Perbincangan mengenai merek (brand) dan pemerekan (branding) merupakan hal yang sangat esensial dalam konteks pemasaran. Merek merupakan simbol, warna, kata-kata atau atribut lain yang unik dan menjadi pembeda dengan merek lain. Sedangkan pemerekan merujuk pada proses membangun suatu merek, baik merek perusahaan, produk, personal, gagasan, kawasan atau kota, hingga bangsa atau negara.
Merek juga menjadi batas yang membedakan pemasaran dengan perdagangan (trading) yang aktivitasnya seputar jual-beli komoditas (tanpa merek). Sementara pemasaran diawali dengan identifikasi kebutuhan dan selera pasar, memilah dan memilih segmen pasar yang mau dibidik, menyiapkan produk yang sesuai dengan karakteristik konsumen dan memberinya nama/merek produk, menetapkan harga yang pas, lalu merancang pesan komunikasi, mendistribusikan produk hingga terpajang di tempat pembelian, dan setelah produk terjual masih terus memonitor pasar untuk memberikan layanan yang prima.
Dalam pemasaran spiritual, jiwa sebuah merek bertumpu pada suara hati atau nurani (ruh). Karakter merek adalah pancaran dari sifat-sifat mulia Sang Pencipta, karena merek menjadi benang spiritual untuk mengagungkan Allah; bukan cuma untuk membuat merek terkenal dan laris. Jadi, pesona merek spiritual adalah cerminan pesona Ilahiah, bukan pesona produk, perusahaan, gagasan, kawasan, kota atau bangsa semata.
Jenjang Merek Spiritual
Berbagai upaya untuk membangun pesona merek spiritual (spiritual branding) ini menjadi ciri utama pemasaran spiritual. Ada empat lapis merek yang perlu dicermati dari jenjang merek personal, produk, perusahaan hingga spasial. Agar merek bernilai spiritual, maka karakter dan identitas merek harus menebar nilai-nilai transendental yang memancarkan pesona Ilahiah.
Pertama, merek personal (personal branding). Sosok pribadi yang memiliki citra spiritual tentu bukan hanya dari kalangan agamawan. Banyak pebisnis yang masih jernih hati nuraninya sehingga tampil simpatik dan peduli terhadap sesama. Nabi Muhammad sendiri sejak usia belia dikenal sebagai sosok usahawan. Setelah diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun, baru menjadi figur pemimpin spiritual.
Kedua, merek produk (product branding). Air minum dalam kemasan merek MQ Jernih dari kelompok perusahaan milik Aa Gym menarik untuk jadi contoh karena mencantumkan 2,5% dari keuntungan disisihkan untuk kaum papa. Ini sebenarnya penerapan zakat untuk disalurkan kepada mereka yang berhak.
Ketiga, terkait merek produk, kita perlu mengulas merek perusahaan (corporate branding) yang berada di balik produk. Setiap outlet dan produk The Body Shops (TBS) secara konsisten mencitrakan peduli lingkungan hidup dan menentang uji-coba laboratorium atau produk yang menggunakan, apalagi menyakiti binatang (against animal testing). TBS adalah perusahaan bernuansa spiritual yang ramah lingkungan dengan produk berbahan baku alaminya.
Terakhir, untuk konteks yang lebih luas/spasial, kita perlu membahas merek kawasan, lokasi, kota atau tempat (destination branding). Karena itu, muncul istilah destination marketing, city-branding, dan places marketing untuk pemasaran kawasan wisata, hunian, kota, bahkan tempat belanja atau sekadar rumah makan. Dalam konteks makro, kita mengenal citra bangsa (country image) atau merek yang membawa nama bangsa (citizen brand).
Oleh Hifni Alifahmi
Sumber: www.niriah.com
Dalam pemasaran spiritual, jiwa sebuah merek bertumpu pada suara hati atau nurani (ruh). Karakter merek adalah pancaran dari sifat-sifat mulia Sang Pencipta, karena merek menjadi benang spiritual untuk mengagungkan Allah; bukan cuma untuk membuat merek terkenal dan laris. Jadi, pesona merek spiritual adalah cerminan pesona Ilahiah, bukan pesona produk, perusahaan, gagasan, kawasan, kota atau bangsa semata.
Jenjang Merek Spiritual
Berbagai upaya untuk membangun pesona merek spiritual (spiritual branding) ini menjadi ciri utama pemasaran spiritual. Ada empat lapis merek yang perlu dicermati dari jenjang merek personal, produk, perusahaan hingga spasial. Agar merek bernilai spiritual, maka karakter dan identitas merek harus menebar nilai-nilai transendental yang memancarkan pesona Ilahiah.
Pertama, merek personal (personal branding). Sosok pribadi yang memiliki citra spiritual tentu bukan hanya dari kalangan agamawan. Banyak pebisnis yang masih jernih hati nuraninya sehingga tampil simpatik dan peduli terhadap sesama. Nabi Muhammad sendiri sejak usia belia dikenal sebagai sosok usahawan. Setelah diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun, baru menjadi figur pemimpin spiritual.
Kedua, merek produk (product branding). Air minum dalam kemasan merek MQ Jernih dari kelompok perusahaan milik Aa Gym menarik untuk jadi contoh karena mencantumkan 2,5% dari keuntungan disisihkan untuk kaum papa. Ini sebenarnya penerapan zakat untuk disalurkan kepada mereka yang berhak.
Ketiga, terkait merek produk, kita perlu mengulas merek perusahaan (corporate branding) yang berada di balik produk. Setiap outlet dan produk The Body Shops (TBS) secara konsisten mencitrakan peduli lingkungan hidup dan menentang uji-coba laboratorium atau produk yang menggunakan, apalagi menyakiti binatang (against animal testing). TBS adalah perusahaan bernuansa spiritual yang ramah lingkungan dengan produk berbahan baku alaminya.
Terakhir, untuk konteks yang lebih luas/spasial, kita perlu membahas merek kawasan, lokasi, kota atau tempat (destination branding). Karena itu, muncul istilah destination marketing, city-branding, dan places marketing untuk pemasaran kawasan wisata, hunian, kota, bahkan tempat belanja atau sekadar rumah makan. Dalam konteks makro, kita mengenal citra bangsa (country image) atau merek yang membawa nama bangsa (citizen brand).
Oleh Hifni Alifahmi
Sumber: www.niriah.com
Posting Komentar