Beberapa waktu yang lalu, media memberitakan polisi menemukan gudang yang menyimpan timbunan kedelai. Konsekuensi dari penimbunan adalah distribusi barang tidak lancar dan barang menjadi langka. Kelangkaan akan menyebabkan harga naik karena ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Kemudian pada kondisi yang dianggap tepat, pengusaha mulai engeluarkan timbunan barnagnya sehingga keuntungan yang diperolehnya berlipat ganda. Dari sisi pengusaha enyimpan dulu barang dagangan dan menjualnya kembali waktu harga naik merupakan strategi bisnis yang jitu.
Sebaliknya yang terjadi dari sisi konsumen baik konsumen akhir, maupun konsumen antara yang menggunakan barang ini sebagai bahan baku proses produksi. Harga kedelai di pasar melonjak naik yang menyebabkan pengusaha tahu-tempe terperangah dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Kasus seperti ini tidak terjadi hanya pada kedelai, bahan pokok yang lainpun pada gilirannya ”dipermainkan”. Utamanya karena permintaan terhadap bahan pokok relatif tidak elastis, sebagaimana juga permintaan terhadap bahan bakar.
Harga-harga yang meningkat membuat masyarakat yang berkekurangan ”menjerit” dan kebingungan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kasus bunuh diri menjadi lebih sering terdengar. Kemiskinan dan hilang akal kemana akan mengadu dan mendapatkan makan, apalagi dengan adanya tanggungan anak-istri sering membuat orang nekad menghabisi dirinya sendiri. Orang gila akhir-akhir ini menjadi lebih banyak ditemukan dipingir jalan, tertawa sendiri, buka baju seenaknya dan berbagai tingkah laku yang menunjukkan kehilangan akal sehat.
Kata kunci dalam bisnis adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, dan dari kacamata ini tentu saja tindakan penimbunan hanyalah salah satu strategi untuk mendapatkan keuntungan. Namun kalau kita bertanya pada hati nurani terdalam, etis tidaknya menimbun bahan makanan yang merupakan hajat hidup orang banyak? Jawabannya pasti tidak, kecuali mata hati kita sudah buta.
Bagaimanapun dasarnya bisnis juga mengenal etika. Isu etika sebenarnya telah lama diketahui dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh kalangan bisnis. Dalam bisnis hal etika dapat dikelompokkan dalam empat tingkat.
Tingkat pertama disebut societal. Pemikirannya adalah menganggap kalangan bisnis sebagai mereka yang berhasil, sehingga masalah etika di jawab dengan mengaplikasikan prinsip kedermawanan untuk membantu mereka yang miskin dan kelompok masayarakat yang kurang beruntung dari pemahaman etika bisnis. Pada tingkat pertama ini saja sudah terbaca bahwa penimbunan bahan kebutuhan pokok menyalahi etika, karena sama sekali tidak membantu kelompok mesyarakat yang kurang beruntung.
Etika bisnis tingkat kedua adalah etika terhadap berbagai kelompok kepentingan yang erada diluar perusahaan (external stakeholder). Tindakan yang etis disini adalah enyangkut bagaimana perusahaan menangani kelompok-kelompok eksternal yang tekena dampak dari keputusan yang mereka ambil. Kewajiban apa yang harus dipenuhi perusahaan terhadap para pemasoknya? Pada masyarakat dimana ia beroperasi? Kepada pemegang saham? Intinya disini adalah pertanyaan berkaitan dengan kebijakan bisnis. Tindakan penimbunan adalah tindakan yang tidak beretika terhadap kelompok msayarakat dimana perusahaan tadi beroperasi. Juga merupakan tindakan yang tidak etis terhadap produsen yang menginginkan agar distribusi barang yang dihasilkannya lancar sampai pada masyarakat.
Etika bisnis tingkat yang ketiga dikenal juga dengan internal policy. Pertanyaannya disini adalah tentang bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan karyawannya. Kontrak kerja seperti apa yang disebut adil? Hak-hak apa yang dimiliki pekerja? Apakah yang disebut pekerjaan yang bermakna? Pada tingkat ini perusahaan memiliki kesempatan untuk responsif secara sosial pada stakeholder internalnya. Dalam kaitan dengan tindakan penimbunan tadi, seyogianya perusahaan menyadari bahwa ia telah bertindak tidak etis terhadap karyawan dengan memberikan mereka pekerjaan yang tidak bermakna bahkan tidak bermoral karena menyakiti dan merugikan pihak lain.
Etika bisnis tingkat keempat adalah adalah isu moral pada tingkat personal. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dalam organisasi. Apakah harus jujur satu sama lain apapun konsekuensinya? Dalam tindakan penimbunan, sangat boleh jadi penimbun tidak jujur pada rekan kerja. Setidaknya si penimbun ini telah memberikan pembenaran pada suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukanya.
Sebenarnya spiritualitas di tempat kerja telah muncul ke permukaan sejak akhir tahun 1990-an, sebagiannya karena biaya sosial yang besar yang harus ditanggung pimpinan perusahaan karena mengabaikan etika, dan standar moral sehubungan dengan SDM, lingkungan, HAM, ataupun pembangunan masyarakat. Kasus Enron tahun 2000 dan MCI tahun 2001 adalah contoh dimana arogansi dan nilai-nilai tidak bermoral membawa kehancuran. Inti dari spiritulitas bisnis adalah memasukkan kembali unsur-unsur moral dan etika dalam bisnis. Jadi menata dan memperlakukan network dengan santun merupakan salah satu etika yang harus dipegang teguh dalam bisnis.
Berkaitan dengan masalah ini sebuah pertanyaan mendasar harus dijawab, ”bagaimana sebenarnya etika pengusaha kita”? Apakah mereka benar-benar memilikinya? Menimbun barang, memberi zat pewarna yang beracun, menggunakan formalin untuk makanan, mengimpor sampah (ingat: bahan baku asesoris yang diimpor dari kondom bekas), dan berbagai tindakan diluar etika lainnya adalah bagian dari bisnis mereka. Separah inikah hati nurani pengusaha yang melakukannya?.
Oleh: Yusmaliani, peneliti senior di LIPI.
Sumber: www.pkesinteraktif.com
Harga-harga yang meningkat membuat masyarakat yang berkekurangan ”menjerit” dan kebingungan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kasus bunuh diri menjadi lebih sering terdengar. Kemiskinan dan hilang akal kemana akan mengadu dan mendapatkan makan, apalagi dengan adanya tanggungan anak-istri sering membuat orang nekad menghabisi dirinya sendiri. Orang gila akhir-akhir ini menjadi lebih banyak ditemukan dipingir jalan, tertawa sendiri, buka baju seenaknya dan berbagai tingkah laku yang menunjukkan kehilangan akal sehat.
Kata kunci dalam bisnis adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, dan dari kacamata ini tentu saja tindakan penimbunan hanyalah salah satu strategi untuk mendapatkan keuntungan. Namun kalau kita bertanya pada hati nurani terdalam, etis tidaknya menimbun bahan makanan yang merupakan hajat hidup orang banyak? Jawabannya pasti tidak, kecuali mata hati kita sudah buta.
Bagaimanapun dasarnya bisnis juga mengenal etika. Isu etika sebenarnya telah lama diketahui dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh kalangan bisnis. Dalam bisnis hal etika dapat dikelompokkan dalam empat tingkat.
Tingkat pertama disebut societal. Pemikirannya adalah menganggap kalangan bisnis sebagai mereka yang berhasil, sehingga masalah etika di jawab dengan mengaplikasikan prinsip kedermawanan untuk membantu mereka yang miskin dan kelompok masayarakat yang kurang beruntung dari pemahaman etika bisnis. Pada tingkat pertama ini saja sudah terbaca bahwa penimbunan bahan kebutuhan pokok menyalahi etika, karena sama sekali tidak membantu kelompok mesyarakat yang kurang beruntung.
Etika bisnis tingkat kedua adalah etika terhadap berbagai kelompok kepentingan yang erada diluar perusahaan (external stakeholder). Tindakan yang etis disini adalah enyangkut bagaimana perusahaan menangani kelompok-kelompok eksternal yang tekena dampak dari keputusan yang mereka ambil. Kewajiban apa yang harus dipenuhi perusahaan terhadap para pemasoknya? Pada masyarakat dimana ia beroperasi? Kepada pemegang saham? Intinya disini adalah pertanyaan berkaitan dengan kebijakan bisnis. Tindakan penimbunan adalah tindakan yang tidak beretika terhadap kelompok msayarakat dimana perusahaan tadi beroperasi. Juga merupakan tindakan yang tidak etis terhadap produsen yang menginginkan agar distribusi barang yang dihasilkannya lancar sampai pada masyarakat.
Etika bisnis tingkat yang ketiga dikenal juga dengan internal policy. Pertanyaannya disini adalah tentang bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan karyawannya. Kontrak kerja seperti apa yang disebut adil? Hak-hak apa yang dimiliki pekerja? Apakah yang disebut pekerjaan yang bermakna? Pada tingkat ini perusahaan memiliki kesempatan untuk responsif secara sosial pada stakeholder internalnya. Dalam kaitan dengan tindakan penimbunan tadi, seyogianya perusahaan menyadari bahwa ia telah bertindak tidak etis terhadap karyawan dengan memberikan mereka pekerjaan yang tidak bermakna bahkan tidak bermoral karena menyakiti dan merugikan pihak lain.
Etika bisnis tingkat keempat adalah adalah isu moral pada tingkat personal. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dalam organisasi. Apakah harus jujur satu sama lain apapun konsekuensinya? Dalam tindakan penimbunan, sangat boleh jadi penimbun tidak jujur pada rekan kerja. Setidaknya si penimbun ini telah memberikan pembenaran pada suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukanya.
Sebenarnya spiritualitas di tempat kerja telah muncul ke permukaan sejak akhir tahun 1990-an, sebagiannya karena biaya sosial yang besar yang harus ditanggung pimpinan perusahaan karena mengabaikan etika, dan standar moral sehubungan dengan SDM, lingkungan, HAM, ataupun pembangunan masyarakat. Kasus Enron tahun 2000 dan MCI tahun 2001 adalah contoh dimana arogansi dan nilai-nilai tidak bermoral membawa kehancuran. Inti dari spiritulitas bisnis adalah memasukkan kembali unsur-unsur moral dan etika dalam bisnis. Jadi menata dan memperlakukan network dengan santun merupakan salah satu etika yang harus dipegang teguh dalam bisnis.
Berkaitan dengan masalah ini sebuah pertanyaan mendasar harus dijawab, ”bagaimana sebenarnya etika pengusaha kita”? Apakah mereka benar-benar memilikinya? Menimbun barang, memberi zat pewarna yang beracun, menggunakan formalin untuk makanan, mengimpor sampah (ingat: bahan baku asesoris yang diimpor dari kondom bekas), dan berbagai tindakan diluar etika lainnya adalah bagian dari bisnis mereka. Separah inikah hati nurani pengusaha yang melakukannya?.
Oleh: Yusmaliani, peneliti senior di LIPI.
Sumber: www.pkesinteraktif.com
Posting Komentar