapa mereka dan mengapa hal ini terus terjadi?
Islam dan keadilan
Terlepas dari kontroversi impor beras apakah benar atau salah, yang terpenting adalah menjawab tantangan apakah kita dapat mengoptimalkan kemampuan sendiri untuk memenuhi kebutuhan. Karena toh, pada kenyataannya, kita adalah bangsa agraris yang sebagian besar penduduknya –sekitar 25 juta keluarga– mencari nafkah di sektor pertanian. Sehingga dalam konteks keadilan Islam, potensi yang ada wajib didukung sepenuhnya untuk kemaslahatan seluruh masyarakat.
Karena itu, dalam problematika makanan pokok seperti beras ini, Islam memandang ada beberapa poin penting yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan. Pertama, hajat hidup orang banyak harus dikelola dan menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa ”manusia berserikat dalam tiga hal yaitu api, air, dan rumput”. Dalam konteks kekinian, rumput dalam hadits tersebut meliputi sumber makanan pokok masyarakat. Artinya, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat dalam kondisi mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.
Karena itu sudah selayaknya sektor pertanian didukung sepenuhnya. Tidak sekadar menjamin untuk membeli, tetapi bagaimana meningkatkan produktivitas yang selama ini menjadi titik lemah mengapa pertanian dibandingkan negara lain begitu tertinggal. Juga meningkatkan efisiensi dalam produksi beras sehingga margin keuntungan dapat diperlebar.
Kedua, mekanisme pasar harus berjalan sempurna; ikhtikar (penimbunan) dan spekulasi harus ditangani. Islam memandang keadilan harus menjadi prinsip sistem ekonomi. Dalam pandangan Islam, mekanisme pasar bebas adalah sistem yang alami, sistem yang memungkinkan pelaku ekonomi berkompetisi menuai hasil atas usaha masing-masing.
Tetapi Islam menekankan perlunya perlindungan kepada si lemah oleh pemerintah. Islam memandang pentingnya pengorbanan si kuat untuk berbagi kepada sesama. Bukan sebaliknya, para pedagang besar terus menggerus keuntungan yang seharusnya milik mereka para petani yang telah berkeringat. Para pencari rente leluasa tanpa batas memaksimalkan profit atas nama beras.
Ketiga, upaya untuk ”mensyariahkan” sektor pertanian. Lembaga Keuangan berbasis syariah terus berkembang dengan pesat. Tetapi sampai sekarang sangat jarang, kalau bisa dibilang belum ada, pembiayaan syariah yang melirik pertanian sebagai sektor yang layak diberikan pembiayaan. Perbankan syariah masih asyik bermain pada pembiayaan konsumtif, bukan produktif.
Pemerintah dapat meminta perbankan syariah untuk membantu fokus pada peningkatan produktivitas, seperti mekanisasi pertanian atau pembelian pupuk dan bibit. Beberapa skim pembiayaan seperti pinjaman kebaikan atau ijarah dapat digunakan untuk hal ini. Sejatinya, tidak ada masalah bagi lembaga keuangan syariah untuk terjun langsung ke sektor pertanian. Pertanian merupakan sektor strategis yang memberikan potensi jika dikelola dan didukung dengan baik. Lagipula, lembaga-lembaga keuangan syariah memiliki tanggung jawab vertikal dan horisontal untuk merealisasikan tujuan keadilan.
Mustafa Edwin Nasution dan Mohammad Soleh Nurzaman
Repubika Online
Para petani selalu termarginalisasi. Punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar seluruh masyarakat, tetapi kebutuhan dasar mereka sendiri sering pada posisi tidak berkecukupan. Dengan kata lain, menjadi petani bukanlah sebuah profesi yang dapat menopang kehidupan. Menjadi petani hanyalah semata karena tidak ada pilihan lain.
Terlalu jauh membandingkan kondisi petani kita dengan petani di Jepang maupun di Amerika yang hidup sejahtera dan dalam posisi yang dihormati. Dibandingkan dengan petani di Asia tenggara seperti Vietnam saja, pertanian kita didominasi oleh petani gurem yang notabene hanya buruh dengan penguasaan lahan sawah rata-rata hanya 0,3 hektare (rata-rata produksi nasional 45 kuintal per hektare) dan total biaya setiap panen lebih dari 30 persen nilai produksi.
Sehingga dengan lahan yang sempit itu tentu sulit untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi serta memperoleh keuntungan yang layak, karena tidak memenuhi skala usaha ekonomi. Kombinasi tidak adanya insentif dan produktivitas yang rendah ini membuat pertanian menjadi benar-benar terpinggirkan.
Pemerintah berjanji bahwa impor hanya dijadikan sebagai buffer stock. Sehingga dijamin hanya akan dikeluarkan jika produksi lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan atau tingkat harga jual telah melewati ambang atas tertinggi, karena itu tidak akan mengganggu kestabilan harga ditingkat petani. Kemudian, di lapangan harga beras terus menaik melewati ambang batas Rp 3.500 per kilogram dan operasi pasar dengan beras domestik gagal mencegahnya. Sehingga ada kekhawatiran bahwa beras impor mau tidak mau akan digunakan untuk menyeimbangkan kebutuhan pasar.
Tetapi para petani berteriak agar mereka kali ini dibiarkan menikmati tingginya harga jual setelah sekian lama tidak menikmati kondisi ini. Sebagian daerah yang surplus menolak impor, karena pada kenyataannya beras di daerah mereka lebih dari cukup. Mereka justru mengusulkan mengapa tidak melakukan ‘impor lokal’, sehingga yang disubsidi tetaplah petani kita, bukan petani vietnam.
Daerah-daerah tersebut mengatakan beras di tingkat petani dalam kondisi cukup, bahkan lebih. Artinya, tidak ada masalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Tetapi di pasar, ada kecenderungan beras langka, sehingga keseimbangan permintaan dan penawaran beras terganggu di tingkat konsumen. Jelas sekali dalam hal ini ada masalah distribusi. Dan sekali lagi, yang banyak diuntungkan adalah pedagang besar, para spekulan, dan pencari rente. Yang jadi pertanyaan siapa mereka dan mengapa hal ini terus terjadi?
Islam dan keadilan
Terlepas dari kontroversi impor beras apakah benar atau salah, yang terpenting adalah menjawab tantangan apakah kita dapat mengoptimalkan kemampuan sendiri untuk memenuhi kebutuhan. Karena toh, pada kenyataannya, kita adalah bangsa agraris yang sebagian besar penduduknya –sekitar 25 juta keluarga– mencari nafkah di sektor pertanian. Sehingga dalam konteks keadilan Islam, potensi yang ada wajib didukung sepenuhnya untuk kemaslahatan seluruh masyarakat.
Karena itu, dalam problematika makanan pokok seperti beras ini, Islam memandang ada beberapa poin penting yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan. Pertama, hajat hidup orang banyak harus dikelola dan menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa ”manusia berserikat dalam tiga hal yaitu api, air, dan rumput”. Dalam konteks kekinian, rumput dalam hadits tersebut meliputi sumber makanan pokok masyarakat. Artinya, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat dalam kondisi mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.
Karena itu sudah selayaknya sektor pertanian didukung sepenuhnya. Tidak sekadar menjamin untuk membeli, tetapi bagaimana meningkatkan produktivitas yang selama ini menjadi titik lemah mengapa pertanian dibandingkan negara lain begitu tertinggal. Juga meningkatkan efisiensi dalam produksi beras sehingga margin keuntungan dapat diperlebar.
Kedua, mekanisme pasar harus berjalan sempurna; ikhtikar (penimbunan) dan spekulasi harus ditangani. Islam memandang keadilan harus menjadi prinsip sistem ekonomi. Dalam pandangan Islam, mekanisme pasar bebas adalah sistem yang alami, sistem yang memungkinkan pelaku ekonomi berkompetisi menuai hasil atas usaha masing-masing.
Tetapi Islam menekankan perlunya perlindungan kepada si lemah oleh pemerintah. Islam memandang pentingnya pengorbanan si kuat untuk berbagi kepada sesama. Bukan sebaliknya, para pedagang besar terus menggerus keuntungan yang seharusnya milik mereka para petani yang telah berkeringat. Para pencari rente leluasa tanpa batas memaksimalkan profit atas nama beras.
Ketiga, upaya untuk ”mensyariahkan” sektor pertanian. Lembaga Keuangan berbasis syariah terus berkembang dengan pesat. Tetapi sampai sekarang sangat jarang, kalau bisa dibilang belum ada, pembiayaan syariah yang melirik pertanian sebagai sektor yang layak diberikan pembiayaan. Perbankan syariah masih asyik bermain pada pembiayaan konsumtif, bukan produktif.
Pemerintah dapat meminta perbankan syariah untuk membantu fokus pada peningkatan produktivitas, seperti mekanisasi pertanian atau pembelian pupuk dan bibit. Beberapa skim pembiayaan seperti pinjaman kebaikan atau ijarah dapat digunakan untuk hal ini. Sejatinya, tidak ada masalah bagi lembaga keuangan syariah untuk terjun langsung ke sektor pertanian. Pertanian merupakan sektor strategis yang memberikan potensi jika dikelola dan didukung dengan baik. Lagipula, lembaga-lembaga keuangan syariah memiliki tanggung jawab vertikal dan horisontal untuk merealisasikan tujuan keadilan.
Mustafa Edwin Nasution dan Mohammad Soleh Nurzaman
Repubika Online
Posting Komentar