Puzzle yang terdiri atas kotak-kotak tak beraturan memang sekadar melatih ketajaman berpikir. Sedangkan rezeki, jodoh, dan kematian, yang menjadi urusan Allah, agaknya pas diibaratkan puzzle kehidupan. Penuh misteri yang apa pun lakonnya punya konsekuensi. Target akhir puzzle mainan adalah hasil. Sedangkan, puzzle kehidupan intinya diproses. Benar atau salah, kembali pada sudut pandang logika. Apa yang diyakini benar ternyata keliru di pihak lain.

Orang bilang, hidup ini tak lebih 'mengelola isu'. Seperti dalam film seri LA Law yang benar dibelokkan, yang salah malah menang. Berjuang merebut kemerdekaan di negeri sendiri dicap pemberontak. Gerakan Intifada bermodal batu dan kerikil, dibuldoser dengan tank, pesawat pengebom, dan akhirnya disapu pasukan elite. Hanya dengan curiga, Irak diserbu. Entah apakah ada hubungannya, usai kunjungan Gerald Ford tahun 1975, Timtim pun dianeksasi.

Berharap keberpihakan, agaknya teramat mewah di Indonesia. Isu kehidupan lebih dikendalikan oleh kepentingan. Kebenaran yang sesungguhnya tak perlu marketing untuk menyatakan kebenarannya, memang tak pernah habis-habis diuji. Kasus 'Cicak lawan Buaya' dan Bank Century mengingatkan kembali kasus Sum Kuning, Sengkon Karta, Marsinah, Sukardal sang penarik becak, dan BLBI.

Di zaman Soekarno, sangat aib seseorang dituduh jadi kaki tangan dan antek asing. Kini, atas nama globalisasi, investor asing disuguhi dan dipermudah untuk melakukan banyak hal. Belum lagi perdagangan bebas berlaku total, pasar Tanah Abang sudah dibanjiri produk Cina. Anggodo yang tiba-tiba muncul, gempanya membuat Indonesia jadi bahan tertawaan Negara Jiran. Maka, terbayangkah peran para Taipan yang konglomerat itu. Memang, terlampau jauh berharap seperti apa yang dilakukan Umar bin Khatab RA. Orang kaya yang hartanya dicuri malah dihukum. Bagi Umar, pencurian itu tersulut karena tak pedulinya si kaya.

Begitulah yang terjadi di dunia zakat. Depag terusik dengan geliat LAZ (Lembaga Amil Zakat). Atas nama kekacauan zakat, Depag menyiapkan revisi UU untuk menutup LAZ. Sebagai anak bangsa, LAZ kebingungan. Saat Depsos tengah mempertahankan Karang Taruna dan Lembaga Adat agar tak padam, LAZ malah hendak dihapus. Dalam sms-nya, Erryriana Harjapamekas bertanya, "Apa prakarsa masyarakat dianggap mudharat?" SMS Drajad Wibowo pun bernada sama, "Diberangus? Kok seperti di negara komunis saja." Sedangkan, Rhenald Kasali kelu tak bisa komentar. Karena, baginya, LAZ sungguh punya manfaat besar di masyarakat.

Mudharat dan berangus, manfaat dan promosi, hanya rangkaian proses sebab akibat. Itulah bagian dari kebijakan. Yang lebih penting dari kebijakan, sesungguhnya mereka-lah penentu kebijakan. Gelas yang baru terisi separuh diisi penuh atau malah dibuang, tergantung yang memegang gelas. Maka, kehidupan jadi amat sederhana bila ukurannya hanya sekadar 'tak puas'. Kehidupan jadi menakutkan bila menempatkan sesuatu serba hitam putih. Di dunia, hitam pun masih punya kesempatan berubah.

Sejak berkiprah, hingga hari ini, LAZ tak pernah mengganggu dan tak minta bantuan sepeser pun dari pemerintah. Dalam keluarga, bukankah sang bapak tinggal memetik hasil. Kehidupan keluarga pun jadi lebih indah karena anak yang kaya difasilitasi agar bisa bantu saudaranya yang miskin. Yang tadinya cuma mimpi, berkat LAZ, sebagian anak-anak yatim dan miskin kini sudah bisa masuk UI dan ITB. Kesehatan cuma-cuma yang dianggap tak mendidik, manfaatnya juga malah berlebih karena dirasakan mahasiswa kedokteran untuk praktik. Si miskin yang hanya tahu bentuk kartu kredit atau debit yang telah afkir, melalui LAZ, mereka sungguh-sungguh dapat bantuan modal usaha.

Lantas, di mana keliru dan mudharatnya LAZ? Maka, rencana penghapusan LAZ ibarat 'menembak nyamuk dengan meriam'. Saat LAZ diyakini sebagai 'kesejukan sejarah', dalam waktu yang sama LAZ pun dianggap 'kecelakaan sejarah'. Saat manfaat LAZ makin terasa, saat itu pula yang diamati hanya gegap gempitanya hingga seolah rusaklah tatanan zakat.

Penghapusan jadi tanda krisis kepercayaan makin parah. Kita tak tahu lagi, apa dan siapa yang dapat dijadikan pegangan. Kita kebingungan melihat kehendak bapak. Bukankah bapak seharusnya mendorong anak-anak, bukan malah jadi algojo. Bukankah LAZ membantu negara atasi kemiskinan tanpa merecoki serupiah pun dana BLT, PNPM, dan KUR.

Apakah negara ini memang telah banyak kehilangan kearifan? Itulah yang membuat seorang pegiat sosial berkata, "Diamnya pemerintah adalah sumbangan besar bagi lembaga pemberdayaan." Posisi LAZ yang lebih kecil dari 'Cicak' pasti butuh pegangan, bukan palu godam. Padahal, merekrut SDM kelas satu yang mengatakan, "Kerja kok di yayasan gurem," sering kali merontokkan mental. Lantas, terbayangkah di detik-detik melamar, bagaimana seorang amil terbata-bata menjelaskan 'keamilannya' kepada calon mertua. Itulah saat penentuan hidup sesungguhnya, bukan di ujian skripsi.

Rencana penghapusan LAZ bisa jadi cermin kebijakan yang serbakacau: kacau visi, kacau wawasan dan sejarah, serta kacau dalam konsep dan pelaksanaan teknis strategis. Sekali lagi, penghapusan tentu menyedihkan karena itulah ketidakadilan. Kini, bandingkan antara LAZ dan BLBI. Meski dari aset tak sekelas, timbanglah sisi moralnya. Bank Century yang diyakini JK dirampok pemiliknya, bukan hanya dibantu triliunan, malah nama pun diizinkan berubah. Yang merampok dibantu, yang membantu hendak ditutup. Daripada ditutup, seharusnya Depag bisa tempatkan LAZ jadi tempat belajar moral hazard bagi bangsa ini.

Maka, jangan kutuk kegelapan karena hadirnya pelita seburam apa pun jauh lebih bermanfaat. Jangan lihat kekurangannya karena mendiamkan LAZ pasti bermanfaat. Jangan lihat seolah berebut pasar karena LAZ belum merambah blue ocean ratusan juta muzaki. Jangan paksa diri menutup LAZ karena penyesalan pasti datang belakangan.

Lebih baik membenahi ketimbang menutup. Lebih baik berbuat makruf ketimbang terjebak formalitas. Lebih baik menjadi penguasa yang kebapakan ketimbang bapak yang penguasa. Lebih baik melihat anak-anak menangis dibenahi ketimbang menangis karena dipenggal. Itulah bedanya menjewer dengan memenggal. Itulah bedanya bapak dengan penguasa.

Melihat kebijakan buruk tak sulit. Intinya, apakah kebijakan itu mengguncang? Kebijakan BLBI dan Bank Century mengguncang negara. Berlarutnya soal Bibit dan Chandra mengguncang moral masyarakat. Lantas, rencana menutup LAZ juga mulai memantik guncangan. Bukankah rumus 'siapa menebar angin bakal menuai badai' tak pernah meleset? Bukankah masih mengalir dukungan keping logam pada Prita.

Barangkali hanya sedikit orang yang gembira dengan ditutupnya LAZ. Maka, tak ada bangganya menutup LAZ. Toh, mereka anak-anak sendiri. Tak akan bertambah wibawa dengan tutupnya LAZ. Toh, mereka tak merongrong kewibawaan siapa pun. Tak akan ada kebahagiaan dengan berakhirnya LAZ karena tak pernah LAZ mencoreng harga diri siapa pun.

Diri kita jauh lebih penting dan berharga ketimbang kebijakan. Maka, gunakan jabatan. Jangan jabatan justru melelahkan kita. Kita pun lebih penting daripada kehidupan. Maka, buat kebijakan yang membuat hidup lebih hidup lagi. Bisakah kebijakan itu membuat orang lebih percaya, lebih kondusif, lebih mendorong suasana berzakat, lebih memudahkan mustahik menerima zakat, serta lebih bisa memberdayakan dan memakmurkan.

Sering orang lupa bahwa jabatan punya jebakan pada kedudukan, kearoganan, kepentingan, dan ketersinggungan. Sedangkan, orang banyak menyepelekan nurani yang mengajak pada kejernihan, kemakrufan, kebenaran, dan keadilan. Bila halal pun dihisab, bukankah sebaiknya nurani menghisab lebih dahulu.

Allah SWT tidak akan pernah menjerumuskan hamba-Nya. Kitalah yang harus mengambil pelajaran. Untuk itu, jangan berada di balik prasangka. Karena, Allah pasti punya maksud dengan lahirnya LAZ sejak 1993. Rasulullah SAW pun berpesan, "Sebaik-baik Muslim adalah yang paling bermanfaat." Kebijakan bisa membuat bencana. Maka, sebaik-baik kebijakan, kemaslahatanlah muaranya.

Erie Sudewo (Social Entrepreneur)
Republika Online

Kategori:
0 Responses

Posting Komentar