Gagasan tentang pemberdayaan masyarakat melalui masjid bukan merupakan hal baru. Ide ini sudah banyak dipaparkan oleh para pakar pemberdayaan dan keumatan. Hanya saja dalam tataran implementasinya sering tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Hal ini tidak lepas dari ketiadaan data pendukung tentang potensi keumatan yang komprehensif dan akurat sehingga proses pemberdayaan masyarakat bisa tepat sasaran. Dalam kondisi demikian inilah urgensitas pemetaan kondisi umat sangat diperlukan.

Nurmahmudi Ismail dalam sebuah dialog di Jakarta Islamic Centre tanggal 17 Februari 2006 yang lalu, mengulas kembali gagasan tersebut. Dia menjelaskan bahwa dalam rangka perbaikan ekonomi keumatan sudah saatnya kembali ke masjid. Masjid merupakan basis terkecil yang paling dekat dengan masyarakat Muslim.

Dia menjelaskan bahwa pengurus masjid seharusnya memiliki data tentang kondisi masyarakat Muslim di sekitarnya, baik kondisi ekonomi maupun kondisi sosialnya.

Yang lebih penting lagi adalah data tentang kondisi keberagamaan masyarakat, khususnya gambaran aktivitas shalat lima waktu masyarakat. Selanjutnya data tersebut dipetakan dan dibuat dalam bentuk sistem informasi geografis keumatan.

Senada dengan hal tersebut, Ketua DMI Provinsi DKI Jakarta, KH Zakky Mubarak menegaskan bahwa gagasan pemetaan potensi umat melalui masjid sesungguhnya sudah lama diopinikan. Hanya saja, dalam tataran pelaksanaannya agak sulit, perlu dana yang tidak sedikit, serta perlu menggalang kerjasama dengan berbagai pihak.

Terlepas dari hal tersebut, pemetaan tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi umat secara riil. Selain itu, bisa diketahui pula sejauhmana positioning masjid dengan jamaah atau lingkungannya sekaligus mengukur tingkat kapabilitas SDM masjid serta untuk menentukan bentuk dan sistem yang tepat dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat.

Rasulullah Muhammad SAW pun telah mencontohkan dalam membina dan mengurusi seluruh keperluan masyarakat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, pendidikan, angkatan bersenjata, dan lain sebagainya melalui masjid. Kuncinya pada pengelolaan masjidnya.

Masjid Nabawi oleh Rasulullah SAW difungsikan sebagai (1) pusat ibadah, (2) pusat pendidikan dan pengajaran, (3) pusat informasi Islam, (4) pusat pengkajian dan penyelesaian problematika umat dalam aspek ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Masih banyak fungsi masjid yang lain. Namun yang jelas pada zaman Rasulullah, masjid dijadikan oleh Beliau sebagai pusat peradaban. Pusat sumber inspirasi dalam mengembangkan syiar dan kemajuan ideologinya.

Rasulullah SAW berhasil membina masyarakatnya meskipun komposisi struktur masyarakat yang ada ternyata masyarakat dengan multi ras, multi etnis dan multi agama. Akhirnya, masyarakat bentukan Rasulullah menjadi masyarakat yang disegani dan dikagumi baik lawan maupun kawan dan menjadi pemimpin di dunia pada masanya.

Lebih kongkret lagi Ahmad Syafii Mufid, Kepala Bidang Diklat JIC, menambahkan bahwa masjid merupakan tempat disemaikannya segala sesuatu yang bernilai kebajikan, baik yang berdimensi ukhrowiyah yang transenden maupun nuansa duniawiyah dalam sebuah garis kebijakan dan kemaslahatan buat sesama. Namun dalam kenyataannya, fungsi masjid yang bernuansa duniawiyah kurang memiliki peran yang maksimal. Hal ini disebabkan di antaranya;

Pertama, kesenjangan dalam memfungsikan masjid. Masjid belum difungsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Pada umumnya, yang terjadi, masjid difungsikan hanya untuk kegiatan ibadah ritual sedangkan kegiatan ibadah sosial kemasyarakatan belum banyak diperbuat.

Kedua, kesenjangan dalam organisasi kemasjidan. Organisasi yang menerima amanah tanggung jawab operasional kegiatan masjid, belum mampu berfungsi secara optimal dalam memberdayakan umat dalam arti yang ideal.

Ketiga, kesenjangan dalam beribadah di masjid. Pada umumnya dalam beribadah di masjid, jamaah lebih cenderung melaksanakan kegiatan ibadah ritual. Masjid sebagai pusat peradaban Islam umumnya masih menjadi cita-cita.

Keempat, kesenjangan program masjid. Program kegiatan yang dilaksanakan di masjid bersifat rutin ibadah ritual, sedang aspek sosial seperti pemberdayaan ekonomi umat, pendidikan, kesehatan, kesenian, dan olah raga, yang merupakan tuntutan kebutuhan bagi kehidupan jamaah, belum mendapatkan perhatian yang memadai.

Dalam kerangka tersebut, Bidang Sosial Budaya Jakarta Islamic Centre (JIC) menggagas prototipe model pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui masjid yang diawali dengan sebuah program pemetaan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar masjid JIC. Menurut Ahmad Syafii Mufid, program pemetaan ini merupakan sesuatu yang baru dari yang pernah ada karena disusun dalam perspektif antriopologi.

Republika Online

Kategori:
0 Responses

Posting Komentar