Sewaktu menulis artikel ini, penulis sedang menjalankan ibadah haji di Tanah Suci. Di antara keramaian dan kekhusyukan pelaksanaan ibadah haji tahun ini, ada sesuatu yang berkecamuk dalam hati penulis. Kegelisahan tersebut terangkum dalam pertanyaan: sudahkah ibadah dan perayaan keagamaan berpengaruh terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan? Hal ini dapat dipahami sebab sebagian masyarakat kita lebih suka melaksanakan dan mengamini simbol-simbol keagamaan, sementara lupa akan makna dan substansinya. Karena itu, momentum Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 27 November ini hendaknya dapat mengingatkan kita akan pentingnya pengorbanan dan solidaritas untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Menyembelih kerakusan
Menurut sejarah, tradisi kurban berawal pada zaman Nabi Ibrahim. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih putranya Ismail. Awalnya, beliau kurang percaya terhadap mimpi itu. Akan tetapi, setelah tiga malam berturut-turut, Nabi Ibrahim mendapat mimpi yang sama. Beliau lantas mendiskusikan perintah itu dengan Ismail. Kemudian, Nabi Ibrahim berkata kepada anaknya tentang mimpinya itu dan minta pendapatnya.
Ismail merespons permintaan Ibrahim, ''Lakukanlah apa yang diperintahkan-Nya.'' Lalu, Ismail berkata, ''Ayah, kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku tak akan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah pisau itu supaya dapat memotong aku sekaligus. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku khawatir bila ayah kelak melihat wajahku akan jadi lemah sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Allah. Kalau ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu jika itu menjadi hiburan baginya, lakukanlah.''
Singkat cerita, diikatnya kuat-kuat tangan anak itu, lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Namun, ketika itu juga Tuhan memanggilnya, ''Wahai, Ibrahim, Engkau telah melaksanakan mimpi itu.'' Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu, disembelih dan dibakarnya. Demikian kisah penyembelihan dan penebusan itu dalam imajinasi karya sastra yang pernah ditulis budayawan Ali Audah.
Berdasarkan kisah singkat pengorbanan di atas, hakikat penyembelihan hewan kurban yang rutin dilaksanakan umat Islam tidak lebih dari bentuk ibadah yang meniscayakan arti pentingya kesetiakawanan sosial dan wujud ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Hakikat ibadah kurban adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, sikap mementingkan diri sendiri, rakus, dan sikap serakah yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial.
Ibadah kurban juga mengajarkan umat Islam untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa. Di sisi lain, ibadah kurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai di sekitar kita.
Perintah berkurban bagi mereka yang mampu dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin dan dhuafa mengandung pesan bahwa kita bisa dekat dengan Allah SWT hanya ketika kita bisa mendekati dan menolong saudara-saudara kita yang serba kekurangan.
Semangat ini mengajarkan nilai-nilai solidaritas, kesetiakawanan, atau tolong-menolong sesama manusia. Yang kaya menolong si miskin, sebaliknya yang miskin menolong si kaya. Sikap solidaritas ini akan mengurangi kesenjangan sosial dan menjaga suasana yang harmonis di antara sesama warga. Maka, membumikan pesan moral ibadah kurban di negara kita yang masih terjerat kemiskinan merupakan pekerjaan mendesak yang harus dikerjakan. Sebagaimana dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS: 2009), jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini sebesar 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa.
Peran pemerintah
Menyejahterakan kaum miskin tentu tidak serta-merta hanya dengan membagikan daging kurban. Mengentaskan kemiskinan diperlukan konsepsi yang jelas serta program yang terarah.
Konsepsi utama kesejahteraan rakyat harus bersandar pada asas pemerataan, sebagaimana diajarkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Walau demikian, tentu saja kita tidak boleh memandang sebelah mata asas pertumbuhan ekonomi. Intinya, konsep pembangunan ekonomi harus dijalankan seiring sejalan antara pemerataan dan pertumbuhan. Untuk program-program kesejahteraan rakyat hendaknya memprioritaskan program pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini berperan memberikan kail dan umpan (akses permodalan), mengajarkan bagaimana cara memancing (akses pendidikan ekonomi), serta menunjukkan tempat di mana memancing dan menjual hasilnya (akses pasar).
Di luar hal itu, kiranya perlu disusun kembali road map yang lebih jelas, tegas, dan terarah agar target-target pengentasan kemiskinan dapat tercapai dengan maksimal. Dalam hal ini, setidaknya ada enam prioritas yang dapat dikerjakan. Pertama, menyusun sistem ekonomi berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat, memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan, dan menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja serta perlindungan hak-hak konsumen.
Kedua, mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar distortif yang merugikan masyarakat.
Ketiga, mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi, dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang. Hal ini juga terkait penataan BUMN secara efisien, transparan, dan profesional, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum.
Keempat, mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan sistem dana jaminan sosial melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta ditetapkan dengan undang-undang.
Kelima, mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memerhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang. Keenam, melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
Di samping peran pemerintah, tentu diperlukan peran sosial masyarakat itu sendiri. Bagi si miskin, sifat mental ketergantungan kepada orang lain harus dihilangkan. Justru, mereka harus bekerja keras dan memanfaatkan peluang yang diberikan kepadanya. Kemudian, nilai-nilai solidaritas orang-orang kaya dalam hal ini juga sangat diperlukan. Bila ada kesadaran satu orang kaya membantu satu orang miskin dalam waktu dekat, dipastikan Indonesia akan bebas dari kemiskinan.
Bahrudin Nasori (Anggota Komisi IX DPR RI)
Republika Online
Posting Komentar