Salah satu potensi zakat yang besar dalam perekonomian modern adalah zakat perusahaan. Para ulama Indonesia dalam menyikapi zakat perusahaan belum mencapai kesatuan pemikiran (unity of tought ). Mereka yang mempersempit lapangan sumber-sumber zakat, menyatakan tidak ada zakat pada perusahaan, dengan alasan karena tidak ada ketegasan dari Rasulullah. Menurut mereka, harta benda yang menjadi sumber zakat itu harus ada ketegasan dari Rasulullah SAW.
Sementara mereka yang memperluas lapangan sumber zakat, memakai alasan keumuman nash tentang zakat. Dalam hal ini, kembali kepada prinsip sumber zakat ialah prinsip an-nama' atau al istinma (prinsip produktif) dan di luar kebutuhan pokok berdasarkan dalil-dalil umum zakat dalam Alquran dan sunah.
Penggunaan ijtihad dalam masalah zakat memang perlu batasan agar tidak terjadi salah kaprah. Bahwa apa yang sudah jelas dalam Alquran tidak perlu difatwakan lagi. Pada hemat penulis, di sinilah para ulama dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu alat sehingga mampu menggali hukum-hukum Alquran dan sunah, lalu mengaitkannya dengan perkembangan kehidupan umat masa kini. Betapa pentingnya zakat dan urgensinya sebagai salah satu pilar kemaslahatan umat terlihat dari banyaknya ayat dalam Alquran (sekitar 82 ayat) yang menyandingkan perintah menunaikan zakat dengan perintah mendirikan shalat.
Maka dari itu, dalam rangka mengaktualisasikan peran zakat sebagai salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam atau tepatnya merupakan salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam, kajian fikih tematik berkenaan dengan sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern perlu terus ditumbuhkembangkan.
Dalam peraturan perundang-undangan zakat di Indonesia, zakat perusahaan telah diakomodasi di dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, yaitu pasal 11. Dinyatakan bahwa di antara objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan. Namun, aplikasi zakat perusahaan di lapangan masih jauh dari yang diharapkan, yaitu masih dihadapkan pada persoalan kurangnya pemahaman masyarakat khususnya para pelaku ekonomi, belum adanya fatwa dari lembaga yang resmi yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang hal tersebut, serta tidak signifikannya pengaruh pembayaran zakat terhadap beban pembayaran pajak. Fatwa MUI adalah sangat penting sebagai pijakan dan kepastian hukum dalam aplikasi zakat perusahaan.
Di BAZNAS sendiri penerimaan zakat perusahaan telah berjalan atas kesadaran perusahaan yang ingin berkontribusi dalam program-program pendayagunaan zakat, meski pertumbuhannya belum sepesat yang diharapkan.Indonesia dapat mengambil komparasi aplikasi zakat perusahaan di beberapa negara lain, seperti Malaysia melalui PPZ (Pungutan Pungutan Zakat Wilayah Persekutuan), yang setiap tahunnya terkumpul penerimaan zakat perusahaan yang cukup besar.
Sejak beberapa tahun yang lalu telah ada Fatwa Komite Fikih Islam, Organisasi Konferensi Islam, Jeddah. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:
Pertama, saham perusahaan wajib dizakati oleh pemilik saham. Perusahaan dapat bertindak sebagai wakil pemilik saham untuk menyalurkan zakatnya atas nama mereka. Kedua, dewan manajerial dapat menyalurkan zakat saham perusahaan bagaikan subjek hukum konkret membayar zakatnya, dengan arti bahwa semua saham yang terdapat dalam perusahaan tertentu dianggap bagaikan sebuah harta milik seorang.
Ketiga, bila perusahaan tidak membayar zakat sahamnya, para pemegang saham wajib membayar zakat sahamnya masing-masing. Bila pemilik saham memperoleh keterangan tentang pembayaran zakat sahamnya pada perusahaan tersebut, berarti kewajiban zakatnya telah selesai sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Bila pemegang saham tidak mendapatkan keterangan tersebut, dilihat niat pemegang saham tersebut, kalau niatnya sewaktu mendepositkan saham hanya untuk memperoleh penghasilan tahunan dari deposit tersebut, dia membayar zakatnya atas dasar zakat eksploitasi, yaitu sebesar 2,5 persen dari keuntungan (di luar modal) dengan mempertimbangkan haul terhitung dari saat penerimaan keuntungan tersebut dan syarat serta penghalang lainnya.
Hal ini sesuai dengan keputusan Komite Fikih Islam tentang zakat barang tidak bergerak dan tanah nonpertanian sewaan. Bila pemilik saham mendepositkan modalnya dengan maksud dagang, ia wajib membayar zakatnya atas dasar modal perdagangan, ia wajib membayar sebesar 2,5 persen dari modal dan keuntungan setelah cukup haul yang nilainya dihitung atas dasar harga pasaran sedang berjalan atau penentuan seorang ahli.
Keempat, bila seorang pemilik saham menjual sahamnya di tengah-tengah haul, dia diharuskan menggabungkan harga saham tersebut dengan harta kekayaannya yang lain, seterusnya membayar zakatnya sekalian, bila haulnya sempurna. Pembeli diharuskan membayar zakat saham yang baru dibeli tersebut sesuai ketentuan di atas. Selain itu, Seminar Zakat I yang diselenggarakan di Kuwait tahun 1404 H/ 1984 mengeluarkan rekomendasi bahwa wajibnya zakat kekayaan dan aset perusahaan yang dibebankan atas perusahaan penanaman modal karena merupakan badan hukum abstrak.
Menurut Ketua Umum BAZNAS, KH Didin Hafidhuddin, dalam buku Zakat Dalam Perekonomian Modern (2006), pola perhitungan zakat perusahaan sama dengan zakat perdagangan. Hal ini merujuk pada pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwaal . Dalam praktiknya ialah didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. Yaitu, seluruh harta (di luar sarana dan prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya.
Dari situlah dikeluarkan 2,5 persen sebagai zakat perusahaan. Sementara ada juga pendapat lain menyatakan bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya itu hanyalah keuntungannya. Tetapi, pendapat terakhir ini, dalam kaitan tersebut di atas, pada tataran masyarakat, perlu penguatan dan pendalaman serta penyosialisasian konsep fikih tentang zakat perusahaan yang notabene adalah penjabaran dari prinsip-prinsip syariah. Pemahaman dan kesadaran zakat, termasuk zakat perusahaan, di kalangan umat Islam merupakan faktor penentu optimalnya pengumpulan zakat dan pendayagunaannya untuk mengurangi kemiskinan di tanah air kita. Peran zakat dalam kehidupan negara perlu semakin diperkuat.
Oleh M Fuad Nasar (Wakil Sekretaris Umum BAZNAS)
lnik sdh saya pasang... di blog saya... thx... tukeran link ya.... salam kenal blogger nie...
Bagiku, siapa pun yang mampu mengeluarkan zakat, dia wajib mengeluarkan zakat, baik individu, lembaga, apalagi perusahaan. Jika umat Islam menggunakan penghasilannya sekadarnya (sekebutuhannya) saja, tentu zakat yang dikeluarkan banyak. Tapi sayang, umat lebih banyak keinginannya, terlalu SURAKOH! hehehehe